Harakatuna.com – Akhir-akhir ini perdamaian di negara yang memiliki banyak perbedaan ini kian menyempit. Perdamaian menjadi sesuatu yang mahal untuk diraih. Berbagai tindakan radikalisme tidak sedikit menjadi penghalang tercapainya perdamaian yang semestinya menjadi ciri bagi bangsa Indonesia. Praktik-praktik intimidasi atas nama agama menjadi hal yang juga mendukungnya. Karenanya, reinterpretasi ayat-ayat kekerasan menjadi sesuatu yang niscaya.
Lucunya, praktik-praktik tersebut didasari atas teks-teks ayat suci al-Qur’an yang seharusnya menjadi penyejuk dan petunjuk di setiap waktu dan tempat manapun al-Qur’an berada (Mustaqim, 2013). Interpretasi terhadap ayat-ayat yang secara leksikal terkesan “radikal” dan ditafsiri secara sempit dan rigid menjadi justifikasi final bagi pemahaman sebagian kelompok untuk menyalahkan dan bahkan meneror siapa saja yang tidak sepaham.
Akhirnya ayat al-Qur’an dan Islam menjadi hal yang menakutkan. Islam sebagai agama yang menjunjung tinggi al-Qur’an menjadi agama yang kerap kali dituding sebagai biang kekerasan dan jauh dari perdamaian.
Pada akhirnya, interpretasi yang demikian menjadi pemahaman beberapa kelompok yang mengatasnamakan Islam untuk melegalkan aksi radikalnya. Interpretasi terhadap ayat-ayat kekerasan yang ditafsiri secara gampangan berpotensi besar memunculkan pertikaian antar kelompok. Lebih-lebih ketika produk tafsirnya dituangkan dalam konteks keindonesiaan dengan banyaknya perbedaan di dalamnya. Dengan itu juga cita-cita untuk menyemai perdamaian dalam bingkai keindonesiaan akan mudah pupus.
Sebab itu, diperlukan peninjauan ulang terhadap produk-produk interpretasi yang akan berakibat pada gencarnya radikalisme dan kekerasan. Ayat al-Quran yang terkesan memberi peluang radikalisme atas nama agama perlu direinterprestasi ayat-ayat kekerasan dengan melihat historis dan realitas yang dihadapi. Al-Qur’an sebagai hudan harus memberi petunjuk untuk menciptakan perdamaian abadi sebagaimana cita-cita berdirinya bangsa dan Negara Indonesia.
Histori Radikalisme Berasaskan Ayat-Ayat al-Quran
Teks keagamaan umat Islam yang multitafsir menjadikannya ditafsiri oleh berbagai latar belakang penafsirnya. Keberadaannya sebagai wahyu yang mati (tak bisa berbicara) membuatnya sering ditarik-tarik demi kepentingan pribadi penafsirnya atau kepentingan politik tertentu.
Teks-teks ayat memberi kesempatan untuk ditafsiri oleh kelompok-kelompok manapun, tak terkecuali kelompok radikalis yang kerap kali menafsiri ayat al-Qur’an secara parsial dan dangkal.
Sepanjang sejarah Islam, banyak ditemukan bentuk-bentuk radikalisme yang didasarkan atas ayat-ayat al-Quran. Sebut saja peristiwa Mihnah yang terjadi pada masa Khalifah Ma’mun yang dilakukan oleh kelompok Muktazilah.
Dalam ini kelompok Muktazilah mengintimidasi siapa saja yang tidak sepaham dengannya menggunakan dalil-dalil al-Qur’an (Abdillah, 2014). Selanjutnya adalah kekerasan yang terjadi saat masa akhir pemerintahan Ali bin Abi Thalib, yaitu oleh Khawarij. Kelompok ini menjadikan ayat-ayat al-Qur’an dari sisi dhohir ayat semata sebagai landasan pergerakannya. Seperti ayat yang artinya siapa saja yang tidak menghukumi dengan hukum Allah maka ia kafir (Al-Maidah: 44) yang diinterpretasikan dengan mengkafirkan orang yang tidak sepaham dengan keyakinannya.
Kelompok ini selalu mengandalkan teks ayat-ayat al-Quran untuk dijadikan legitimasi aksinya, dengan mengesampingkan konteksnya. Mereka mengklaim bahwa agama Islam sangat mendukung sekali akan aksi kekerasan (radikalisme) atas nama jihad (Zuhdi, 2012).
Pada periode pertengahan juga ditemukan radikalisme yang dilandasi atas pemahaman keagamaan, yaitu yang dipelopori oleh Abdul Wahhab. Ia mengkafirkan dan membid’ahkan bahkan membunuh siapa saja yang tidak beribadah sesuai leterlek al-Qur’an dan Hadits. Karena baginya al-Quran dan al-Hadis adalah mutlak kebenarannya. Tidak boleh ditikungkan ke selain keduanya, harus murni (Fadhl, 2015).
Sementara itu menurut Haidar Nasir, aksi-aksi radikalisme di Indonesia dengan mengatasnamakan agama muncul setelah runtuhnya orde baru. Gelombang demokrasi yang memberi kesempatan kebebasan tanpa batas dalam mengartikulasikan paham dan keyaninan setiap warga Indonesia menjadi subur. Terutama adalah perihal pembentukan Negara Islam atau hukum Islam yang meski diterapkan di Indonesia dan menggantikan hukum undang-undang yang menurut sebagian kelompok bukan merupakan aturan dari Tuhan.
Alasan perihal sekulernya negara Indonesia dan tidak sesuai dengan Islam dan al-Qur’an membuat beberapa kelompok dengan mudahnya menanggalkan pemahaman agamanya yang sungguh tidak cocok dalam konteks Indonesia sebagai negeri perdamaian (Nashir, 2010). Menurut Khamani Zada kelompok tersebut di antaranya: FPI, MMI dan HTI. Kelompok-kelompok tersebut menggunakan ayat-ayat al-Qur’an sebagai legitimasi aksinya yang tak jarang menimbulkan aksi-aksi radikalisme di Indonesia (Zada, 2002).
Perlu kita ketahui sebelumnya bahwa, penyebab dari timbulnya radikalisme di muka publik bukanlah karena ayat Al-Quran yang mendorong manusia untuk melakukan hal itu, melainkan karena maraknya interpretasi yang radikal terhadap teks-teks al-Qur’an itu sendiri (Bagir, 2017).
Hal ini yang sudah semeskinya kita tengok dan tafsirkan ulang ayat-ayat kekerasan oleh kelompok-kelompok radikal atas ayat-ayat al-Qur’an. Berikut beberapa ayat-ayat (kekerasan) tersebut:
Al-Hajj ayat 39-40:
“Diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka didzalimi. Dan sungguh Allah Maha Kuasa Menolong mereka itu, yaitu orang-orang yang diusir dari kampung halamannya tanpa alasan yang benar, hanya karena mereka berkata, “Tuhan kami ialah Allah”. Seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentu telah dirobohkan biara-biara nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadah orang Yahudi dan masjid-masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Allah pasti akan menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sungguh, Allah Mahakuat, Mahaperkasa.
Menurut Khamami Zada, ayat ini adalah salah satu ayat yang sering dijadikan legitimasi dalil kelompok-kelompok ekstrem dalam aksi radikalismenya dengan mengatasnamakan jihad. Mereka tidak pernah merasa bahwa aksinya tersebut bertentangan dengan Islam. Sebab meraka merasa telah dilegalkan aksi kekerasannya tersebut oleh al-Qur’an yang dipahaminya.
Secara sepintas, ayat di atas merupakan sebuah izin dari Allah untuk melakukan peperangan terhadap kaum musyrik saat itu. Tetapi, menurut Baidlawi bukan berarti ayat ini kemudian dijadikan dalil radikalisme ketika melihat “perbedaan” melekat pada diri orang lain. Karena jika dilihat dari asbabunnuzulnya Rasulullah dan kaum muslimin saat itu mendapatkan perlakuan kasar dan ditindas (secara fisik) oleh kaum musyrikin Mekah dalam waktu yang sudah cukup lama, sementara kaum Muslimin belum bisa melakukan apapun sebelum turunnya ayat ini (Baidhawi, 1438).
Masih menururt Al-Baidhawi, kalimat “telah diizinkan” dalam ayat ini berarti bahwa ada usaha sebelumnya dari kaum Muslim saat itu untuk membela agama Allah dengan cara lain selain melakukan peperangan. Hal ini menunjukan betapa Islam sebagai rahmat lil ‘alamin menghendaki sebuah cara yang damai dan aman untuk mengajak siapapun ke jalan-Nya. Tidak diwajibkan perang, terlebih jika tidak adanya penganiayaan fisik oleh mereka.
Selain itu, ayat ini juga secara tersirat mengungkapkan kepada pembaca bahwa bukan Muslimlah yang pertama kali memicu terjadinya peperangan melainkan orang musyrik itu sendiri. Sehingga ketika keadaan yang mendesak, barulah kaum Muslim boleh memerangi.
Sementara itu menurut Ibnu Katsir, bahwa syariat untuk berperang, Tuhan perintahkan kepada manusia agar mereka mengerahkan kemampuannya semaksimal mungkin dalam ketaatan kepada-Nya, bukan memulai memerangi dahulu (Katsir, 1418), seperti yang tercatat dalam surat Muhammad [47]: 04 yang artinya:
“Apabila kamu bertemu dengan orang-orang kafir (di medan perang) maka pancunglah batang leher mereka. Sehingga apabila kamu telah mengalahkan mereka maka tawanlah mereka dan sesudah itu kamu boleh membebaskan mereka atau menerima tebusan sampai perang berakhir. Demikianlah apabila Allah menghendaki niscaya Allah akan membinasakan mereka tetapi Allah hendak menguji sebahagian kamu dengan sebahagian yang lain. Dan orang-orang yang syahid pada jalan Allah, Allah tidak akan menyia-nyiakan amal mereka”.
Maka jelaslah interpretasi bahwa ayat di atas sebagai dalil dibolehkan dan diwajibkan untuk berperang dan memerangi siapa saja yang berbeda merupakan hal yang terlalu terburu-buru. Telah jelas juga bahwa Nabi melakukan peperangan karena diawali perang dan disakiti oleh kaum musyrik dan diperangi secara fisik. Bukan yang lain.
Jika kita kontekstualisasikan dalam keindonesiaan, yang mana masyarakat dapat rukun dengan perbedaan yang ada di dalamnya – sebab tiadanya penyerangan fisik apapun antar satu kelompok dengan yang lain – kurang tepat untuk mengatakan bahwa ayat di atas sebagai dalil untuk melakukan tindakan radikal kepada orang atau kelompok yang berbeda keyakinan.
Perlu ditegaskan lagi, tiadanya penyerangan fisik dan tidak dimulainya peperangan dari Nabi dan kaum Muslim memberi kesimpulan bahwa aksi peperangan fisik dibolehkan manakala ada segolongan yang memerangi kita terlebih dahulu secara fisik. Ketika peperangan saja tidak diizinkan jika tanpa sebab, maka lebih-lebih aksi radikalisme dengan mengatasnamakan jihad, sungguh tidak sedikitpun dilegalkan oleh ayat ini. Ia bukan ayat-ayat kekerasan, dengan demikian.
QS.At-Taubah [9]: 5:
“Apabila sudah habis bulan-bulan Haram itu, maka bunuhlah orang-orang musyrikin itu dimana saja kamu jumpai mereka, dan tangkaplah mereka. Kepunglah mereka dan intailah ditempat pengintaian. Jika mereka bertaubat dan mendirikan sholat dan menunaikan zakat, maka berilah kebebasan kepada mereka untuk berjalan. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.
Berdasarkan tafsir Jalalain, jika dilihat dari asbabunnuzulnya, surah ini merupakan surah “azab”, dan salah satu perintah yang ada dalam surat ini adalah penggunaan pedang (berperang). Artinya bahwa ayat-ayat dalam surat at-Taubah ini sangat jelas berimplikasi dijadikan dalil dalam peperangan dan atau radikalisme oleh siapa saja, tak terkecuali kelompok ekstrimis (Suyuthi dan Mahalli, Tt).
Dari sisi asbabunnuzul–nya, ayat ini turun sekitar lima belas bulan sebelum nabi wafat, atau dengan kata lain, surah ini turun sekitar 22 tahun setelah turunnya ayat pertama. Ini menunjukan bahwa Islam selalu mengajak pada perdamaian dan menciptakan suasana aman bagi siapapun tak terkecuali orang Musyrik.
Adapun peperangan yang dilakukan nabi ketika di Madinah, mengutip dari tafsiran Quraish Shihab, Muhammad Al-Gazhali menyebutkan bahwa selama 22 tahun Rasulullah melakukan perang, hanya sekitar 200 orang yang meninggal dari kalangan Musyrikin.
Dari uraian ini dapat kita ambil sebuah poin, bahwa pada hakikatnya Islam selalu menawarkan jalan yang damai tanpa harus menumpahkan darah sesama manusia. Adapun perang yang kemudian dilakukan kaum Muslim itu merupakan perlawanan untuk mempertahankan diri. Rasulullah dan kaum Muslim tidak sama sekali memulai memerangi kaum musyrik atau kafir (Shihab, 2002).
Sementara itu, jika kita lihat kekacauan yang terjadi akhir ini-ini, baik di tingkat internasional maupun nasional, bukan orang-orang non-Islam yang mengangkat pedang untuk berperang, justru malah orang-orang yang mengatasnamakan dirinya sebagai Islamlah yang kemudian mencederai nama Islam itu sendiri, padahal jelas bahwa hal tersebut tidak diperbolehkan, karena dapat memberikan kesan bahwa Islam tidak rahmat lil ‘alamin.
Menurut Quraish Shihab, perintah untuk membunuh di sini bukanlah sesuatu yang diwajibkan melainkan hanya alternatif untuk melawan para kaum musyrikin. Adapun perlawanan yang muslim lakukan tentunya sesuai dengan perlakuan para kaum musyrik terhadap kaum muslim itu sendiri.
Maka dari itu, tidak semua kaum musyrik memerangi kaum Muslim, sehingga kaum musyrik yang memiliki kecenderungan untuk beriman kepada agama Islam dan tidak memerangi muslim, kita tidak diperbolehkan untuk memeranginya terlebih dahulu. Hal ini ditegaskan dalam kaliamat terakhir pada ayat di atas yang artinya“Jika mereka bertaubat dan melaksanakan shalat, dan menunaikan zakat, maka lepaskanlah jalan mereka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.
Sementara itu Ibn Katsir menjawab persoalan ayat ini dengan menyatakan bahwa ayat tersebut dibatasi QS. Al-Baqarah [2]:191 yang artinya: Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka, dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu (Makkah); dan fitnah itu lebih besar bahayanya dari pembunuhan, dan janganlah kamu memerangi mereka di Masjidil Haram, kecuali jika mereka memerangi kamu di tempat itu. Jika mereka memerangi kamu (di tempat itu), maka bunuhlah mereka. Demikanlah balasan bagi orang-orang kafir.
Sebagaimana penjelasan dari atas, sisi historisitas ayat ini sangat jauh untuk dijadikan legitimasi aksi radikal kepada mereka yang berbeda keyakinan, terlebih jika di Indonesia. Ayat-ayat kekerasan di atas memberi perintah kepada kaum Muslim untuk memerangi kafir hanya untuk mempertahankan diri, bukan memerangi dahulu tanpa sebab.
Jika kita pahami dengan benar, maka sungguh jauh ayat ini untuk dimaksudkan bolehnya memerangi kaum yang berbeda keyakinan, terlebih jika adanya tidak menganggu dan tidak memerangi kita sebagaimana non-muslim di Indonesia. Sehingga dengan ini kita tidak butuh pengawasan kekerasan non-Muslim.
Al-Qur’an sebagai hudan sudah semeskinya bisa mengharmoniskan antar manusia dengan perbedaannya. Al-Quran meski menjadi penawar kedamaian di antara perbedaan, tak terkecuali di Indonesia, termasuk maksud ayat di atas jika kita tarik melalui asbab an-nuzulnya, yaitu bukan sama sekali melegalkan peperangan tanpa sabab mempertahankan diri dan tanpa diperangi terlebih dahulu.