34.3 C
Jakarta

Refleksi 1 Juni; Pancasila sebagai Esensi Moderasi

Artikel Trending

Milenial IslamRefleksi 1 Juni; Pancasila sebagai Esensi Moderasi
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Hari ini libur. Setiap tanggal 1 Juni, Indonesia merayakan Hari Lahir Pancasila. Sebagai dasar negara, Pancasila telah menjadi landasan untuk membangun dan memperkuat kebhinekaan serta kesatuan bangsa. Sebagai ideologi, ia mencerminkan semangat kebhinekaan yang menjadi kekuatan utama dalam membangun kerukunan antarumat, suku, dan budaya di Indonesia. Itulah esensi dari wasatiah atau moderasi yang perlu dipahami seluruh warga negara.

Dalam Pancasila, terkandung nilai-nilai keadilan sosial, persatuan, dan kesatuan. Itu semua menekankan pentingnya saling menghormati, menghargai, dan bekerja sama antarwarga negara, terlepas dari perbedaan yang ada. Melalui Pancasila, kita diingatkan untuk menjunjung tinggi toleransi, menghormati keanekaragaman, dan membangun persatuan di tengah segala perbedaan. Bukankah itu wasatiah? Bukankah dengan demikian moderasi telah memuat esensi Pancasila?

Sebagai bangsa yang beragam, Indonesia menghadapi sejumlah perbedaan pendapat dan konflik yang riskan bagi persatuan. Karenanya, refleksi ini mengajak introspeksi diri, mengevaluasi sejauh mana kita mampu mengamalkan nilai-nilai Pancasila dalam tindakan sehari-hari, baik dalam lingkungan pribadi, keluarga, maupun masyarakat. Sebagai esensi moderasi, Pancasila tidak hanya mesti jadi deklarasi resmi, tetapi juga menjadi landasan nyata dalam tindak dan interaksi sesama.

Selanjutnya, peringatan Hari Lahir Pancasila juga menjadi momen untuk mengingat kembali perjuangan para pendiri bangsa dalam merumuskan Pancasila sebagai dasar negara. Melalui perjuangan panjang dan dialog mendalam, mereka menciptakan landasan yang kuat untuk membangun negara persatuan dan kesatuan. Mereka telah membuktikan bahwa melalui dialog, musyawarah, dan spirit kebersamaan, kesepakatan yang menghormati keberagaman dan kepentingan bersama dapat tercapai.

Intinya, Hari Lahir Pancasila pada 1 Juni adalah momen penting untuk merefleksikan dan memperkuat kebhinekaan, kesatuan bangsa, serta esensi moderasi beragama. Melalui Pancasila, kita diingatkan ihwal tanggung jawab sebagai warga negara dalam mengamalkan nilai-nilai Pancasila pada kehidupan sehari-hari. Refleksi 1 Juni ini merupakan momentum  merenung, bersatu, dan berkontribusi dalam membangun Indonesia berlandaskan nilai-nilai Pancasila yang notabene esensi moderasi.

Universalitas Pancasila

Tulisan ini hendak bertolak dari gagasan Yudian Wahyudi, Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasil (BPIP), tentang ketahanan Pancasila. Tragedi-tragedi berdarah sudah dilalui, tetapi Pancasila tetap mampu menyatukan bangsa yang berbeda ras, suku, hingga agamanya. Juga bahwa, selaras dengan yang dilakukan Nabi. “Saya ingin mengatakan bahwa Negara Indonesia di bawah Soekarno-Hatta menjadi yang mampu meneladani pencapaian politik tertinggi Nabi Muhammad,” kata Yudian.

Ketahanan tersebut kalau diselisik tidak lepas dari universalitas Pancasila yang memuat konsensus beragama, kalimatun sawa’, yang itu juga berarti jalan tengah keberagamaan—wasatiah. Oleh karena moderasi beragama dimuat kelima sila yang ada, maka otomatis Pancasila merupakan personifikasi kitab: antara kitab teologis dengan kitab konstitusional. Hukum positif lantas menjadi landasan yang mengedepankan sikap egaliter dan mengakomodasi kebenaran yang majemuk.

Moderasi sendiri merupakan esensi Al-Qur’an, dan Pancasila merupakan salah satu pengejawantahan Islam yang moderat. Fondasinya keadilan, kesetaraan, dan hak asasi. Kesinambungan tersebut menyokong satu perspektif penting mengenai moderasi beragama. Ia merupakan konsep universal Islam, yang kokoh, lalu kita bisa meniliknya bahwa ketahanan Pancasila hingga hari ini lantaran tidak mendominasi suatu identitas pun. Ia berada di tengah, di antara doktrin-doktrin keagamaan.

BACA JUGA  Mewaspadai Dampak Serangan Iran-Israel di Indonesia

Ketika mengetahui keselarasan yang ada, maka memasifkan moderasi beragama sama persis alias plek-ketiplek dengan menjaga eksistensi Pancasila. Dalam konteks ini, yang bertanggung jawab atasnya tidak hanya agama tertentu, melainkan oleh seluruh tokoh agama-agama. Jiwa nasionalis tidak bisa lagi dikotakkan dengan agamis, sebab sikap agamis yang lurus dan benar akan senantiasa berkomitmen terhadap Pancasila.

Itulah yang disebut dengan konsensus. Bahwa dalam mengamalkan moderasi beragama, kesepakatan bersama mesti dibuat. Kita sudah membuat konsensus yang telah melahirkan sikap-sikap moderat, yaitu Pancasila. Lalu, kenapa di antara rakyat masih ada yang berniat mengutak-atiknya? Mengherankan. Universalitas Pancasila sendiri dipolemikkan oleh sementara kalangan, senasib dengan moderasi yang masih dianggap bagian dari liberalisme. Ironi.

Moderasi Itu Konsensus

Almarhum Azyumardi Azra, Guru Besar UIN Jakarta mengatakan, kita tidak punya alternatif ideologi dasar negara selain Pancasila. Ia merupakan ‘the conventional basic of Indonesian state’, dasar negara yang tidak ada hubungannya dengan agama. Tentu pernyataan Azra tidak bisa dipahami secara harfiah bahwa Pancasila tidak memiliki relasi apa pun dengan agama. Maksudnya ialah, ia tidak mendominasi keberagamaan tertentu, melainkan memuat semua nilai positif yang ada dalam agama-agama.

Karena itu Azra kemudian melepaskan ketergantungan Pancasila dengan agama, karena nilai-nilai semua agama sudah dimuatnya. Jika tidak, maka klaim oleh agama tertentu pasti tidak terhindarkan, dan Pancasila dipahami dalam arti yang tidak semestinya. Ibarat pohon besar yang menaungi segala yang berada di bawahnya, ia tidak menonjolkan ‘satu identitas’ tertentu, dan identitas besarnya tetaplah ‘pohon’. Pohon itulah Pancasila.

Ketika Pancasila hendak dirumuskan, dan setiap tokoh agama memberikan usul, maka di situlah konsensus tengah berlangsung. Dalam konsensus, tentu tolok ukurnya ialah keadilan bersama, tidak merugikan satu pun dari para pemberi usul. Moderasi beragama juga demikian. Jalan tengah selalu menyediakan ruang kepada pihak atau pendapat yang berbeda. Adalah mustahil moderasi itu lahir, sementara kesenjangan, otoritarianisme, hingga ketidakadilan bercokol di dalamnya.

Tugas kita adalah mengonsolidasi agama dengan Pancasila, tidak lagi mempertentangkannya, dalam tafsiran seakademis apa pun. Semua tokoh agama memiliki bagian untuk merealisasikan ini, dan persatuan—yang merupakan konsep moderasi—menjadi kunci penjagaan Pancasila. BPIP memang mengemban tugas untuk melakukan konsolidasi tersebut, tetapi keterlibatan seluruh elemen masyarakat dan tokoh keagamaan tetaplah penentu keberhasilannya.

Aktualisasi Pancasila juga ditujukan untuk mengukuhkan korelasi moderasi beragama dengan Pancasila, bahwa Pancasila adalah wujud lain dari beragama secara moderat. Masyarakat harus disadarkan akan hal ini agar tidak terjerumus doktrin agamaisasi politik yang hari-hari tengah marak terjadi.

Usaha mempermasalahkan moderasi beragama oleh sementara kalangan, tidak lain adalah wujud dari deideologisasi Pancasila, yang berujung kepada usaha merobohkan negara. Pada 1 Juni ini, mari berpikir besar tentang ideologi bangsa tercinta.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru