30.1 C
Jakarta

Radikalisme Sasar Kalangan Anak Muda Indonesia

Artikel Trending

AkhbarNasionalRadikalisme Sasar Kalangan Anak Muda Indonesia
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com. Jakarta – Di hadapan forum rektor, Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) memperingatkan tentang ancaman dan bahaya radikalisme di institusi pendidikan. Kepala Negara mengingatkan pimpinan kampus untuk aktif melakukan pengawasan terhadap segala aktivitas mahasiswa agar mereka tidak terpapar paham radikalisme.

Ancaman radikalisme juga diungkapkan tegas oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan beberapa lembaga survei seperti Alvara Research dan SETARA Institute yang menemukan kasus-kasus intoleran dan isu-isu SARA di beberapa kampus.

Fakta menyebutkan, banyak kalangan muda yang terlibat terorisme, seperti aksi bom bunuh diri di Surabaya tahun 2018 lalu. Oleh karena itu, pemerintah secara tegas meminta segenap civitas kampus untuk menangani hal ini secara serius. Jika tidak, generasi muda akan menjadi korbannya dan persatuan bangsa dipertaruhkan.

Radikalisme: embrio dari terorisme

Radikalisme (dalam KBBI) adalah (1) paham atau aliran dalam politik, (2) paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis, (3). sikap ekstrem dalam politik.

Dalam perspektif ilmiah, kata radikal (radix) yang berarti ‘akar’ atau ‘mengakar’ sebenarnya bermakna positif, terutama berpikir secara radikal dan fundamental (out of the box) untuk mencari substansi masalah dalam konteks ilmu pengetahuan.

Namun, jika kata radikal berkembang menjadi -isme atau paham (radikalisme), konotasinya menjadi negatif. Ini nanti yang nantinya akan berpotensi berkembang menjadi terorisme, dengan kata lain radikalisme merupakan embrio dari terorisme.

Menurut UU No 5 Tahun 2018, terorisme adalah perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas, yang dapat menimbulkan korban yang bersifat massal, dan/atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik, atau fasilitas internasional dengan motif ideologi, politik, atau gangguan keamanan.

Dalam definisi ini, terorisme tidak hanya identik dengan kelompok radikal berbasis agama tertentu. Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) Papua juga dapat dikatakan sebagai pelaku teror karena selain melakukan perusakan, mereka juga tidak mengakui ideologi Pancasila dan berjuang secara politik untuk memisahkan diri dari NKRI.

PBB mengkategorikan terorisme sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime) dan kejahatan kemanusiaan (crime against humanity) sehingga segala bentuk terorisme adalah musuh segala umat, agama, dan bangsa. Pelaku terorisme dipastikan menganut paham radikal (meskipun yang berpikir radikal belum tentu teroris).

Dengan kata lain, radikalisme menjiwai terorisme. Radikalisme tidak hanya identik dengan agama tertentu saja (dalam konteks Indonesia sering dikaitkan dengan Islam), tapi bisa terdapat dalam agama apa pun selama bertentangan dengan ideologi negara.

Dalam konteks sosial-politik, radikalisme muncul karena adanya politisasi agama atau pemahaman agama yang didistorsi oleh kelompok radikal, kemiskinian, kekecewaan sosial, hingga kesenjangan sosial dalam konteks kapitalisme.

Di Indonesia, banyak organisasi keagamaan berpaham radikal yang telah masuk daftar hitam pemerintah dan dianggap berbahaya seperti seperti HTI, Ikwanul Muslimin, Jamaah Ansarut Tauhid, dan lain-lain.

Radikalisme di lingkungan kampus

Berkembangnya paham radikal dan intoleran di lingkungan kampus adalah hal yang nyata. Ihkwan Syarief (Satgas Pencegahan Terorisme BNPT 2020-2021) menjelaskan, sebanyak 47,3 persen pelaku terorisme adalah kelompok muda berusia 20-30 tahun.

Survei nasional terbaru (2020) oleh PPIM UIN Jakarta juga menunjukkan bahwa sebanyak 24,89 persen mahasiswa memiliki sikap toleransi beragama yang rendah. Lembaga survei Alvara Research tahun 2020 yang dipublikasikan oleh kepala BNPT pada Desember 2020 di Bali menemukan bahwa terdapat 12,2 persen atau hampir 30 jutaan penduduk Indonesia masuk dalam indeks potensi terpapar radikalisme.

BACA JUGA  Dua Narapidana Teroris di Lapas Ngawi Ikrar Setia kepada NKRI

Dari jumlah tersebut, sebanyak 85 persen di antaranya adalah generasi milenial dengan rentang usia 20-39 tahun. Secara spesifik hasil survei menyebutkan bahwa sekitar 23,4 persen mahasiswa dan pelajar mengaku anti-Pancasila dan pro terhadap khilafah.

Direktur Wahid Institute Yennie Wahid menjelaskan, penyebaran paham radikal di lingkungan kampus dilakukan secara terstruktur dan biasanya dimulai pada tahun ajaran baru dengan target mahasiswa baru yang berasal dari luar daerah.

Tidak hanya itu, beberapa lembaga survei juga mencatat bahwa sejumlah guru sekolah dan bahkan dosen terpapar oleh paham-paham radikal dan bersikap anti-Pancasila.

Belum lagi organisasi keagamaan kampus yang secara terstruktur telah disusupi oleh kelompok radikal untuk menyebarkan ideologi mereka kepada mahasiswa.

Kenali ciri-ciri kelompok berpaham radikal

Mahasiswa perlu berhati-hati akan bahaya radikalisme di lingkungan kampus yang biasanya bersembunyi di dalam organisasi keagamaan.

Mereka kerap merekrut mahasiswa baru dalam menyebarkan paham radikal dan intoleran. Hal tersebut dikarenakan mahasiswa dianggap sebagai kelompok yang masih labil dan berada dalam proses pencarian ‘jati diri’, serta cenderung lebih kritis kepada pemerintah terutama soal ketidakadilan, kesejahteraan sosial dan lain lain.

Oleh karena itu penting bagi mahasiswa untuk mengenali ciri-ciri orang atau kelompok yang menganut paham radikal. Pertama, mereka umumnya menolak keras perbedaan pandangan, terutama perbedaan keyakinan agama. Kedua, mereka juga mudah mengafirkan orang lain, bahkan sesama Muslim.

Ketiga, mereka sering menyuarakan narasi tertentu dengan dalih menegakkan hukum agama yang ujung-ujungnya ingin mengganti Pancasila dengan ideologi mereka.

Keempat, mereka selalu menempatkan Barat secara ideologis-politik sebagai musuh bersama yang mengancaman kesatuan umat. Kelima, mereka juga kerap mengajak anggotanya untuk melakukan kajian atau diskusi keagamaan secara tertutup.

Yang terakhir, mereka selalu mengaburkan, mendistorsi bahkan menghilangkan sejarah bangsa serta mengajak targetnya untuk meninggalkan budaya dan kearifan lokal bangsa.

Jika bertemu orang dengan ciri-ciri di atas, waspadalah. Bisa jadi ia adalah bagian dari kelompok radikal dan segeralah menjauh dan laporkan kepada pihak yang berwajib.

Strategi pencegahan radikalisme di lingkungan kampus

Dalam upaya membantu pemerintah mencegah penyebaran radikalisme di lingkungan kampus, segenap sivitas akademika dapat melakukan hal sebagai berikut:

  1. Memberikan mahasiswa pembekalan sesuai dengan nilai luhur agama dan ideologi Pancasila.
  2. Melakukan filterisasi terkait penerimaan dosen, karyawan, dan mahasiswa yang wajib memiliki wawasan kebangsaan yang tidak bertentangan dengan ideologi Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika, dan NKRI.
  3. Melakukan program pendampingan UKM/BEM dan setiap kegiatan mahasiswa oleh Dosen yang kompeten.
  4. Membangun kerja sama antara perguruan tinggi dengan organisasi keagamaan yang bersifat moderat untuk kontra-radikalisme dengan menebarkan wawasan keagamaan yang menginklusi keberagaman.
  5. Menggiatkan diskusi untuk melatih cara berpikir kritis dalam konteks ilmiah supaya mereka tidak mudah dipengaruhi oleh paham-paham radikal.
  6. Membangun kerja sama dengan instansi terkait pencegahan penanggulangan Radikalisme di kampus.
Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru