26.1 C
Jakarta

Radikalisme Dibiarkan Berkembang di Kampus, Benarkah?

Artikel Trending

KhazanahPerspektifRadikalisme Dibiarkan Berkembang di Kampus, Benarkah?
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Kuatnya suat negara dengan adanya SDM yang handal di berbagai jenjang dan lintas kehidupan kampus memiliki peran strategis dalam melahirkan dan  pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM). Salah satunya  melalui Tri Dharma Pendidikan Tinggi yaitu penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Selain fungsi tersebut kampus juga menjadi tempat bertemunya mahasiswa dengan beragam perbedaan, mulai dari suku, ras, hingga agama, beragam lintasan perbedaan tersebut berkumpul dalam satu wadah komunitas intelektual yang, rasanya, jauh dari tendensi terjerumus radikalisme.

Bhinneka Tunggal Ika sangat terasa di kampus. Dengan keragaman yang ada di kampus mahasiswa beserta seluruh civitas akademik memiliki tanggungjawab menjadi garda terdepan dalam menjaga dan mengawal ideologi serta menjaga persatuan bangsa. Peran kampus adalah mencetak para penerus bangsa, sehingga perannya begitu penting dalam kemajuan bangsa Indonesia.

Mahasiswa sebagai bagian dari pemuda Indonesia merupakan aset berharga dari suatu bangsa. Untuk memupuk keragaman menjadi kekuatan, bangsa Indonesia harus terus- menerus menanamkannya kepada generasi muda khususnya generasi milenial dan setelahnya. Dengan keragaman yang ada di institusi pendidikan diharapkan mampu mencetak generasi masa depan Indonesia dengan menjadikan kampus sebagai pemersatu bangsa. Karena hanya lewat lembaga pendidikan yang berkualitaslah keberagaman dalam berbangsa dapat ditanam lewat generasi muda yang berpendidikan.

Kehadiran mahasiswa di perguruan tinggi menjadi pertanda bahwa pendidikan tinggi masih dipandang sebagai salah satu lembaga penting dalam rangka melahirkan pemuda masa depan sesuai dengan bidang-bidang ilmu yang digelutinya, tidak ada harapan dari mereka, kecuali agar mampu memberikan kontribusi positif bagi keberlangsungan dunia pendidikan di kampusnya masing-masing, sekaligus dari mereka muncul komitmen untuk terus terlibat dalam perbaikan apapun di negeri ini.

Era milenial seperti saat ini keberadaan kampus sejatinya merupakan inkubator kaum intelektual yang nantinya akan melahirkan insan akademis pencipta dan pengabdi yang telah melalui proses penempaan sesuai dengan disiplin ilmu masing-masing. Tetapi  nampaknya akhir-akhir ini kampus disinyalir terkontaminasi oleh paham radikal yang tidak kompatibel dengan empat konsensus dasar berbangsa dan bernegara. Padahal pemerintah tengah gencarnya menggalakan kembali kesetiaan dan kecintaan kepada Pancasila. Akan tetapi kondisi realitas menunjukkan sedikit miris dan memperhatikan, sebuah riset yang menunjukkan bahwa saat sekarang ini paham radikalisme tumbuh subur dan berkembang dikalangan mahasiswa dan pelajar.

Sebanyak 23.5 % atau satu dari empat mahasiswa setuju untuk mendirikan negara Islam sebagai wadah penerapan Islam secara kaffah. sementara itu 16.8 % atau satu dari lima mahasiswa memilih ideologi Islam. Hemat kata, paham meraka menganggap bahwa Pancasila belum final sebagi ideologi negara.Otoritas lembaga terkait harusnya menjadi warning dengan hasil survei tersebut. Kampus harus bersih dengan paham yang demikian. Kontaminasi paham seperti ini harus dicegah sedini mungkin, jika dibiarkan dibiarkan akan berakibat fatal. Ironisnya jikalau paham radikal ini sudah merasuki atau berapiliasi dengan lembaga kemahasiswaan internal kampus (Enaldi, Paham Radikal Mencengkram Kampus? 2018).

Tersebarnya radikalisme di kampus khususnya kalangan dosen menurut salah seorang intelektual Islam Azyumardi Azra ada beberapa indikatornya, Pertama, mungkin, sebelum menjadi dosen, mereka sudah aktif di organisasi-organisasi yang memang cenderung ke kanan. Organisasi ke kanan itu seperti LDK (Lembaga Dakwah Kampus), Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI), dan yang lebih keras, paling radikal: HTI (Hizbut Tahrir Indonesia).Kedua, kalau mereka tidak aktif dalam organisasi radikal, mungkin karena keilmuannya.

Keilmuan eksakta, misalnya. Ilmu alam itu cenderung melihat dunia sebagai hitam-putih. Jadi, orang-Islam yang cenderung hitam putih lebih mudah biasanya terpapar atau menerima ide-ide radikalisme. Karena belajarnya pasti-pasti saja, ada rumus-rumus, teori yang sudah pasti semua, hitam-putih. Tapi kalau bidang ilmu sosial dan humaniora ada bidang yang abu-abu. Karena agama itu berinteraksi dengan masyarakat, dengan lingkungan, dengan sosial dan budaya, sehingga keadaan seperti itu tidak bisa hitam-putih.Disiplin ilmu itu membentuk cara berpikir. Cara berpikir hitam-putih itu dipengaruhi oleh paradigma ilmu-ilmu eksakta.

Ketiga, mungkin dosen itu tidak memiliki pemahaman Islam yang komprehensif, mengenai macam-macamlah, mengenai politik, ekonomi atau mungkin mengenai fikih atau soal teologi.Keempat, mereka tidak paham isu-isu politik Indonesia; misalnya, menyangkut katakanlah demokrasi. Ada yang bilang demokrasi tidak sesuai dengan politik Islam; dia dengan cepat menerima itu. Atau, misalnya ekonomi Indonesia sudah neoliberal: “Kita sedang dijajah.” Karena dia tidak paham soal politik dan ekonomi Indonesia, dia terima saja argumen itu, sehingga kemudian mudah menerima paham politik dan ekonomi (Azyumardi Azra, Tirto.id, 2018).

BACA JUGA  Takjil War: Antara Harmoni Kemanusiaan dan Kerukunan Beragama

Timbulnya masalah radikalisme harus diantisipasi dengan pendekatan yang sistemik dan strategis melalui jalur dialog serta edukasi.Syamsul Arifin dalam buku Studi Islam Kontemporer mengatakan bahwa: Arus Radikalisme di Indonesia mencatat perlunya optimalisasi peran lembaga pendidikan, termasuk perguruan tinggi, dalam mencegah dan menawarkan solusi alternatif gerakan paham radikalisme negatif atau deradikalisasi melalui jalur dialog dan edukasi, Intinya, pencegahan dini dari praktik radikalisme negatif bisa dilakukan dengan penguatan kembali kegiatan edukatif yang kreatif, inovatif, produktif, dan kooperatif berbasis empat pilar kebangsaan, yaitu Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika (Ulul Huda dkk, 2018).

Tentunya perlunya usaha dan pencegahan yang harus dilakukan khususnya kampus untuk berkembangnya faham radikalisme di kalangan kampus, menurut Nam Rumkel ada beberapa usaha yang bisa dilakukan dalam mencegah berkembangnya radikalisme di kampus, diantaranya, Pertama, pemetaan dan pencegahan terhadap birokrat, tenaga pendidik (dosen), dan tenaga kependidikan dari pandangan ektrem atau berideologi radikal.

Pada tahap ini kampus diperkuat oleh orang-orang yang memiliki wawasan kebangsaan yang luwes, mementingkan integrasi semua elemen, dan mencegah potensi-potensi disintegrasi di lingkungan kampus, sehingga lingkungan kampus sudah siap untuk menerima calon-calon kaum intelektual sebagai generasi penerus bangsa dimasa yang akan datang dan akan terus menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang kita cintai ini.

Kedua, pimpinan perguruan tinggi harus terus berkoordinasi dan bekerjasama dengan pihak BNPT (selaku leading sektor pembuat kebijakan pada sector pencegahan dan penanggulangan radikalisme dan terorisme), Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme / FKPT (selaku perpanjangan tangan BNPT di tingkat provinsi), pihak kesultanan (sebagai ciri khas dari Maluku Utara yang masih eksis hingga saat ini), dan para tokoh-tokoh organisasi keagamaan.

Koordinasi ini bisa dalam bentuk sinergitas program pencegahan radikalisme maupun dalam bentuk pelibatan BNPT, FKPT, pihak Kesultanan, dan Tokoh Agama dalam beberapa mata kuliah, seminar, FGD, dan kegiatan-kegiatan lain di lingkungan kampus yang dianggap perlu sehingga menumbuhkan cinta tanah air, menghormati kearifan lokal yang ada, dan taat beragama di kalangan tenaga pendidik, tenaga kependidikan, dan para mahasiswa sebagai satu-kesatuan civitas academica.

Ketiga, pimpinan perguruan tinggi harus melakukan pengawasan terhadap setiap kegiatan yang dilakukan oleh mahasiswa, baik itu kegiatan internal maupun kegiatan eksternal, mengefektifkan sanksi yang tegas terhadap mahasiswa yang melanggar aturan kampus, dan pengurus-pengurus organisasi mahasiswa menjadi penanggung jawab teknis terhadap semua kegiatan mahasiswa di luar jam perkuliahan.

Keempat, sesuai amanat Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, salah satunya, yaitu menjadi institusi yang diandalkan dan ikut berkontribusi aktif dalam menyelesaikan masalahmasalah persoalan bangsa. Oleh karena itu, salah satu cara agar lingkungan kampus harus terbebas dari paham radikalisme adalah dengan memperkuat wawasan kebangsaan dan cinta tanah air melalui mata kuliah Pendidikan Pancasila, Pendidikan Agama, dan Pendidikan Kewarganegaraan, ketiga mata kuliah tersebut harus dimaknai secara mendalam baik oleh dosen maupun mahasiswa.

Melihat seperti ini, tentunya sangat penting memperkuat dalam menanamkan nilai-nilai Pancasila kepada mahasiswa, dengan menanamkan nilai-nilai Pancasila agar bisa mencegah adanya paham radikal agar mahasiswa tidak terjerumus dalam aksi kekerasan seperti terorisme ., melalui penanaman nilai-nilai Pancasila diharapkan masyarakat kembali kepada jati diri bangsa Indonesia , masyarakat yang berkeTuhanan, berperikemanusiaan, berpersatuan , berkerakyatan dan berkeadilan.

Di samping itu juga harus memperkuat dan membina organisasi kemahasiswaan yang bisa menjadi wadah bagi mahasiswa untuk berorganisasi dan menyalurkan bakatnya, sehingga mahasiswa tidak mencari organisasi di luar yang mengajarkan pemahaman yang salah. Dalam pendidikan agama Islam mahasiswa diberi pencerahan tentang konsep jihad yang benar, sehingga tidak mudah diindoktrinasi oleh suatu organisasi tentang pemahaman jihad yang melenceng dari ajaran agama.

Beranjak dari itu kita sangat berharap kampus yang menjadi tumpuan dan harapan masyarakat dalam pengembangan ilmu dan melahirkan generasi terbaik bangsa dalam menjaga keutuhan NKRI, jangan sampai kampus menjadi gerbong lokomotif dan garda terdepan mengobak-abik kesatuan dan persatuan negeri ini via penyebaran faham tersebut. Sekali lagi mari kita jaga keutuhan NKRI ini.

Wallahul Muwaffiq Ila Aqwamith Thariq

 

Tgk. Helmi Abu Bakar El-Lamkawi
Tgk. Helmi Abu Bakar El-Lamkawi
Guru Dayah MUDI Mesjid Raya Samalanga dan Dosen IAI Al-Aziziyah Samalanga, Bireuen dan Ketua PC Ansor Pidie Jaya, Aceh.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru