28 C
Jakarta

Refleksi Maulid Nabi; Memperkuat Persaudaraan Kemanusiaan dalam Bernegara

Artikel Trending

KhazanahPerspektifRefleksi Maulid Nabi; Memperkuat Persaudaraan Kemanusiaan dalam Bernegara
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Menjelang peringatan maulid Nabi Muhammad tahun 2022 ini, idealnya kita perlu merefleksikan kembali keteladanan yang sudah dipraktikkan oleh Rasulullah Saw memperkuat persaudaraan kemanusiaan dalam bingkai bernegara. Hal ini sangat penting, mengingat sampai detik ini, kelompok radikal masih terus saja melakukan propaganda untuk memecah belah dan meruntuhkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan ideologi khilafahnya.

Rasulullah Saw telah memberikan legasi dalam bernegara yang demokratis dan bagaimana pentingnya menghormati konsensus bersama, yakni ketika nabi hijrah dari Mekkah ke Yatsrib atau Madinah. Ketika itu, nabi membangun konsep persudaraan dalam bernegara yang melampaui zamannya.

Kota Madinah pada gilirannya menjadi kiblat pertama peradaban umat Islam. Di tempat inilah jejak historis kepemimpinan Islam yang bervisi ke depan, berkemajuan, berkeadilan dan berkesejahteraan ditancapkan oleh Rasulullah Saw.

Kota Madinah menjadi lokus dari hadirnya kebhinekaan, keadilan dan modernitas di zamannya. Melalui piagam Madinah, Nabi Muhammad Saw berhasil meletakkan fondasi bernegara dengan pluralitas masyarakat yang ada. Tak heran, Pakar hukum Islam Inggris berdarah India Muhammad Hamidullah, menyebut Piagam Madinah sebagai konstitusi demokratis modern pertama di dunia.

Meskipun demikian, menurutnya isi Piagam Madinah disusun bukan hanya dari pemikiran Nabi Muhammad sendiri, tetapi juga ada peran pemikiran dari semua tokoh masyarakat Madinah. Piagam Madinah disusun berdasarkan konsensus bersama seluruh komponen masyarakat lintas agama. Inilah konstitusi bernegara yang dibangun bersama-sama oleh Rasulullah Saw dengan masyarakat Madinah yang sangat plural.

Dalam konteks ini, di tengah kelompok pengasong khilafah yang masih ngotot ingin menerapkan ideologinya di Indonesia, maka mereaktualisasikan spirit nabi Muhammad dalam bernegara menemukan relevansinya. Sampai saat ini, mereka sebagai warga negara tidak menghendaki untuk tunduk kepada ideologi Pancasila, namun konsisten untuk menerapkan syariah Islam yang bagi mereka belum kaffah diterapkan di Indonesia.

Menurut mereka, konsep bernegara melalui Pancasila bertentangan dengan khilafah karena tidak ada atribut Islam spesifik yang termuat di dalamnya. Padahal nilai-nilai fundamental Islam sudah termuat dalam seluruh Sila Pancasila. Inilah yang masih menjadi problem gagal paham di internal pengasong khilafah.

Dua Urgensi

Oleh karena itu, pada momentum peringatan Maulid Nabi tahun ini penting kiranya merefleksikan spirit Rasulullah memperkuat persaudaraan kemanusiaan dalam bernegara. Pertama, Nabi Muhammad Saw membangun persaudaraan (internal) antar sesama Muslim (ukhuwah islamiyah). Nabi dalam hal ini berhasil menanamkan dan menguatkan basis solidaritas, soliditas dan kohesivitas sosial antar sesama umat Islam, bahwasanya persaudaraan bukan saja didasarkan pada nasab (keturunan), namun lebih dari itu adalah aqidah islamiyah sebagai basis keimanan umat.

BACA JUGA  Neo-HTI: Spirit Propaganda Khilafah yang Mesti Dilawan

Dari membangun persaudaraan internal ini, Nabi Muhammad meneladankan bahwa umat Islam seharusnya kuat dalam konteks persaudaraan antar seimannya. Ketika solidaritas terbentuk, maka umat Islam akan dapat menjadi contoh bagi umat agama yang lain. Dari solidaritas inilah kemudian terbentuk loyalitas dalam beragama yang kemudian melahirkan warga negara yang nasionalis-agamis.

Kedua, Nabi membangun persaudaraan (eksternal) antar umat (ukhuwah wathaniyah). Nabi dalam hal ini sangat cerdas membangun spirit toleransi antar umat beragama. Ketika itu, agar nabi dapat memahami kondisi dan situasi sosial di Madinah, Nabi Muhammad Saw kemudian melakukan sensus penduduk Madinah. Hasil dari sensus tersebut ditemukan bahwa dari 10.000 penduduk Madinah, penduduk muslim hanya 1.500 jiwa, sementara orang yahudi ada 4.000 jiwa dan 4.500 jiwa lainnya masih menganut paganisme (musyrikin) .

Setelah melakukan sensus Nabi Muhammad kemudian mempertemukan tiga entitas masyarakat Madinah, yakni: Muslim, Yahudi, dan musyrikin. Kaum Muslim terdiri dari kaum Muhajrin dan kaum Anshar. Kaum Muhajirin terdiri dari Bani Hasyim dan Bani Muthalib. Sementara Kaum Anshar terdiri dari Bani Aus dan Bani Khazraj. Kemudian Kaum Yahudi terdiri dari Bani Qaynuqa, Bani Nadhir dan Bani Quraizhah.

Berdasarkan realitas tersebut, maka masyarakat Madinah pada saat itu adalah komunitas yang pluralistik. Di sinilah sisi kecerdasan Nabi Muhammmad dalam menghadirkan konsep berbangsa dan bernegara untuk menciptakan suatu tatanan masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera (Muammar Bakry, 2021). Nabi sendiri pada praktiknya membebaskan konsep bernegara dalam Islam.

Akhirnya terciptalah sebuah visi besar yang kemudian mendorong Rasulullah Saw untuk menyusun sebuah dokumen yang disebut Mitsaq al-Madinah atau Piagam Madinah. Konsensus ini menjadi titik temu (kalimatun sawa’), untuk menjadi dasar hukum bagi kehidupan bermasyarakat di Madinah. Dan konsensus Madinah ini sangat dihormati berbagai elemen di dalamnya.

Dalam konteks Indonesia, Piagam Madinah itulah kemudian yang menjadi spirit para founding fathers bangsa Indonesia dalam membangun NKRI. Maka tak heran, Indonesia dengan ideologi Pancasila sangatlah Islami dan tidak sedikitpun bertentangan dengan nilai-nilai fundamental umat Islam sebagaimana dituduhkan oleh pengusung khilafahisme.

Maka di momen Maulid Nabi Muhammad Saw ini, kita perlu terus menghidupkan teladan Rasulullah untuk memperkuat persaudaraan kemanusiaan dalam bingkai bernegara. Dalam konteks Indonesia, kita juga wajib sebagai warga negara untuk menjaga bangsa ini dari ideologi yang bertentangan dengan konsensus bersama masyarakat Indonesia.

Ferdiansyah
Ferdiansyah
Peneliti The Al-Falah Institute Yogyakarta, IG: @ferdiansahjy

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru