25.7 C
Jakarta

Refleksi Hari Kartini; Menyemai Spirit Persatuan NKRI

Artikel Trending

KhazanahOpiniRefleksi Hari Kartini; Menyemai Spirit Persatuan NKRI
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com“Orang yang diperingati hari lahirnya cuma ada tiga. Nabi Isa, Kanjeng Nabi Muhammad, dan yang nomor tiga itu yang harum namanya, Raden Ajeng Kartini” begitulah ucap Gus Mus. Dan buktinya banyak masyarakat Indonesia memperingati sosok Kartini, tulisan-tulisan mengenai Kartini pun telah banyak beredar di beragam media sosial, berseliweran opini-opini yang berkaitan erat dengan upaya kontekstualisasi gagasan dari sosok Kartini ini.

Merayakan Kartini bukan sekadar ucapan selamat dengan headline mentereng “Habis gelap terbitlah terang” atau dengan mengenakan kebaya-kebaya ala Kartini dll. Hal itu bagus, hanya saja jika tidak menjamah palung gagasannya juga sangat disayangkan, merayakan Kartini berarti juga merayakan pemikirannya, mengkaji ulang tulisan-tulisannya, dan berupaya mengkontekstualisasikan untuk merespon dan menjawab persoalan termutakhir.

Paling tidak gagasan Kartini meliputi banyak hal yang meruncing pada ranah sosial kemasyarakatan. Tidak berlebihan jika Kartini dianggap sebagai pemikir sosial bahkan sampai-sampai Prof. Syed Farid Alatas seorang guru besar sosiologi National University of Singapore menurut Okky Madasari – yang menyatakan  bahwa pemikiran Kartini sangat layak menjadi sumber teori sosial alternatif yang lebih relevan untuk masyarakat Nusantara, mulai dari gagasan kesetaraan gender, polemik keagaaman, foedalisme, kolonialisme, pendidikan, hingga furnitur sastranya. Pemikirannya masih sangat relevan dalam menelaah laju pergerakan Islam fundamentalis yang merongrong Pancasila sebagaimana dialami saat ini.

Jika menelaah belantara pemikiran Kartini, paling tidak akan ditemukan beberapa poin gagasan yang prinsipil, pertama, berorientasi pada kepentingan rakyat sebagai tujuannya. Apapun itu kalau untuk kesejahteraan rakyat harus segera dilakukan, kedua, ilmu, yang mengantarkanya pada penolakannya terhadap paham keislaman yang picik, ia mengkritik model pengajaran Islam di Jawa yang tidak memeberi kesempatan untuk mempelajari esensi dari kandungan Islam. Dan beragam gagasan lainnya.

Bahaya Pengasong Khilafah

Memang benar, HTI, FPI telah ditetapkan sebagai organisasi terlarang di Indonesia dan secara resmi dibubarkan karena berupaya menggeser Pancasila dengan sistem khilafah. Betapapun organisasi tersebut dibubarkan, namun siapa yang bisa menghapuskan ideologi yang hidup dalam diri manusia? Ideologi akan terus hidup sejauh dia mengimani hal itu.

Jika ditilik dengan seksama, gerilya pentolan khilafah ini terus berjalan. Di dunia maya juga semakin gencar dengan teriakan kembali pada khilafah. Khilafah dianggap sebagai solusi dari semua persoalan. Bahkan dalam soal kenaikan harga BBM kemarin, bukan hanya mencela ketidak-becusan rezim Jokowi, namun juga mencemooh sistem yang rusak dan harus diselesaikan dengan sistem khilafah.

Termasuk juga demontrasi yang terjadi kemarin lalu, menjadi momentum yang menjadi penyulut provokasi untuk menjelek-jelekkan dan terus mencari celah buruk dari sistem yang ada dengan menawarkan khilafah sebagai sistem kenegaraan yang solutif.

Baik di dunia nyata maupun maya, kesemuanya sama-sama gencar dan terus membangun narasi yang memberikan citra buruk dengan menggiring opini pada kebahagiaan-kebahagiaan semu jika khilafah ini tegak.

Jika hal itu terus dibiarkan, eksistensi pancasila yang memegang teguh kebhinekaan akan tercemari dengan narasi-narasi barisan ini, Pancasila yang telah diterima setiap kalangan dan menjadi rumah yang melindungi rakyat Indonesia tanpa melihat sekat Suku, Agama, Ras, dan Budaya.

Bahkan bagi Prof. Yudian Wahyudi Pancasila bisa disebut sebagai “lokalitas” dari syariat Islam, di mana nilai-nilai universal syariah terejawantah di bumi Indonesia melalui dasar filosofis (philosophische grondslag) negara ini. (Wahyudi, 2013: 11) hal tersebut bersentuhan dengan budaya masyarakat setempat dan tidak memunggungi nilai-nilai keaqidahan dan syariatNya.

Tidakkah kita melihat bagaimana sejarah mencatat perseteruan sila pertama saat awal pembentukan Pancasila ini? Dengan menghapus tujuh kata agar diterima semua kalangan tanpa harus ada perpecahan untuk melawan musuh yang sama.

Lalu bagaimana dengan Kartini menemukan keterkaitannya?

Memang Kartini saat itu belum mengenal Pancasila (karena Pancasila belum lahir), dan juga belum mengetahui akan ada Islam garis keras sebagaimana orang-orang katakan, dan tidak pula hidup di tengah hingar-bingar pertarungan ideologi di pentas maya. Meski demikian, ia juga menyiratkan pesan yang dikirimnya berapa abad lalu menemukan relevansinya untuk masa saat ini.

BACA JUGA  Pemilu 2024: Menyelamatkan Demokrasi dari Ancaman Radikalisme

Berikut saya kutipkan sepenggal kegelisahan dari surat Kartini untuk sahabat penanya Stella Zeehandelar, di surat ini tertanggal 6 November 1899;

“Mengenai agamaku, Islam, aku harus menceritakan apa? Islam melarang umatnya mendiskusikan ajaran agamanya dengan umat lain. Lagi pula, aku beragama Islam karena nenek moyangku Islam. Bagaimana aku dapat mencintai agamaku, jika aku tidak mengerti dan tidak boleh memahaminya?”

“Aku pikir, adalah gila orang diajar membaca tapi tidak diajar makna yang dibaca. Itu sama halnya engkau menyuruh aku menghapal bahasa Inggris, tapi tidak memberi artinya. Aku pikir, tidak jadi orang saleh pun tidak apa-apa, asalkan jadi orang baik hati. Bukankah begitu Stella?”

Lalu terkait erat dengan surat sebelumnya yang ditulis untuk istri dari Direktur Pendidikan Agama dan Industri Hindia Belanda Nyonya Abendanon yang tertanggal 15 Agustus 1902.

“Dan waktu itu aku tidak mau lagi melakukan hal-hal yang tidak tahu apa perlu dan manfaatnya. Aku tidak mau lagi membaca Alquran, belajar menghapal perumpamaan-perumpamaan dengan bahasa asing yang tidak aku mengerti artinya,”

“Jangan-jangan, guruku pun tidak mengerti artinya. Katakanlah kepada aku apa artinya, nanti aku akan mempelajari apa saja. Aku berdosa. Kitab ini terlalu suci, sehingga kami tidak boleh mengerti apa artinya,” Begitulah kegundahan Kartini yang diutarakan melalui surat-suratnya.

Hal seperti itulah yang dialami Kartini, saat dirinya tengah belajar agama Islam pada seorang guru dan ternyata menemukan berbagai kejanggalan yang digelisahkan karena belum juga menemukan esensi kelezatan dalam beragama, hingga akhirnya ia bertemu dengan KH. Sholeh Darat yang mengantarkannya pada pemahaman dari Alquran yang ditejemahkan KH. Sholeh Darat dalam bahasa Jawa.

Paling tidak dari pesan di atas, khususnya untuk kawula muda, menegaskan bagaimana sikap kritis Kartini saat dihadapkan dengan fenomena model pembelajaran agama yang picik dan rigid sehingga untuk membahasnya pun sangat memuakkan. Hal ini tampak dari surat terakhir Kartini yang tidak ingin lagi membaca (Alquran) apa yang tidak ia pahami.

Mari sedikit ditarik untuk masa sekarang, andai saja segala yang termuat di internet bermuatan positif dalam arti semua konten mengandung muatan nir-radikalisme yang mengusung penuh asas Bhineka Tunggal Ika, tentu tidak akan menjadi masalah. Masalahnya di dunia maya, spirit untuk merongrong dan menggeser Pancasila agar bertekuk lutut di bawah panji khilafah.

Lagi-lagi bagi Kartini, yang harus dikedepankan adalah sikap kritisnya dalam memilih-milah beragam konten, otoritas kelimuan yang terlibat dan sebisa mungkin menjaga jarak, dalam bahasa filsafat disebut skeptis, meragukan apa yang dilihat sebelum benar-benar yakin bahwa itu memang benar.

Harus memiliki sifat selektif dan terbuka mana konten yang menyeru pada kegaduhan, menabur bibit-bibit kebencian dan mana yang sebaliknya, contoh kasarnya seperti umpatan kasar, upaya takfir atau menyeru untuk berjihad dengan dalih membela Tuhan dengan diiming-imingi surga sebagai balasan. Bukannya menjadi Islam yang Madani, malah menjadi Islam yang Medeni (Jawa: menakutkan). Seharusnya Islam yang harus ditampilkan bukan yang garang, tapi yang menampakkan kesejukan yang rahmatan lil ‘alamin.

Untuk mencapai hal itu, Kartini kembali mengingatkan ilmu lah yang menjadi kuncinya. Di sinilah letak pokok persoalannya: pendidikan. Menurut Kartini, ketika negara tak mampu menjamin setiap orang mendapatkan jatah makanan dan kesempatan ekonomi yang sama, paling tidak pemerintah wajib menyediakan pendidikan berkualitas karena hanya dengan demikian setiap orang bisa memenuhi kebutuhannya.

Spirit perjuangan dan spirit pembebasan dari keterpicikan harus lestari. Kartini ingin mengajak masyarakat luas untuk terus menggali ilmu sedalam mungkin agar tercipta bangsa mandiri yang mampu menyaingi peradaban Eropa. Daripada hanya malah berkutat pada pergeseran dari demokrasi ke khilafah atau upaya takfir dan sebagainya. Lestarikan yang ada dan rawat ideologi bangsa, tumpaskan ideologi Islam garis keras ini dengan ilmu secara bajik nan bijak!

Wallahu ‘alam bi al-shawab

Ali Yazid Hamdani
Ali Yazid Hamdani
Mukim di Yogyakarta, Mahasiswa Aqidah dan Filsafat Islam Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru