34 C
Jakarta

Refleksi The Arab Spring; Ketika Demokratisasi Melawan Otoritarianisme

Artikel Trending

KhazanahResensi BukuRefleksi The Arab Spring; Ketika Demokratisasi Melawan Otoritarianisme
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF
Judul buku: The Arab Spring: Tantangan dan Harapan Demokratisasi, Penulis: Dr. Ahmad Sahide, Penerbit Buku: Kompas, Terbit: 2019, Tebal: 232 halaman, ISBN: 978-602-412-843-2, Peresensi: Ahmad Masyhur, M.A.

Harakatuna.comAl-Tsaurah al-‘Arabiyah (revolusi Arab) atau yang kemudian dikenal dengan The Arab spring (musim semi Arab) adalah sebuah momentum yang kemudian dimanfaatkan oleh banyak masyarakat di berbagai penjuru negeri Arab untuk mengambil kembali hak-hak mereka yang telah diberangus puluhan tahun lamanya oleh para pemimpin-pemimpin yang memimpin dengan tangan besi.

Dalam buku “The Arab Spring: Tantangan dan Harapan Demokratisasi” yang ditulis oleh Dr. Ahmad Sahide, telah berhasil melakukan elaborasi mendalam tentang apa yang terjadi di negara-negara Arab sebelum dan sesudah adanya Arab Spring,  terutama pada tiga negara yang menjadi titik fokus beliau di dalam penelitiannya.

Aksi protes dengan membakar diri yang dilakukan oleh seorang pemuda Tunisia, berumur 26 tahun yang bernama Mohamed Bouzizi, ternyata mampu menciptakan ledakan yang sangat dahsyat yang kemudian dengan getarannya menggoncang pemerintahan Tunisia yang terkenal diktator.

Goncangan dengan gelombang yang begitu dahsyat ini, ternyata tidak hanya terhenti di negara yang terletak di Afrika Utara tersebut, melainkan arusnya terus mengalir dengan begitu deras ke beberapa negara Arab lainnya. Protes membakar diri yang dilakukan oleh Mohammed Bouzizi, dilatar belakangi dengan sesuatu yang begitu membuat keresahan dan kegalauan pada diri Bouzizi dari apa yang dilakukan atau menjadi kebijakan pemerintah Tunisia kepada masyarakatnya.

Kondisi politik dan ekonomi yang terus memprihatinkan adalah faktor utama yang menyebabkan kejenuhan dan kemarahan yang kemudian dirasakan hampir sebagian besar lapisan masyarakat di Tunisia.

Angka pengangguran yang terus memperlihatkan kapasitas kenaikkannya, sementara pemerintah dalam jangka waktu yang cukup panjang belum mampu memberikan solusi yang tepat dari tingginya angka pengannguran tersebut. Lapangan pekerjaan yang sulit dan masalah ekonomi yang terus menjerat negara tersebut, menjadi beban yang harus ditanggung oleh semua masyarakat.

Terlebih lagi angka pengangguran yang tinggi, banyak menyasar para kaum muda di bawah umur 30 tahun yang di mana kebanyakan dari mereka adalah para sarjana yang seharusnya bisa mendapatkan pekerjaan yang selayaknya.

Di samping masalah perekonomian, masalah politik juga menjadi salah satu yang mengobarkan semangat revolusi di kalangan masyarakat Tunisia. Betapa tidak, sistem pemerintahan otoritarianisme dan kesemena-menaan telah banyak merugikan masyarakat baik secara hak mereka sebagai warga suatu negara dan juga hak mereka sebagai manusia telah ternodai. Hak-hak dan kebebasan mereka dalam menyuarakan keadilan terus diberangus.

Pemerintahan otoriter yang hanya menguntungkan para penguasa dan orang-orang elit lainnya adalah sesuatu kezaliman terhadap masyarakat dalam suatu negara. Negara yang seharusnya memiliki kapabilitas untuk memberikan kesejahteraan dan keadilan bagi setiap lapisan masyarakat, namun nyatanya malah menjadi penjahat dan perampok yang terus menguliti dan menghabisi hak-hak mereka sebagai warga negara.

Api revolusi yang membara di Tunisia, ternyata mampu membakar semangat perubahan di Mesir dan Suriah. Apa yang terjadi di Tunisia, baik dari segi sosial dan politik hampir sama dengan apa yang terjadi di Mesir dan Suriah. Pemerintahan yang otoriter dan tingginya angka pengangguran serta kemiskinan adalah alasan utama bagi masyarakat Mesir dan Suriah untuk ingin melakukan perubahan.

Selain dari faktor internal tersebut, terdapat juga beberapa faktor eksternal yang mempengaruhi cepat dan kerasnya gelombang Arab Spring terjadi. Keikut sertaan negara asing adalah faktor eksternal paling dominan yang menyebabkan cepat dan kerasnya gelombang Arab Spring terjadi, adanya kepentingan negara-negara besar dunia di kawasan Timur tengah, menjadi alasan keikut sertaan mereka.

Dari segi politik, negara-negara Arab yang memerintah secara otoriter dianggap sebagai sesuatu sistem pemerintahan yang sangat bertolak belakang dengan apa yang diinginkan oleh negara-negara di kawasan Eropa pada umumnya dan begitu juga dengan Amerika yang menjadi simbol dari negara liberal, sekuler, dan demokrasi.

BACA JUGA  Hadis-hadis tentang Politik Kebangsaan; Sebuah Telaah

Amerika pada khususnya, menganggap hampir semua negara di kawasan Timur Tengah adalah negara-negara yang mengekang kebebasan warga negaranya dalam menyuarakan hak-haknya sebagai warga negara. Pengekangan terhadap kebebasan menyuarakan pendapat dan hak-haknya dirasa sebagai sesuatu kejahatan besar yang dilakukan pemerintah kepada rakyatnya.

Hal tersebutlah yang kemudian menjadi alasan kuat bagi Amerika dan beberapa negara di Eropa lainnya untuk ikut andil dalam memperbaiki sistem pemerintahan yang dirasa tidak sesuai dengan sistem yang menjadi landasan negara mereka.

Selain kepentingan politik, Amerika dan beberapa negara Eropa juga memiliki kepentingan ekonomi. Itu semua tercermin, bahwa negara-negara di kawasan Timur Tengah adalah pasar penting bagi Amerika dan Eropa dalam mendistribusikan hasil produksi mereka, baik itu alutsista maupun berbagai macam barang produksi lainnya.

Selain itu, adanya kompetisi perebutan pengaruh yang begitu kuat di kawasan Timur Tengah antara blok Barat dan Timur, sangatlah terlihat. Rusia dan Cina sebgai negara yang selalu menempatkan diri sebagai penantang dari Amerika dan sekutunya, juga telah memainkan peranan yang begitu kuat di beberapa negara Timur Tengah.

Iran, Suriah, dan kelompok Hizbullah adalah sekutu kuat Rusia dan Cina di kawasan tersebut, sering dirasa sebagai ancaman dan gangguan bagi Amerika dan sekutunya. Betapa tidak, Iran, Suriah, dan Hizbullah selalu memperlihatkan penentangangannya terhadap Amerika dan sekutunya.

Dari penjelasan di atas, kita bisa melihat perbedaan yang sangat nampak dari apa yang terjadi di beberapa negara Arab yang mengalami The Arab Spring. Suriah, adalah satu-satunya negara Arab yang mengalami Arab Spring yang pemerintahnya mampu bertahan dari 2011 sampai dengan 2021 saat ini.

Sistem politik yang otoritarianisme dan keadaan ekonomi yang memburuk yang dialami Suriah juga tidak jauh beda dengan apa yang terjadi di negara-negara Arab Spring lainnya yang pemerintahannya telah tumbang. Kalau di Tunisia, Mesir, Libya, dan yang lainnya yang menjadi hambatan bagi masyarakat untuk melakukan revolusi adalah pemerintahnya yang hanya cukup dengan berdemonstrasi dan melakukan perlawanan bersenjata yang banyak disokong kemudian oleh Amerika dan sekutunya.

Tetapi, sangat berbeda dengan apa yang terjadi di Suriah. Perlawanan masyarakat Suriah yang merasa tidak sesuai dengan pemerintah dan meskipun telah disokong kuat oleh Amerika dan sekutunya baik dengan persenjataan dan yang lainnya, tapi masih belum mampu untuk menumbangkan pemerintahan Bashar Al-Assad, karena memang Bashar mendapatkan dukungan yang begitu solid dari Rusia, Cina, Iran, dan Hizbullah.

Amerika, sebagai salah satu negara utama yang sangat gencar menyuarakan sistem demokrasi dan kedilan. Namun di satu sisi, juga memperlihatkan peran gandanya. Ketika suatu negara di Timur Tengah, meskipun pada kenyataannya menganut sistem pemerintahan otoritarisnisme dan banyak melakukan pelanggaran hak asasi manusia.

Akan tetapi, ketika Amerika melihat apa yang menjadi kepentingan yang dianggapnya lebih primer, maka Amerika akan berhubungan mesra dengan negara tersebut. Itu semua, bisa kita lihat dari hubungan baik antara Amerika dengan sebagian besar negara di kawasan Teluk yang kaya akan minyak.

Hal di atas yang kemudian menjadi salah satu ketidak percayaan banyak di antara masyarakat Arab terhadap Amerika. Begitu juga dengan kasus Mesir setelah Arab Spring, tatkala sistem demokrasi sudah memperlihatkan wujud nyatanya dengan terpilihnya Mohammad Morsi dari Ikhwanul Muslimin sebagai Presiden, Amerika malah bersifat memusuhi, karena banyaknya ketidak sepemahaman antara apa yang diinginkan Amerika dengan pemerintahan yang menjadi tujuan dari Ikhwanul Muslimin lewat Presiden Mohammad Morsi.

Pengaruh media, juga dirasakan sangat signifikan dalam memompa semangat rakyat Arab di beberapa negara yang mersakan ketertindasan. Media yang saat ini dengan berbagai macam coraknya menjadi salah satu perantara yang secepat kilat menginformasikan keadaan dan fenomena yang terjadi di suatu tempat.

Beberapa media besar asing lainnya, juga mengambil peranan yang besar dalam memberitakan apa yang terjadi di Tunisia pada mulanya sehingga terus menjalar ke beberapa negara lainnya.

Ahmad Masyhur, M.A.
Ahmad Masyhur, M.A.
Alumni SPs UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru