Harakatuna.com – Penafsiran ulama atas Qs. al-Baqarah [2]: 79 yang selama ini hanya sekedar menceritakan akibat perbuatan Bani Israil yang telah mengubah kitab suci mereka secara sengaja, mengabaikan tujuan atau maqasid dari ayat-ayat kisah dalam al-Qur’an. Pengabaian melihat tujuan dari ayat-ayat kisah mengakibatkan penafsiran mereka useless untuk dibaca dalam kacamata kontemporer. Penafsiran M. Quraish Shihab misalnya menjelaskan bahwa ayat ini menyangkut tentang apa yang dialami oleh Bani Israil dan kitab suci Taurat setelah pembumi-hangusan Bait al-Maqdis tahun 588 SM dimana Taurat disimpan di satu tempat ikut terbakar padahal ia tidak dihafal oleh masyarakat karena kewajiban pembacaan Taurat oleh Nabi Musa hanya setiap tujuh tahun menurut Perjanjian Lama Kitab Ulangan 31:9. Kejadian ini mengharuskan para pemuka agama mereka menulis ulang Taurat, tetapi mereka memilih mengubah isi kitab tersebut berdasarkan keinginan nafsu mereka. Penafsiran atas Qs. al-Baqarah [2]: 79 dibaca berbeda oleh Mohamed Talbi.
Mohamed Talbi membaca Qs. al-Baqarah [2]: 79 dengan merefleksikannya pada umat Muslim kontemporer. Menurutnya Qs. al-Baqarah [2]: 79 merupakan sikap mental yang perlu dihindari. Talbi memahami bahwa ayat tersebut ingin menekankan kepada umat Muslim untuk menghindari sikap yang mencampuradukkan antara apa yang kita tulis dengan tangan kita sebagai hasil dari upaya kita dalam memahami teks, dan teks itu sendiri (al-Qur’an dan Hadits). Sikap ini seringkali dibalut dengan mengklaim pandangannya sebagai pandangan yang mewakili Islam, sehingga menjadikan umat Islam tidak sadar bahwa apa yang ia lakukan—mengklaim mewakili Islam—sebenarnya merupakan upaya pencampuradukan antara pemahamannya terhadap teks dan teks itu sendiri sebagaimana yang dilakukan oleh Bani Israil. Pada titik ini, Mohamed Talbi mensejajarkan antara sikap mengklaim pandangan sendiri sebagai pandangan yang mewakili Islam dengan sikap Bani Israil yang mencampuradukkan antara pemahamannya atas Taurat dan Taurat itu sendiri.
Sikap mengklaim pandangan sendiri sebagai pandangan yang mewakili Islam memiliki dampak yang berbahaya dalam kerukunan umat beragama sehingga perlu dihindari oleh umat Muslim. Talbi menyadari bahwa sikap di atas menjadikan umat Muslim menganggap bahwa pandangannya merupakan satu-satunya kebenaran karena merasa mewakili Islam, sehingga umat Muslim acapkali mengutuk dan mengkafirkan orang yang berbeda pendapat dengan mereka.
Ketika seseorang mengklaim dirinya sebagai representasi Islam—hal ini sering kali terlihat ketika para ahli hukum mengambil peran sebagai pemimpin agama atau imam—mereka cenderung merasa berhak menentukan siapa yang dianggap Muslim sejati dan siapa yang dicap kafir, seolah-olah mereka memegang kunci surga dan neraka. Dari pola pikir seperti ini, lahirlah berbagai bentuk fanatisme yang telah mewarnai sejarah kita dan masih terus membayangi hingga hari ini. Fanatisme inilah yang nantinya yang akan melanggengkan persekusi atau kekerasan terhadap kelompok atau individu yang tidak sependapat dengan mereka.
Talbi menekankan bahwa mereka yang berbuat demikian, tanpa sadar, terjebak dalam kemusyrikan. Mereka menempatkan diri seolah-olah sebagai pengganti Allah, mengklaim posisi sebagai jembatan antara Sang Pencipta dan makhluk-Nya. Padahal, tidak ada satu pun manusia yang benar-benar berhak berbicara atas nama Islam tanpa kemungkinan salah, kecuali Allah dan Rasul-Nya yang telah diutus dengan wahyu-Nya. Lebih dari itu, sikap semacam ini justru membunuh daya kreativitas pemikiran dan melahirkan kebekuan dalam konsensus yang serba kaku dan dogmatis.
Sikap ini lahir karena mereka cenderung beranggapan bahwa segala sesuatu memiliki kepastian pengetahuan. Alih-alih memahami sifat sementara dari pengetahuan yang mendorong mereka untuk melakukan pendekatan pluralistik yang tepat terhadap orang lain, mereka ini justru mengambil pendekatan absolut yang menganggap bahwa Islam mereka adalah satu-satunya Islam yang “benar”. Padahal salah satu sifat dari pengetahuan adalah nisbi, sehingga pengetahuan itu sifatnya relatif dan tidak bisa dipastikan kebenarannya secara mutlak. Hal itu juga yang menjadikan pengetahuan secara umum ataupun pengetahuan agama secara khusus pasti mengalami pengembangan yang berbeda dengan teks itu sendiri (al-Qur’an dan Hadits) yang statis.
Mohamed Talbi juga menekankan bahwa setiap manusia secara naluriah memiliki nilai pluralis. Pemahamannya tentang nilai pluralis sebagai sifat mutlak yang dimiliki setiap individu menjadikan Mohamed Talbi memahami sikap antagonisme solipsistik terhadap orang lain sebagai sikap yang bertentangan dengan kodrat manusia.
Oleh karena itu, mari mengingat agar tidak ada satu pun dari kita yang berani mengklaim bahwa ia mewakili Islam, sehingga kita tidak jatuh ke dalam kesalahan seperti yang dilakukan oleh orang-orang Bani Israil, yang dikutuk dalam firman-Nya: ‘Maka celakalah bagi orang-orang yang menulis kitab dengan tangan mereka sendiri, lalu mengatakan, “Ini dari Allah,” untuk memperoleh keuntungan yang sedikit darinya. Maka celakalah bagi mereka karena apa yang ditulis tangan mereka, dan celakalah bagi mereka karena apa yang mereka perbuat.’ (al-Baqarah [2]: 79). Wallahu a’lam.
Oleh: Azka Fazaka.