31.4 C
Jakarta

Refleksi 94 Tahun Sumpah Pemuda: Menjadi Nasionalis Bukan Apatis

Artikel Trending

KhazanahOpiniRefleksi 94 Tahun Sumpah Pemuda: Menjadi Nasionalis Bukan Apatis
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Nasionalisme seseorang dapat diukur dari seberapa besar perhatiannya terhadap permasalahan kebangsaan. Apabila seseorang terbukti tidak memiliki perhatian khusus tentang masalah kebangsaan, sudah dipastikan dirinya menjadi generasi apatis. A sentiment or conciousness of be longing to the nation, menjadi gambaran betapa pentingnya nasionalisme menurut Anthony D. Smith.

Historitas nasionalisme pertama kali dibawa ke Nusantara oleh golongan priyayi yang bersekolah di negara Belanda dan orang-orang Tionghoa. Oleh generasi selanjutnya, nasionalisme diwujudkan dalam bentuk simbol. Terwujudlah Pancasila lengkap dengan nilai yang syarat makna. Semua pihak menyepakatinya, dan menjadikannya sebagai satu-satunya ideologi Indonesia.

Soal implementasi dari nasionalisme, akan mengalami perubahan dari masa ke masa. Soetjipto Wirosardjono dalam esainya yang berjudul “Nasionalisme” menyebutkan 3 bentuk nasionalisme yang terus berubah. Pertama, nasionalisme kuno, yang digambarkan dengan perlawanan hebat melawan pihak penjajah. Kedua, nasionalisme baru, yang mengacu pada pembentukan negara maju. Ketiga, nasionalisme pasca-nasional, yang memunculkan semangat untuk meraih nilai yang lebih universal.

Dari pengertian itu, banyak orang mengaitkan nasionalisme dengan sikap heroisme. Keberadaan sikap ini tidak bisa datang tiba-tiba, melainkan hasil dari olah diri dan nilai kesadaran mendalam akan pentingnya mencintai suatu negara. Sumpah Pemuda yang dicetuskan tanggal 28 Oktober 1928 adalah gamabaran besar bagaimana sikap heroisme yang ada di masing-masing pemuda dimunculkan secara serentak.

Lahirlah suatu gerakan yang menyatukan semua pemuda dalam tumpah darah, bangsa, dan bahasa persatuan yang satu, yaitu Indonesia. Gerakan ini punya efek luas, hingga menuai sambutan hangat dari masyarakat dan menjadikannya sebagai peringatan kebangkitan nasionalisme di seluruh Indonesia.

Begitu kuatnya makna sumpah pemuda, hingga pada tanggal 28 Oktober, media terus mengabarkannya sebagai momen keakraban para pemuda dengan nasionalisme. Bagaimana urgensi pemuda dalam memperjuangkan nasionalisme bangsa dan bagaimana pemuda di masa sekarang harus mewujudkan nasionalisme yang sama seperti di masa lalu.

Menyorot dunia digital, kini ucapan sakti para pemuda di tanggal 28 Oktober 1928 kembali diuji. Tantangan berkembang dan problema yang makin variatif menambah kesan kuat bagaimana nasionalisme kian sulit diwujudkan. Hal itu tidak terlepas dari lahirnya berbagai kelompok yang menyerang nasionalisme dari berbagai macam arah.

BACA JUGA  Agama Kita Itu Islam, Bukan Ormas!

Sisi spiritualitas, kelompok radikal menyerang nasionalisme dengan doktrin terorisme dan pergantian ideologi menjadi milik mayoritas. Kelompok kapitalis, menyerang nasionalisme dengan menumbangkan perekonomian rakyat. Kemudian golongan koruptor menarasikan nasionalisme sebagai slogan belaka. Dibuktikan dengan pelucutan uang negara dan ingkar janji atas jabatan yang diberikan oleh rakyat.

Sisi rentan nasionalisme terus menerus dipertontonkan melalui media digital. Survei Indikator Politik Indonesia (IPI) menggambarkan bagaimana kepercayaan publik terus mengalami penurunan. Pada Mei 2022, dijabarkan kepercayaan publik menurun menyentuh angka 58,1%, dari yang sebelumnya 75,3%. Hal ini menjadi alaram negatif bagaimana wujud nasionalisme harus dikembalikan secepatnya untuk meraih kemajuan bangsa.

Oleh karena itu, apabila nasionalisme diartikan sebagai sesuatu yang muncul dari dalam diri, berarti setiap individu mempunyai tanggung jawab yang sama untuk memupuk nilai nasionalis. Tidak terkecuali lembaga pemerintahan atau elemen penting dalam negara, kesemuanya harus satu padu menyatukan suara membentuk diri yang nasionalisme. Mengingat pernyataan di awal, kesemua elemen harus peduli kepada permasalahan kebangsaan.

Misalnya elemen pemerintah harus merestrukturisasi peraturan disesuaikan dengan kepentingan nasionalisme bangsa. Mewujudkan konteks musyawarah untuk mencari solusi atas permasalahan kebangsaan. Kemudian masyarakat juga mempunyai tanggung jawab yang sama untuk melaksanakan peraturan yang telah disepakati serta secara aktif memberikan usul ataupun solusi atas problema yang terjadi.

Kesemuanya mempunyai bobot yang sama di mata negara, sebagai komponen pengerek nasionalisme. Maka ketimpangan-ketimpangan yang terjadi di wajah nasional harus secepatnya dihapus dari khazanah nasionalisme bangsa. Saling dukung antar semua elemen menjadi kunci terbentuknya bangunan kokoh nasionalisme bangsa.

Pada gerakan final, nasionalisme akan menjadi global dan dilaksanakan semua orang. Nasionalisme dijadikan kacamata dalam menghadapi permasalahan. Nasionalisme menjadi sesuatu yang terus ditanamkan di setiap generasi. Nasionalisme menjadi rentetan sejarah yang terus dibanggakan. Maka menjadi sosok nasionalis merupakan kewajiban yang harus diemban oleh setiap warga negara. Dan menjadi seorang apatis adalah pilihan yang harus dibuang jauh-jauh dari benak masyarakat Indonesia.

M. Nur Faizi
M. Nur Faizi
Mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Bergiat sebagai reporter di LPM Metamorfosa, Belajar agama di Pondok Pesantren Hidayatul Mubtadi-ien Yogyakarta.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru