Harakatuna.com – Radikal-ekstremisme terus menjadi fokus perhatian utama di ruang-ruang publik, terutama karena implikasinya yang signifikan terhadap generasi muda. Anak muda yang sepatutnya menjadi pendorong perubahan positif sering terjerumus ke dalam radikal-ekstremisme. Fenomena tersebut kompleks. Tidaklah memadai untuk hanya menyalahkan kurangnya pendidikan agama atau kelemahan kontrol sosial. Ekstremisme merupakan fenomena multidimensi yang dipengaruhi oleh faktor sosial, psikologis, budaya, bahkan politik global.
Banyak generasi muda yang sedang mencari makna eksistensial, moralitas yang jelas, serta perasaan memiliki diri di tengah ketidakpastian global. Kelompok ekstremis menghadirkan solusi yang tampak sederhana dan menawarkan narasi yang kuat. Di sini, saya akan membahas beberapa faktor utama yang memengaruhi minat anak muda terhadap radikal-ekstremisme, sekaligus mencari strategi efektif dalam kontra-radikalisasi.
Generasi muda berkembang dalam lingkungan yang terus berubah dengan cepat. Teknologi digital, globalisasi, dan perubahan nilai-nilai tradisional telah menghasilkan dinamika sosial yang kompleks. Dalam masyarakat modern, nilai-nilai kolektif yang pada masa lalu menjadi dasar penting, seperti solidaritas dalam lingkungan keluarga dan masyarakat, tergeser oleh individualisme. Banyak pemuda merasa kesepian dan kehilangan arah dalam hidup.
Di situlah tempat ekstremisme menawarkan jawaban. Kelompok ekstremis menggambarkan diri mereka sebagai pelindung nilai-nilai tradisional dan agama. Pemuda yang merasa teralienasi tertarik pada narasi tersebut, terutama karena memberikan rasa stabilitas di tengah ketidakpastian dunia modern.
Teknologi digital telah mempercepat proses radikalisasi. Media sosial telah menjadi wadah yang subur bagi propaganda ekstremis yang ditujukan kepada kaum muda dengan narasi yang sederhana namun meyakinkan. Dengan menggunakan YouTube, TikTok, atau Instagram, konten yang bersifat radikal dapat muncul berulang kali dan menarik minat pengguna. Pemuda yang pada mulanya hanya mencari informasi mengenai agama atau isu politik tertentu terperangkap dalam lingkaran propaganda radikal-ekstremisme.
Krisis Kebermaknaan dalam Konsumerisme
Budaya konsumerisme juga merupakan satu faktor signifikan. Dalam konteks budaya, prestasi dinilai berdasarkan faktor material seperti kepemilikan barang mewah, popularitas dalam media sosial, atau pencapaian karier yang gemilang. Namun, tidak semua generasi muda mampu memenuhi standar tersebut. Banyak di antara mereka merasakan rasa kegagalan, kecil, dan kurang memiliki makna.
Di sisi yang lain, ideologi ekstremis menawarkan alternatif yang menarik. Mereka menetapkan bahwa keberhasilan tidak ditentukan oleh faktor materi, tetapi lebih pada aspek keberanian, pengorbanan, dan perjuangan moral. Anak muda yang mengalami kegagalan dalam realitas konsumerisme akan tertarik pada konsep “menyingkirkan aspek materialistik” dan mengadopsi gaya hidup yang dianggap lebih mendasar.
Lebih menarik lagi, kelompok ekstremis sering memberikan peran besar kepada kaum muda. Mereka tidak hanya dianggap sebagai pengikut, tetapi juga sebagai “pejuang kebenaran”. Peran ini meningkatkan harga diri mereka, yang sebelumnya mungkin tidak diperhatikan oleh keluarga atau masyarakat.
Keluarga merupakan landasan utama dalam pembentukan nilai-nilai bagi generasi muda. Namun, dalam banyak kasus, keluarga gagal memenuhi fungsi tersebut. Kesibukan orang tua, konflik internal, atau bahkan perpecahan keluarga mengakibatkan terjadinya kekosongan dalam kehidupan anak muda. Apabila lingkungan keluarga tidak lagi dianggap sebagai tempat yang aman, generasi muda cenderung mencari perlindungan di luar lingkungan rumah mereka.
Kelompok ekstremis memanfaatkan kekosongan tersebut untuk menyajikan solidaritas dan persatuan. Dalam lingkungan mereka, para pemuda merasa dihormati dan diterima tanpa persyaratan, suatu hal yang mungkin tidak mereka temui di rumah. Di samping itu, retorika dari kelompok ekstremis menguatkan narasi bahwa mereka adalah keluarga baru yang akan melindungi anggota mereka hingga akhir.
Suatu isu tambahan yang perlu diperhatikan adalah kurang terjalinnya komunikasi efektif antara orang tua dengan anak. Banyak generasi muda merasa bahwa orang tua mereka tidak memahami perspektif serta pengalaman yang mereka miliki dalam kehidupan saat ini. Dalam konteks ini, kelompok ekstremis muncul sebagai entitas yang berperan sebagai “pendengar” yang lebih memahami, menawarkan solusi, dan pada akhirnya berhasil mengambil hati para generasi muda.
Kesenjangan Pendidikan
Pendidikan merupakan sarana penting dalam membentuk pemikiran kritis. Bagaimana pun, sistem pendidikan kita memberikan penekanan yang lebih besar pada penguasaan materi akademis daripada pengembangan karakter atau kemampuan analitis.
Dampaknya, banyak generasi muda mengalami kekurangan keterampilan dalam melakukan penyaringan terhadap informasi yang diterima, terutama dalam era digital. Mereka memiliki kecenderungan untuk menerima segala hal yang terlihat meyakinkan tanpa melakukan pertanyaan terhadap motif atau keabsahannya. Propaganda radikal-ekstremisme jelas menunjukkan tingkat efektivitas yang tinggi untuk anak muda.
Di beberapa lokasi tertentu, pendidikan agama kurang diajarkan dengan cara yang relevan bagi generasi muda. Sebagian besar hanya berfokus pada hafalan atau ritual, tanpa memberikan kesempatan untuk berdiskusi secara kritis tentang nilai-nilai universal agama. Para pemuda yang berkeinginan untuk memperdalam memahami agama kesulitan menemukan solusi dalam kerangka pendidikan resmi. Karena itu, mereka mencari solusi di tempat lain, seperti bergabung dengan kelompok ekstremis.
Apabila seseorang tidak berhasil menemukan solusi dalam lingkungan keluarga, pendidikan, atau sosial, mereka menjadi rentan terhadap pengaruh dari luar. Kelompok ekstremis secara rutin menyediakan pengalaman memiliki, kejelasan moral, dan tujuan hidup yang agung. Mereka membentuk sebuah narasi yang menyatakan bahwa kaum muda merupakan bagian dari upaya yang agung untuk menegakkan kebenaran. Dalam konteks itulah, radikal-ekstremisme tidak saja dianggap pilihan, melainkan juga merupakan kebutuhan psikologis anak muda itu sendiri.
Selain itu, kelompok ekstremis memanfaatkan manipulasi emosional yang sangat efektif. Mereka menciptakan narasi “musuh bersama” guna mengukuhkan solidaritas di antara anggota. Narasi tersebut membangkitkan emosi kemarahan dan dorongan untuk bertindak, yang kemudian ditujukan kepada tujuan ideologi ekstremis.
Ketimpangan sosial, ekonomi, dan politik juga merupakan faktor utama yang mendorong minat generasi muda terhadap ekstremisme. Dalam era globalisasi yang semakin terhubung, generasi muda tidak hanya mengamati ketidakadilan di lingkungan sekitar mereka, tetapi juga di berbagai belahan dunia.
Banyak dari mereka merasa frustrasi dan tidak memiliki kekuatan untuk menghadapi ketidakadilan ini. Ideologi ekstremis menawarkan solusi yang terlihat minimalis: bertindak dengan kekerasan. Anak muda sering merasa bahwa hanya langkah-langkah luar biasa yang dapat menghasilkan perubahan yang signifikan. Beberapa langkah yang bisa diambil ialah mengembangkan pendidikan yang menitikberatkan pada pengembangan kemampuan analitis dan kemampuan dalam memilah informasi.
Menguatkan peran keluarga juga krusial. Komunikasi yang terbuka dapat mencegah para pemuda mencari perlindungan di lokasi lain. Meningkatkan kesadaran terhadap media, para generasi muda perlu diberi pengajaran mengenai cara mengidentifikasi propaganda dan menyaring informasi yang diperoleh dari media sosial.
Memfasilitasi penyediaan ruang terselubung. Pemerintah, komunitas, dan lembaga pendidikan disarankan untuk menciptakan lingkungan di mana anak muda dapat berpartisipasi dalam diskusi secara positif tanpa rasa takut akan penilaian yang merugikan. Dalam menangani ketimpangan sosial diperlukan kebijakan yang lebih inklusif untuk mengurangi frustrasi yang dirasakan anak muda terhadap sistem yang sedang berlaku.
Minat anak muda terhadap radikal-ekstremisme mencerminkan kebutuhan yang belum terpenuhi dalam diri mereka. Sebagai gantinya untuk sekadar melihat mereka sebagai ancaman, saya perlu memahami akar permasalahan ini dan menawarkan solusi yang berbasis kemanusiaan. Para pemuda merupakan modal sosial yang berharga bagi negara, dan tanggung jawab kita adalah mengoptimalkan potensi mereka agar dapat menjadi pemain kunci dalam membawa perubahan positif.
Dengan pendekatan yang lebih manusiawi dan mendalam, saya dapat membantu mereka menemukan jalan hidup yang lebih baik, menjauhkan dari ekstremisme, dan lebih mendekatkan pada kontribusi positif bagi masyarakat.
Referensi
Afrianto, T. Radikalisasi dan Gerakan Sosial di Kampus: Menjawab Tantangan Radikalisasi di Kalangan Mahasiswa. Jakarta: LP3ES. (2019).
Puspitasari, D. Eksistensi Radikalisasi di Dunia Maya: Media Sosial sebagai Sarana Penyebaran Ideologi Radikal. Yogyakarta: UGM Press. (2020).
Safitri, M. Menghadapi Radikalisasi di Kalangan Anak Muda: Perspektif Pendidikan dan Sosial. Jakarta: Gramedia. (2021).