30.1 C
Jakarta

Refleksi Hari Sumpah Pemuda: Indonesia Terjebak Kubangan Puritan Ekstrem

Artikel Trending

EditorialRefleksi Hari Sumpah Pemuda: Indonesia Terjebak Kubangan Puritan Ekstrem
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Sepekan terakhir, banyak polemik terjadi di negeri ini. Ketika momentum Maulid Nabi, media sosial ramai dengan postingan saling serang satu sama lain antara yang pro dan kontra. Bid’ah membid’ahkan masih menjadi tradisi. Di momentum Hari Santri Nasional, jagat maya heboh lagi dengan ujaran Menag Yaqut. Indonesia semakin hari tampak semakin ekstrem.

S.O.S. Begitulah istilah yang pas untuk membaca iklim keberagamaan kita sekarang. Semakin canggih teknologi, semakin mudah informasi, hoaks semakin marak. Semakin bebas berpendapat, caci-maki semakin tren. Bangsa, tanah air, dan bahasa Indonesia benar-benar sedang diselimuti ekstremisme. Spirit Hari Sumpah Pemuda tertutupi sama sekali.

Masyarakat kita, terutama umat Islam, juga terlihat semakin religius. Namun herannya, semakin islami penampilan mereka, semakin mudah mereka menyalahkan hingga mengafirkan orang lain. Semakin sering ikut pengajian, malah jadi suka membid’ahkan.

Padahal, para dai mereka mengajarkan Islam yang murni berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah. Namun mengapa semakin hari mereka semakin buruk sesama Muslim? Apakah Al-Qur’an dan Sunnah mengajarkan seorang Muslim mencela sesama dengan klaim diri merasa benar dan yang lain salah?

Semakin ke sini, budaya asli Indonesia, kearifan lokal yang sudah berusia berabad-abad dan sudah mapan, semakin banyak dipersoalkan. Dianggap tidak sesuai Islam, padahal sejak dahulu umat sudah akrab dengannya. Dianggap sesat, padahal dari budaya tersebut masyarakat menemukan ketenangan spritualitasnya.

Apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa masyarakat Indonesia semakin ekstrem padahal semangat beragamaan masyarakat semakin memuncak? Dan mengapa sebagian masyarakat mengabaikan fakta ini seolah kini masih baik-baik saja? Di Hari Sumpah Pemuda ini, refleksi menjadi salah satu usaha memperbaikinya.

Muhammadiyah dan NU adalah sayap keislaman Indonesia yang masing-masing punya misi ‘Islam Berkemajuan’ dan ‘Islam Nusantara’. Kementerian Agama, terutama sejak era Jokowi, juga telah menarasikan secara masif moderasi beragama. Namun, kenapa yang semakin mengemuka adalah aksi-aksi radikal?

Apakah kalangan moderat kalah pada kalangan radikal? Jika tidak, mengapa mereka tidak bersikap dan memilih menjadi silent majority? Kalangan artis, misalnya, yang punya pengaruh untuk mengajak para pengikutnya, mengapa justru jadi pemuka puritan? Indonesia yang menuju musim ekstrem ini apakah layak disebut kekalahan kaum moderat?

BACA JUGA  Fitnah Keji Aktivis Khilafah Terhadap Toleransi di Indonesia

Para pemuda yang dalam sejarah berhasil mendirikan Indonesia dengan membuang ego primordialisme, hari ini semakin asing—bahkan tidak terlihat. Pemuda hari ini justru sedang giat hijrah, mengaku hijrah dan menjadi shaleh, tetapi jari-jemarinya di media sosial sangat kotor: tidak hanya terlibat gosip tapi juga ujaran kebencian kepada kalangan yang berbeda. Pemuda yang sangat disayangkan perannya untuk bangsa.

Spirit keislaman tanpa pengetahuan telah menyeret mereka, para pemuda harapan bangsa, untuk menghidupkan kembali ego primordialitas: “saya yang paling benar,” “Anda salah dan sesat,” “negara ini harus diperbaiki,” dan “kami punya solusinya: khilafah.”

Puritanisme bahkan menjebak pemuda ke imej Indonesia yang jauh lebih ekstrem, yaitu teror. Bom bunuh diri di Katedral Makassar dan Mabes Polri beberapa waktu lalu adalah contoh kecil bahwa Indonesia berada dalam kubangan yang sangat berbahaya. Berbahaya untuk persatuan, untuk tanah air dan bangsa.

Bahasa kita, bahasa Indonesia, juga sudah tidak disukai dan lebih memilih bahasa Arab—karena dianggap lebih sakral dan lebih islami. Panggilan akhi-ukhti, ana-antum, dan simbol Saudi lainnya mendapat posisi yang lebih luhur daripada bahasa Indonesia. Kubangan puritan ekstrem tengah memainkan peran Wahhabisme, tapi membungkusnya dengab kemurnian Islam.

Bagaimana solusinya? Tidak lain adalah kembali pada kesadaran masing-masing. Indonesia bersatu dan kuat melalui Sumpah Pemuda, generasi masa depan yang mengantarkan Indonesia ke iklim demokrasi yang stabil. Sementara, pemuda Indonesia yang terjebak puritan ekstrem hari ini, di masa depan akan menjadi apa? Jelas, perusak persatuan.

Puritanisme ekstrem hanya bisa disembuhkan oleh kebangsaan atas diri sendiri. Bangga dengan bangsa dan tanah air sendiri, bukan bangga dengan tanah air Arab Saudi apalagi Turki Utsmani. Bangga dengan bahasa Indonesia sebagai pemersatu, bukan pada bahasa lain yang justru rentan memecah-belah.

Sebagai perayaan Hari Sumpah Pemuda, pemuda harus kembali ke pelukan bangsa tercinta. Membuag identitas Wahhabi, Salafi, Hizbut Tahrir, Ikhwanul Muslim, Jemaah Islamiyah, JAD, JAT, JAD, JAS, MMI, MIT, atau bahkan NII. Semua primordialisme tersebut harus dikubur karena telah menjebak Indonesia pada iklim ekstrem.

Tumpah darah, bangsa, dan bahasa, adalah satu: Indonesia. Itulah Sumpah Pemuda.

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru