30.9 C
Jakarta

Radikalisme Dilawan dengan Tradisi, Bisakah?

Artikel Trending

KhazanahOpiniRadikalisme Dilawan dengan Tradisi, Bisakah?
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Radikalisme harus dilawan. Radikalisme tidak hanya berbahaya bagi setiap warga negara, namun juga menimbulkan citra buruk negara dimata negara lain. Ada banyak jalan untuk melawan radikalisme. Salah satunya lewat jalur tradisi. Tradisi cukup penting untuk dijadikan jalan untuk melawan radikalisme.

Dulu para pendahulu Islam di nusantara menggunakan tradisi sebagai cara untuk menyebarkan Islam. Mereka ini disebut walisongo. Walisongo tidak langsung merombak total apa yang disebut dengan budaya setempat, sepanjang tidak bertentangan dengan ajaran Islam dan bisa diakulturasikan dengan ajaran Islam.

Proses Islamisasi di Indonesia pun tak sama dengan Arab. Di Arab sana Islam disebarkan lewat pedang. Ekspansi Islam waktu itu merupakan suatu yang wajar dalam masa keemasan Islam. Berbeda dengan di Indonesia yang disebarkan lewat jalan yang penuh kedamaian. Lewat akulturasi budaya dan agama.

Tradisi atau budaya mempunyai andil yang cukup besar dalam perkembangan Islam di Indonesia. Begitupun kini tradisi juga masih cukup penting perannya dalam kehidupan masyarakat. Meski era modern telah banyak melumat atau mengikis tradisi-tradisi lokal. Setidaknya tradisi masih menjadi akar yang kokoh bagi segala bentuk ancaman-ancaman yang akan merusak keutuhan negara.

Tak heran bila tradisi mampu menangkis dan menolak segala bentuk paham ekstrimis dan radikalisme. Ini telah terbukti, kalau kita mau membaca dan memandang dengan jeli, jarang atau bahkan tidak ada kasus-kasus radikalisme terjadi di desa.

Setahu penulis, radikalisme agama marak terjadi di kota-kota, terutama kota besar. Ini terjadi karena tradisi di kota-kota terutama kota besar mulai luntur. Berbeda dengan masyarakat desa yang masih memegang teguh tradisi. Padahal tradisi adalah jati diri sebuah masyarakat.

Mengapa tradisi mampu menangkal radikalisme? Pertama para agen radikalisme sangat membenci atau anti terhadap tradisi. Tradisi menurut mereka haram, karena mengandung unsur kesyirikan dan tentu saja bid’ah. Semua bid’ah itu sesat dan yang sesat akan masuk neraka.

Yang kedua, tradisi merupakan gaya hidup masyarakat lokal yang secara turun temurun dijalani. Tradisi termasuk jati diri masyarakat lokal. Secara mati-matian pun akan tetap dipertahankan asal tradisi tetap hidup dan berjalan. Oleh karenanya penyebaran Islam zaman dulu, oleh para pendakwah seperti walisongo tidak menggunakan jalan kekerasan, dan membabat habis tradisi.

Maka tidak heran dengan jargon “Islam Nusantaranya” NU atau Nahdlatul Ulama  tidak tergesa-gesa memberantas habis atau mengusik segala bentuk tradisi masyarakat lokal. Asal tidak bertentangan dengan islam, kita diberi keleluasaan untuk mengamalkan tradisi yang ada. Prinsipnya almuhafadhotu ‘ala qodimissholih wal akhdzu bil jadidil ashlah, yang berarti memelihara yang lama yang baik dan mengambil yang baru yang lebih baik.

Osmar Tanjung, Sekjen Pusat Kajian Pengembangan Berdikari mengatakan, menurut pakar radikalisme, ada hubungan erat antara perkembangan ranah seni-budaya dan pengurangan radikalisme, khususnya dalam upaya melawan kekosongan identitas (identity vacuum) serta rasa keasingan sosial (social alienation). Ini sering terjadi akibat semakin pesatnya tingkat urbanisasi, globalisasi dan migrasi.

BACA JUGA  Apakah Dakwah Harus Mengislamkan non-Muslim?

Ia juga mengatakan bila keterlibatan seni budaya dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat memberikan kontribusi besar terhadap penciptaan modal sosial (sosial capital), baik secara individu maupun kolektif dengan memperkuat jaringan-jaringan sosial.

Selain itu juga, menurutnya dalam pendekatan yang dilakukan ilmuwan sosial dan pakar kontra-terorisme, peningkatan social capital merupakan salah satu variabel yang sangat menentukan ketahanan (resilience), baik secara individu maupun kolektif terhadap pengaruh kaum radikal.

Keterlibatan dalam kegiatan seni-budaya dapat menciptakan rasa memiliki komunitas yang kuat (community ownership and indentity). Akibatnya, seorang individu maupun sebuah komunitas akan memiliki ketahanan (resilience) yang lebih tinggi untuk melawan radikalisme.

Persoalannya, di dalam dunia kaum muda tradisi kurang memeroleh tempat. Para pemuda kita lebih senang memainkan gadget dan mengikuti budaya global (Barat) daripada ikut melestarikan tradisi-tradisi lokal di daerah masing-masing. Walaupun tidak semuanya. Hal ini tentu dapat memicu masuknya tradisi-tradisi lokal kedaerahan menuju jurang kepunahan. Para pemuda kita lebih suka dan bangga apabila memakai  merek atau budaya barat, atau yang lagi ngetren yakni budaya korea.

Walaupun terlihat sepele, ketidakbanggaan para pemuda terhadap tradisi lokal kedaerahan sendiri menunjukkaan hilangnya jati diri para pemuda tersebut. Kehilangan jati diri atau identitas, di sini bisa menjadi celah-celah masuknya radikalisme. Radikalisme kemudian dianggap sebagai pola beragama yang cocok. Apalagi dengan iming-iming jihad, bidadari, surga dan segala bentuk dokrinnya.

Hal ini harus menjadi perhatian kita bersama. Para pemuda perlu dilibatkan dalam perayaan tradisi-tradisi lokal. Ini semata agar pemuda, berperan aktif sebagai pelaku tradisi, hingga tradisi mengakar pada diri para pemuda. Agar nilai-nilai tradisi melekat dalam jiwa para pemuda, bagaimana peran pemerintah?

Harus mendukung selain juga memfasilitasi. Selain itu perlu adanya inovasi dan agenda-agenda tradisi untuk menarik minat para pemuda. Perlu sinergi antara pemerintah dengan masyarakat, agar tradisi yang menjadi nilai-nilai lokalitas, benteng dalam membendung radikalisme tetap tegak berdiri.

Ahmad Solkan
Ahmad Solkan
Penulis lepas, Alumnus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru