32.7 C
Jakarta

Radikalisme di Awal Penyebaran Islam bukan Sunnah yang Harus Disemaikan

Artikel Trending

KhazanahPerspektifRadikalisme di Awal Penyebaran Islam bukan Sunnah yang Harus Disemaikan
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Fakta mengenai militerisme di masa awal perkembangan Islam di tanah Arab menghasilkan dua karakter pemikiran: militeristik dalam pandangan Islam dan non-Islam. Azumardi Azra menyatakan bahwa militeristik merupakan bagian integral wacana keagamaan baik dari masa klasik maupun kontemporer (Ayzumardi Azra, Pergolakan Politik Islam..) dan sebagai upaya untuk memerangi kekafiran (Wahbah al-Zuhaylī, al-Fiqh al-Islāmī wa Adillatuh).

Berbagai wacana ini muncul sebagai upaya konter narasi atas pernyataan beberapa orientalis seperti Edmund Bosworth dan Bernard Lewis yang menyatakan bahwa Islam adalah agama yang haus darah, (Edmund Bosworth, “Armies of the Prophet) dan agama yang melegalkan kekerasan untuk mencapai tujuan.

Militeristik adalah suatu kebijakan aneksasi yang diberlakukan Islam sebagai strategi perluasan teritorial dan menyebarluaskan ajaran keagamaan. (John L. Esposito, Ancaman Islam:..) Kebijakan militeristik ini dianggap bertentangan dengan kampanye perdamaian dan jargon Islam rahmatan lil alamin.

Distingsi yang cukup berjarak antara pemahaman militeristik sebagai suatu ajaran dan doktrin, dengan militeristik dalam pendekatan humanisme tak akan bisa menghasilkan titik tengah jika dikaji menggunakan pendekatan de facto saja. Karena keduanya sama-sama berangkat dari sebuah kenyataan dan memiliki truth claim masing-masing.

Maka dibutuhkan kajian dengan pendekatan geopolitik yang bersifat multikausal. (Priyono, dkk. Geopolitik, Geoekonomi). Yaitu sebuah kajian mengenai faktor geografis dalam menentukan kebijakan politik suatu negara dalam penguasaan sumber daya.

Kondisi Geografis Jazirah Arab

Faktor geografis Arab yang dipengaruhi oleh gurun-gurun pasir yang luas dan tandus memengaruhi sifat dan perilaku rata-rata orang Arab yang terkesan keras dan berpengaruh pada kejiwaan masyarakatnya. Arabia sebagai wilayah tandus dan gersang telah menyelamatkan masyarakatnya dari serbuan dan penindasan bangsa asing.

Pada sisi lainnya, kegersangan negeri ini mendorong mereka menjadi pedagang- pedagang ke daerah lain. Keluasan dan kebebasan kehidupan mereka di padang Sahara juga menimbulkan semangat kebebasan dan individualisme dalam pribadi mereka. Kecintaan akan kebebasan ini membuat mereka tidak pernah menerima dominasi pihak lain. ( Muhammad Satir, Kehidupan Sosial)

Peperangan yang terjadi di awal masuknya Islam di jazirah Arab, berkaitan erat dengan kondisi geografis saat itu. Keadaan yang gersang, hawa yang panas, lahan yang tandus, menjadikan hukum rimba sebagai suatu benteng pertahanan untuk hanya sekadar memberikan hak pada perut.

Salah satu lawan yang dihadapi Islam adalah bangsa Persia, dan Romawi. Persia menduduki daerah Syam pada saat ini mencakup daerah Suriah (Aslinya Suriya maksudnya Negeri Siroyan) dan Lebanon, Palestina serta Yordania. Orang Syam membuat aturan di Syam semenjak masa Nuh sampai hari ini, dan dikenal dari mereka itu sangat perkasa dalam peperangan dan suka dalam bepergian serta selalu bersegera dalam belajar.

Maka satu-satunya cara untuk menyebarkan agama Islam diwilayah yang suka berperang adalah dengan peperangan juga. Pilihannya hanya dua, menjadi bagian dari peradaban besar atau merebut dan membangun peradaban sendiri.

BACA JUGA  Melawan Narasi Ekstremisme Melalui Media Islam Moderat

Korelasi Ayat Qital dalam al-Qur’an dengan Kondisi Sosial Arab

Jika kita merujuk kepada mufassir, asbabun nuzul dari ayat yang berkaitan dengan qital (pembunuhan) mayoritas bersumber dari pengaduan kaum muslimin atas penganiayaan yang dilakukan oleh bangsa Quraisy. (Abī al-Ḥasan al-Naysabūrī, Asbāb al-Nuzūl) Namun pengaduan tersebut tak lantas menjadi lampu hijau untuk melakukan peperangan.

Izin perang baru turun jika Muslim sudah mendapatkan aniaya fisik berat, (Harifuddin Cawidu, Konsep Kufr dalam al-Qur’an) dan jika ia diperangi karena pilihannya menjadi Muslim. Keputusan untuk mengambil jalan perang juga baru diperbolehkan jika Islam sudah mendapatkan serangan terlebih dahulu.

Jauh sebelum Islam lahir di tanah Arab, peperangan sudah menjadi tradisi yang mengakar di wilayah tersebut. Penguasaan wilayah pada masa Arab Pra Islam, didasarkan atas kekuatan fisik dan kekuatan sukuisme yang sudah menjadi tradisi turun temurun. Penyebaran Islam dengan jalan mediasi, diskusi, tidak akan bisa diterima di tengah kondisi masyarakat yang demikian.

Maka yang harus dilakukan saat ini berjuang dan berjihad sesuai dengan kondisinya masing-masing, tidak dengan mengobarkan semangat perangnya. Perang yang terjadi saat itu bukanlah suatu syariat yang harus ditiru Muslim pada periode selanjutnya. Melainkan satu-satunya cara untuk bertahan dan berkembang saat itu, dan merupakan cara paling efektif dalam penyebaran agama Islam dan perluasan teritorial.

Kajian dalam kontek geopolitik ini membuka kesadaran kita semua bahwa kebijakan politik suatu daerah sangat berkaitan dengan kondisi geografisnya. Pun demikian dengan kebijakan militeristik di masa penyebaran agama Islam. Kajian sejarah dalam konteks kekinian memang diperlukan, dengan tanpa meninggalkan faktor geografis, sosial, dan politik dimana sejarah tersebut tumbuh dan berkembang. Hanya mengkaji konteks masa kini tanpa menelisik latar belakang tentunya tidak akan menghasilkan analisis sejarah yang mencerahkan.

Referensi

Ayzumardi Azra, 1996. Pergolakan Politik Islam: dari Fundamentalisme, Modernisme Hingga Post Modernisme Jakarta: Paramadina.

Wahbah al-Zuhaylī, 1989. al-Fiqh al-Islāmī wa Adillatuh, Vol VI Beirut: Dār al-Fikr. Muḥammad Amīn (Ibn ‘Ābidīn), Ḥāshiyah Radd al-Mukhtār ‘Alā al-Durr al-Mukhtār: Sharḥ Tanwīr alAbṣār, Beirut: Dār al-Fikr

Edmund Bosworth, 1997. “Armies of the Prophet“ dalam Bernard lewis (ed), The World of Islam: Faith, People and Culture, London: Thames and Hudson.

John L. Esposito, 1995. Ancaman Islam: Mitos atau Realitas, terj. Alwiyyah Abdurrahman dan Missi, Bandung: Mizan.

Priyono, dkk. 2016. Geopolitik, Geoekonomi, dan Geostrategi, Bogor: Universitas Pertahanan.

Muhammad Satir, 1994. Kehidupan Sosial Masyarakat Arab Masa Awal Kehadiran Pendidikan Islam, ALFIKR: Jurnal Pendidikan Islam Vol.5, No.1, Juni 2019, h. 42. Abī al-Ḥasan al-Naysabūrī, Asbāb al-Nuzūl, Beirut: Dār al-Fajr al-Islāmī.

Harifuddin Cawidu, 1991.  Konsep Kufr dalam al-Qur’an, Jakarta: Bulan Bintang.

Lutfiana Dwi Mayasari
Lutfiana Dwi Mayasari
Anggota Puan Menulis sekaligus alumni Magister Kajian Timur Tengah UI. Saat ini mengajar Sejarah Peradaban Islam di IAIN Ponorogo. Minat pada kajian gender, perdamaian, hukum, dan politik Timur Tengah.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru