26.2 C
Jakarta
Array

Radikalisme dan Jihad yang (Tidak) Tepat

Artikel Trending

Radikalisme dan Jihad yang (Tidak) Tepat
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Akhir-akhir ini, penyematan Islam garis keras terhadap oknum tertentu masih hangat terasa. Yang terbaru adalah dugaan persekusi terhadap Ustad Abdul Somad yang terjadi pada 8 Desember 2017 lalu di Bali. Dan juga belum lama ini muncul kabar kurang menyenangkan menimpa orang yang sama, yaitu ditolaknya ia memesuki negara Hongkong. Hal ini sebenarnya tidak lepas dari fenomena terorisme yang mengatasnamakan Islam sendiri.

Tuduhan itu bukan membabi buta, melainkan berangkat dari rentetan peristiwa nyata yang terjadi selama ini. Mulanya tuduhan tersebut diawali dengan peristiwa yang menjadi sorotan dunia, yaitu peristiwa pengeboman gedung World Trade Center (WTC) Amerika Serikat pada 16 tahun silam, menyusul berikutnya peristiwa bom Bali satu dan bom Bali dua, bom Mega Kuningan Jakarta, kemudian semakin diperkeruh dengan lahinya ISIS(Islamic State Of Iraq And Syriah)pada tahun 2014, bom Sarinah Tamrin dan kejadian-kejadian bom bunuh diri lainnya. Alih-alih pengeboman yang dilakukan oleh sekelompok yang mengatas namakan Islam tersebut alasannya jihad. Sebagai akibatnya, setiap ucapan, ceramah dan khutbah oleh alim-ulam muslim selalu dicurigai. Secara tidak langsung stigma radikal kepada Islam masih kuat.

Diakui atau tidak, jihad memang menjadi alasan utama sebagai landasan untuk melakukan tindakan kekerasan kepada oknum atau kelompok selain Islam, bahkan menjelma menjadi teror yang menakutkan. Sehingga paradoksal dengan Islam sebagai agam rahmat bagi seluruh alam tidak dapat dielakan lagi. Bila ditanyakan kembali, masih relevankah jihad dimaknai apa adanya seperti awal lahirnya zaman Nabi saw. dulu? Jawabannya adalah tidak sama sekali. Konteks zaman sekarang dengan zaman saat awal turunnya Islam berbeda. Pada saat itu konteksnya adalah state of war, sehingga mau tidak Islam harus ikut turun dalam kontestasi peperangan untuk mempertahankan diri (Abd A’la: 2014: 19). Dan itu didukung oleh komposisi masyarakatnya pada saat itu yang terdiri dari berbagai koloni dan suku.

Sedangkan sekarang keadaanya berbeda jauh. Tuntutan masyarakat sekarang bukan mempertahankan diri dari musuh secara fisik dan perang. Kejadian peperangan dan pertumpahan darah di zaman dulu merupakan sebuah enmalig, kejadian yang tak mungkin diulang lagi (Yonky Karman: 2010: 79). Jihad saat ini bukan peperangan, bukan pertempuran, tetapi perjuangan menanamkan nilai-nilai rahmat kepada seluruh alam, alam yang jauh dari penindasan dan kekerasan, kemudian melahirkan kasih sayang sesama manusia bahkan makhluq selain manusia. Maka frasa “jihad” harus diinterpretasikan kembali menyesuaikan zaman dan tempat, yaitu sesuai dengan kondisi dan apa yang perlu diperjuangkan di Indonesia saat ini, misalnya:

Pendidikan

Bila melihat kondisi masyarakat Indonesia, masih banyak bangsa di penjuru tanah air ini yang belum mengenyam pendidikan seperti halnya masyarakat perkotaan. Sulitnya akses ke pelosok pedesaan juga menjadi faktor penghambat distribusi pemerataan pendidikan di desa tertinggal. Selain itu, banyak prasarana pendidikan yang jauh dari kata layak. Gedung sekolah yang kumuh dan berlubang mengindikasikan bahwa pendidikan di negeri ini belum mencapai taraf yang ideal. Hal ini membutuhkan relawan yang sepenuh hati mendedikasikan raga dan jiwanya menjadi pendidik bagi mereka. Maka masihkah ada alasan mengangkat senjata dalam kondisi seperti ini?

Ekonomi

Negeri ini masih terbirit-birit mengurusi rakyatnya yang kelaparan dan pengguran, yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin. Masih banyak anak-anak usia sekolah mengetuk pintu mobil di lampu merah menjajakan koran, ibu-ibu sambil menggendong  anaknya memegang gayung meminta-minta, anak gadis usia dini menjadi TKW keluar negeri, wanita-wanita yang menjajakan dirinya di tengah ke remangan malam di pinggir rel kereta api dan masih banyak contoh kasus lainnya yang diakibatkan kesenjangan ekonomi.

Bila melihat keadaan pendidikan bangsa yang demikian, lalu alasan logis dari mana yang membuat kaum radikal mengangkat senjata atau melakukan bom bunuh diri dengan alasan jihad.? Apa yang dijihadi mereka?. Bangsa ini membutuhkan pendidikan yang baik dan benar. Sehingga rakyat bisa bangkit dari keterpurukan moral, mampu bersaing dalam dunia kerja, mampu membangun dan memajukan negeri sendiri, dan yang terpenting memperbaiki sistem ekonomi yang timpang. Karena kesejahteraan ekonomi adalah pangkal utama kenyamanan dan kebahagiaan rakyat. Maka bila umat ini sudah merasa nyaman dan sejahtera, mereka tak akan mudah dirayu oleh kelompok tertentu untuk melakukan tindakan tak manusiawi yang mencoreng marwah Islam sendiri.

Oleh karena itu, penafsiran jihad kearah yang positif dan tepat sesuai waktu dan tempat sangatlah menentukan terhadap tindakan umat. Penafsiran yang salah akan menyebabkan lahirnya tindakan yang salah, seolah-olah bangsa ini dihipnotis seperti orang yangterhanyut diarus deras, panik mencari pertolongan. Kemudian akan memegang apa saja yang dapat digapai, termasuk bernostalgia terhadap kejayaan Islamdi masa dahulu, lalu timbulkeinginan merubah bentuk negara Indonesia ke konsep negara khilafah. Na’udzubillah!

*Oleh Salim, mahasiswa UIN Sunan Kalijaga, aktif di HMI Komisariat Fakultas Syari’ah Dan Hukum.

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru