32.1 C
Jakarta

Radikalisasi di Balik Layar: Melawan Tantangan Algoritma yang Menjerumus pada Ekstremisme

Artikel Trending

KhazanahPerspektifRadikalisasi di Balik Layar: Melawan Tantangan Algoritma yang Menjerumus pada Ekstremisme
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Di dunia maya yang kacau balau, kita seakan mengembara di dataran tanpa batas, tidak pernah benar-benar mengetahui batas dari apa yang kita lihat dan alami. Dunia yang selalu bergejolak ini menggoda kita dengan informasi yang tiada habisnya, menjebak kita dalam lingkaran data yang sulit dipahami.

Setiap sentuhan jari di layar seolah membuka pintu menuju dunia lain yang semakin menyempit, di mana segala sesuatu hanya menampilkan apa yang kita inginkan dan menghilangkan apa yang tidak kita pilih. Di balik layar tersebut, kecerdasan buatan mengendalikan segalanya, menciptakan ilusi bahwa kita hidup di ruang tanpa tembok dan batas. Namun, kenyataannya, ruang itu jauh lebih sempit daripada yang kita duga.

Di balik dunia yang penuh pilihan dan kemajuan digital, tersembunyi bahaya—radikalisasi dan ekstremisme. Dalam diam, algoritma menggiring kita menuju keyakinan yang semakin kuat, pemikiran yang semakin sempit, hingga akhirnya memaksa kita untuk mengambil tindakan yang bertentangan dengan semangat hidup damai. Tanpa sadar, kita melangkah menuju jurang yang dalam, semakin menjauh dari nilai-nilai kemanusiaan yang seharusnya kita junjung tinggi.

Algoritma: Pengatur Dunia yang Tak Terlihat

Sejujurnya, kita hidup di dunia yang dibentuk oleh algoritma. Setiap klik di medsos dan setiap pencarian di search engine adalah bagian dari proses panjang yang menciptakan dunia maya tempat kita tinggal. Kita merasa dunia ini bebas, tetapi kenyataannya, kita dibatasi oleh filter-filter tak kasat mata. Algoritma menentukan apa yang kita lihat dan yakini dengan cara yang sulit dipahami. Sistem tersebut memberikan kenyamanan semu, membuat kita merasa puas dengan diri sendiri, padahal sebenarnya, kita terperangkap dalam penjara tak terlihat.

Di Indonesia, negara yang kaya akan keragaman etnis, agama, dan budaya, algoritma justru memperlebar kesenjangan antarindividu. Tanpa disadari, dunia maya yang kita huni adalah ruang yang semakin sempit. Setiap perbedaan keyakinan dan pandangan hidup dianggap ancaman yang harus dijauhi, dikucilkan, bahkan dihapus dari ruang publik. Ironisnya, hal itu mencerminkan kondisi masyarakat kita yang semakin terpecah oleh perbedaan-perbedaan yang tidak pernah benar-benar dipahami.

Radikalisasi: Dimulai dari Hal-hal Kecil

Radikalisasi adalah proses yang berkembang pesat di dunia maya sebagai akibat dari dunia yang semakin terpecah. Fenomena tersebut tidak terjadi secara tiba-tiba, melainkan dimulai dari hal-hal kecil. Sebuah artikel, video, atau komentar provokatif yang viral dapat memperkuat keyakinan mereka yang pada awalnya mungkin tidak sepenuhnya memahami ideologi yang disebarkan.

Di Indonesia, fenomena tersebut berkembang dengan sangat cepat. Kelompok ekstremis memanfaatkan media sosial sebagai saluran untuk menyebarkan ideologi mereka, merekrut generasi muda yang masih mencari identitas, dan membawa mereka ke dalam lingkaran yang sarat kebencian dan kekerasan.

Pernahkah kita merenung, mungkinkah kita semua rentan terhadap radikalisasi? Betapa mudahnya kita terpengaruh oleh apa yang kita lihat di media sosial tanpa menyadari bahwa informasi tersebut dikurasi untuk membentuk cara pandang tertentu. Setiap hari, kita menerima informasi yang sesuai dengan preferensi pribadi, namun jarang sekali dihadapkan pada sudut pandang alternatif. Akibatnya, ruang diskusi semakin sempit, menciptakan jurang perbedaan yang sulit dijembatani.

Di dunia maya, radikalisasi tidak membutuhkan ruang gelap atau tersembunyi. Faktanya, ia tumbuh subur di ruang terbuka, di mana siapa pun bisa mengakses dan terpapar ideologi yang mengarah pada ekstremisme. Ini bukan sekadar persoalan individu, melainkan masalah kolektif yang harus kita tangani bersama. Jika tidak berhati-hati, kita bisa kehilangan arah dan terjebak dalam lingkaran kebencian yang tak berujung.

BACA JUGA  Seni dan Jalan Spiritualitas dalam Islam; Tawaran Kontra-Ekstremisme

Filter Bubble: Dunia yang Semakin Sempit

Kita hidup dalam filter bubble—sebuah dunia yang semakin menyusut karena algoritma. Semakin kita memilih untuk mengonsumsi konten yang serupa, semakin sempit dunia yang kita huni. Informasi yang kita terima hanya berasal dari sumber yang sejalan dengan keyakinan kita, memperkuat apa yang kita yakini benar. Sebaliknya, pandangan yang bertentangan cenderung disingkirkan, diabaikan, atau bahkan tidak terlihat sama sekali. Itu menciptakan dunia yang tampak nyaman, tetapi sebenarnya membatasi cara pandang kita terhadap dunia yang lebih luas.

Filter bubble adalah pemisah yang jauh lebih kuat dari yang kita bayangkan. Dunia yang sebelumnya terbuka dan penuh peluang untuk belajar kini berubah menjadi ruang sempit yang hanya menampilkan apa yang ingin kita lihat. Di kalangan anak muda Indonesia, efek gelembung tersebut menghambat kemampuan mereka untuk memahami sudut pandang yang berbeda.

Bagaimana mereka bisa menghargai keberagaman jika informasi yang diterima selalu dikurasi sesuai preferensi? Akibatnya, mereka terus hidup di dunia yang sempit, memperbesar perbedaan, dan membiarkan ketidaktahuan tumbuh subur.

Menghadapi Tantangan

Salah satu langkah mendasar untuk mengatasi masalah ini adalah memahami cara kerja algoritma. Dunia maya bukanlah dunia objektif, melainkan ruang yang dibentuk oleh filter dan pilihan yang tak kasat mata. Oleh karena itu, kita perlu lebih selektif terhadap informasi yang kita terima dan bijaksana dalam menentukan apa yang kita percayai.

Namun, yang lebih penting adalah keberanian untuk keluar dari filter bubble yang telah membatasi cara pandang kita. Kita perlu belajar melihat dunia dari sudut pandang yang berbeda dan membuka diri terhadap keberagaman, dan ini adalah tugas kolektif. Kita harus menciptakan ruang digital yang lebih sehat, di mana perbedaan bukan ancaman melainkan kekuatan yang memperkaya hidup kita.

Pemerintah dan penyedia platform medsos harus bekerja sama untuk menghadirkan ruang yang lebih inklusif, di mana setiap suara dapat didengar dan perbedaan dapat dijembatani. Dunia maya seharusnya menjadi tempat untuk belajar memahami satu sama lain, bukan untuk menyebarkan kebencian dan pengucilan.

Di Indonesia, keberagaman adalah aset yang tak ternilai. Perbedaan suku, agama, dan budaya seharusnya menjadi landasan untuk saling mengenal, belajar, dan menghormati. Namun, jika kita terus terperangkap dalam ruang yang sempit, di mana kekerasan dan kebencian mendominasi, kita akan kehilangan makna sejati dari keberagaman itu sendiri. Kita harus bijak dalam menjaga keberagaman, menyadari bahwa perbedaan bukanlah masalah, melainkan peluang untuk tumbuh bersama.

Dalam kemajuan teknologi yang pesat, kita harus menjadi lebih dari sekadar konsumen informasi. Kita harus menjadi pembaca yang kritis, pemikir yang terinformasi, dan individu yang terbuka terhadap perbedaan. Dunia maya bukanlah sesuatu yang harus ditakuti, melainkan ruang yang perlu dikelola dengan kebijaksanaan dan kasih sayang. Jika kita mampu memahami dan mengatasi tantangan tersebut, dunia maya dapat menjadi tempat yang lebih baik untuk kita semua.

Lailatul Fajriyah
Lailatul Fajriyah
Mahasiswa Sosiologi Agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru