28.2 C
Jakarta

Refleksi dari Hiroko Oyamada: Kata Pertama, Motif Menulis, dan Kritik-Kritiknya

Artikel Trending

KhazanahLiterasiRefleksi dari Hiroko Oyamada: Kata Pertama, Motif Menulis, dan Kritik-Kritiknya
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Bagaimana seorang penulis memperlakukan kata pertama? Sudah jamak didengar bahwa kata pertama, juga paragraf pertama, memegang penentu sebuah karya dalam hal menggait perhatian seorang pembaca. Bahkan, ada anggapan yang menyebutkan bahwa kata (dan paragraf) pertama adalah pertaruhan kedua sebuah karya akan bisa menarik perhatian pembaca atau tidak.

Kalau kelewat biasa, pembaca bisa saja langsung meninggalkannya, sementara kalau memiliki keunikan dan sesuatu kuat, pembaca betah membacanya dan terus menantikan apa lagi yang akan didapati dalam karya tersebut.

Kesan pentingnya kata pertama itu pulalah yang diamini oleh seorang penulis perempuan Jepang kontemporer, yaitu Hiroko Oyamada. Dalam salah satu wawancaranya bersama penerjemah David Boyd di kanal media Lithub, perempuan yang sudah menelurkan dua novel ke publik global itu mengaku memperlakukan kata pertama secarah khusus.

Bagi Oyamada, kata pertama adalah keajaiban yang merentangkan sejumlah penemuan-penemuan dalam proses kepenulisannya. Dengan satu atau dua frasa kata yang kuat, Oyamada bisa memulai sebuah kisah tertentu, kemudian membiarkan proses menulisnya mengalir bak air dan ia tenggelam dalam proses itu.

Dari kata atau frasa pertama itulah, ia bisa menyelesaikan dua mahakaryanya. Sebagai contoh, saat menggarap novel pertamanya, The Factory (New Directions, 2019), Oyamada hanya memulainya dengan satu kata khusus yang berkaitan dengan topik yang akan dibawakan dalam karyanya. Kata itu berhubungan dengan pekerja dan pabrik. Dari kata itu, ia lantas membiarkan proses menulisnya mengalir dengan bebas.

Hal serupa, juga dilakukannya saat mulai menggarap novel keduanya, The Hole (New Directions, 2020), Oyamada memulainya dengan dua kata yang menjadi kata kunci utama, yaitu Natsu dan Yome. Dua kata itulah yang mewakili keseluruhan cerita dan menjadi gerbang bagi Oyamada untuk mengawali ceritanya.

Adapun tentang dua kata itu, kalau kita terjemahkan, Natsu bisa berarti musim panas, sedangkan Yome memiliki dua arti yang berbeda. Kata itu bisa berarti adik ipar atau pengantin perempuan, dan penggunaannya tergantung pada situasi ketika kata itu digunakan. Di dalam cerita, Natsu mewakili pemilihan setting cerita yang dipilih oleh Oyamada.

Novel The Hole itu memang mengambil setting saat musim panas berlangsung, berikut nuansa ganjil dan udara panasnya yang tergambarkan secara baik lewat atmosfer dalam ceritanya. Sementara itu, arti kata Yome dalam cerita ini ditunjukkan pada arti pengantin perempuan, yang menjadi latar belakang dari karakter utama di dalam ceritanya.

Perpaduan dua kata itulah yang menjadi pondasi utama dari keseluruhan jalan cerita The Hole. Oyamada memperlakukan dua kata itu dengan begitu baik, sehingga ia bisa menjadi bahan utama dari cerita yang ditulisnya. Susunan kalimat yang muasalnya dari kedua kata itu menjadi gerbang bagi terbuka sejumlah kalimat yang muncul seiring proses menulis yang dilakukannya.

BACA JUGA  Telaah Literasi Kita: Indonesia Darurat Membaca?

Namun, apakah kata pertama saja cukup untuk memulai sebuah cerita? Dari gambaran proses menulis Hiroko Oyamada, hal itu sepertinya belum cukup. Sebab, ada juga hal lain yang dimiliki oleh penulis saat hendak memulai kata pertama mereka.

Bagi Oyamada sendiri, hal lain itu berhubungan dengan motif yang melatarbelakangi proses kepangarangannya, dan pesan yang ingin disampaikan kepada khalayak pembaca. Mulanya, keinginan untuk menulis itu dimulai dari rasa gelisahnya sebagai pekerja di sebuah pabrik mobil besar di Jepang.

Sebagai seorang pekerja temporer, Oyamada merasakan ada ketidakdilan dan ia merasa kehilangan alasannya dalam bekerja di tempat itu. Hilangnya alasan itu sendiri, menurut pengakuannya, diakibatkan oleh lingkungan kerjanya yang tak sehat, yang membuatnya merasakan “tidak ada nilai dari pekerjaan yang dilakukannya”.

Dari situ, Oyamada lantas tergerak untuk menuliskan satu karya yang berhubungan dengan kegelisahannya. Ia ingin menulis soal seorang karakter yang terjebak dalam lingkungan kerja yang merenggut jati dirinya, yang membuatnya mempertanyakan eksistensi dan pekerjaan di sana, tetapi tidak memiliki kuasa untuk melepaskan diri.

Maka, ia pun menggarap novel The Factory, yang mengisahkan tiga karakter utama dalam kemelut kebingungan dan usaha mempertanyakan status serta eksistensi mereka sebagai seorang pekerja di sebuah pabrik raksasa, ganjil, dan misterius.

Contoh lainnya, juga bisa kita dapati dari latar belakang dari penulisan novel keduanya, The Hole. Sebagai seorang perempuan, Oyamada merasakan adanya ketidakdilan dan penyematan tertentu terhadap status perempuan di masyarakat. Di dalam masyarakat, khususnya di Jepang, terdapat sejumlah norma dan aturan yang membelenggu pergerakan seorang perempuan, juga standar-standar tertentu yang disematkan dalam diri mereka.

Dari situ, Oyamada tergerak untuk menuliskan kegelisahannya itu dalam The Hole, yang mengisahkan perasaan terjebak seorang pengantin muda yang kebingungan dalam menyesuaikan dirinya dengan keluarga dan masyarakat di sekitarnya.

Dari kegelisahan itu, Oyamada lantas memposisikan karyanya sebagai medium atas sejumlah kritikannya terhadap norma dan kehidupan di masyarakat. Ia ingin adanya perubahan, kehidupan yang lebih menghargai nilai dan eksistensi seorang pekerja, seperti yang disematkan dalam novel The Factory. Juga kehidupan yang ramah terhadap perempuan, yang tidak memacak standar-standar tertentu, dan yang tidak menekan mereka dengan sejumlah tuntutan-tuntutan, seperti yang terkandung dalam novel The Hole.

Dengan begitu, dalam menghasilkan karya-karyanya, Hiroko Oyamada akan menanyakan dalam dirinya, untuk apa kita menulis? Apa yang melatarbelakangi kita? Kemudian, ia akan tergerak menentukan pesan atau kritikan macam apa yang hendak disematkan ke dalam karya-karyanya. Setelah itu, ia akan memulai dengan satu atau frasa tertentu yang menjadi pijakan awalnya saat mulai menulis.

Nah, pertanyaannya, sudahkah kita memeriksa ketiga hal tersebut dalam laku menulis yang kita lakukan?

Wahid Kurniawan
Wahid Kurniawan
Pegiat literasi. Mahasiswa Sastra Inggris di Universitas Teknokrat Indonesia.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru