34.3 C
Jakarta
Array

Qurban Kolektif, Bagaimana Menurut Fikih?

Artikel Trending

Qurban Kolektif, Bagaimana Menurut Fikih?
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Bolehkah berkurban secara bersama-sama (kolektif)? Misalnya sekelompok orang, lebih dari tujuh, dengan biaya bersama menyembelih hewan kurban atas nama bersama. Dalam batasan jumlah pihak yang melakukan kurban, ulama maslh saja berbeda menyikapinya. Pendapat yang masyhur mensinyalir bahwa kambing dikurbankan untuk satu orang. Sedangkan unta, sapi, dan kerbau (badanah) untuk tujuh orang. Namun, ada yang berpendapat bahwa kambing cukup untuk tiga orang. Bahkan boIeh atas nama sekeluarga, berapapun jumlahnya. Lalu mengenai badanah, dsamping ulama sepakat sapi dan kerbau untuk tujuh orang, tapi lbnu Huzaiman dan lshaq mengklaim bahwa unta boleh dikurbankan untuk Sepuluh orang. [Nail al-Authar, 121:V]

Kalau demikian ketentuannya, bolehkah berkurban secara kolektif ? Dalam literatur fikih digambarkan bahwa berkurban bersama-sama bisa terjadi dengan dua bentuk Pertama, berserikat dalam kepemilikan hewan kurban [isytirak fi mudzahabih]. Entah dengan cara iuran bersama atau karena hewan itu dihibahkan kepada mereka. Kedua, berserikat dalam pahala berkurban [isytirak fi tsawab]. Yaitu mengikutsertakan orang lain yang tidak berkurban dalam pengatasnamaan hewan kurban tersebut Misalnya, berkurban untuk dirinya sendiri dan keluarga atau teman sejawat lainnya. Tujuannya  agar orang lain juga beroleh pahala dari hewan kurban Itu.

Tentang yang pertama, jumhur ulama membolehkan dengan catatan tidak lebih dari ketentuan tujuh orang untuk satu sapi dan unta. Itu pun prosentase kepemilikannya sama. SemisaI iuran yang dikeluarkan sama rata. Imam Hanafi menambahkan, berkurban dengan cara ini sah bilamana semuanya memiliki kesamaan niat. Sedangkan Syafi’iyah dan Hanabilah memperbolehkan adanya perbedaan niat.  Seperti Iya bertujuan untuk konsumsi pribadi. [Al-Fikih Al-Islamiy, 2710-2713:IV, Tuhfah Al-Muhtaj, 349:IX,  Al-Mughni 98:XI

Beda halnya dengan Malikiyah. Kelompok ini mensyaratkan hewan kurban harus dalam kepemilikan seseorang, walau unta dan sejenisnya. Jadi, tidak sah bila ada hak orang lain pada binatang kurban tersebut. seperti hasil iuran. Dalam konteks ini, Imam Malik menyarankan adanya pengalihan kepemilikan pada salah seorang diantara mereka. Baik dengan cara mengganti iuran itu, atau menghibahkan hak mereka. Kemudian hewan kurban disembelih atas nama peribadi orang tersebut. [AI-Syarh al-Shaghir, 142:II]

Beralih pada yang kedua. mayoritas ulama sepakat membolehkan untuk berserikat dalam pahala kurban [isyrak fi tsawab] tanpa mempersyaratkan adanya hubungan keluarga. Namun Syafi’iyah memberikan catatan, bahwa berkurban dengan cara ini tidak masalah Akan tetapi pahala kurban itu tetap khusus diterima oleh pihak yang berkurban. Sedangkan yang lain diganjar dengan gugurnya tuntutan berkurban. Lalu bagaimana kaitnnya dengan batasan orang yang melakukan kurban seperti disinggung di atas? Dalam hal ini tentunya tidak bertentangan sama sekali, Karena hakikatnya, kurban dan pahalanya itu khusus bagi yang berkurban, sedangkan dalam tasyrik fi tsawab, sebatas menggugurkan tuntutan bagi mereka yang masuk dalam pengatasnamaan. Karena hukum asal kurban adalah sunnah kifayah. Namun Imam Ramli dari kalangan Syafi’iyah sendiri berpendapat bahwa semuanya memperoleh pahala kurban. Hingga walaupun niat berkurban bersama ini dilakukan sesudah penyembelihan. [Bughyah Musytarsidin, 257]

Lebih lanjut. Malikiyah berpendapat bahwa praktek kurban ini sah bila memenuhi tiga syarat. Pertama, adanya hubungan kekeluargaan, Kedua nafkahnya berada dalam tanggungan pihak yang berkurban Namun Shohibul bayan, tidak mensyaratkan hal ini. Yang terpenting adanya ikatan famili. Ketiga, bertempat tinggal dalam satu rumah. Dalam hal ini Ibn Basyir tidak sepakat. dan dia membolehkan walau tidak serumah. Menurut golongan ini pun, fungsi tasyrik [pensyarikatan] di sini adalah sebatas menggugurkan tuntutan berkurban atas orang orang yang diikutsertakan [al-Syarh al-Shaghir142:ll, Minah aI-Jalil, 466.ll]

Masih dalam lingkup ini, Imam Abu Muhammad memberikan sanggahan atas pendapat tersebut. Bahwa berkurban [udlhiyah] merupakan kebajikan yang dianjurkan. Tentulah boleh berserikat dan berpartisipasi di dalamnya, selama tidak ada ketentuan [nash] yang melarang. Terlepas ada hubungan keluarga ataupun tidak karena, dalam urusan kebaikan Rasulullah tidak melarang untuk bersama-sama melakukannya. Begitupun berkurban, entah lebih dari tujuh atau sepuluh orang. Bahkan suatu ketika Rasulullah pernah berkurban dan mengikutsertakan seluruh umatnya. [Al-Muhalla, 381:IV]

Selanjutnya. terkait dengan kurban kolektif yang biasa dilakukan lembaga atau instansi tertentu, tentunya lebih relevan mentarjih pendapat jumhur ulama. Yaitu boleh berkurban bersama-sama walaupun tidak adanya hubungan keluarga. Sedangkan mengenai jumlah yang lebih dari tujuh, maka sebagai solusi, dalam praktek ini perlu adanya pengalihan kepemilikan. Yaitu sebagian mengalihkan kepemilikan uang iuran itu kepada salah seorang diantara mereka. Baik dengan cara hibah atau yang lain. Kemudian dia melakukan kurban atas nama dirinya, namun juga mengikutsertakan pihak lain dalam pahalanya. Dengan cara ini, siapapun bisa memberikan sumbangsih untuk berkurban. Walupun mereka tidak memiliki kecukupan harta Untuk melakukannya seorang diri. Dengan begitu, maksud kurban dapat tercapai dan tuntutan kepada mereka menjadi gugur. Falyatadabbar

 

Sumber  : Fikih Progresif

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutnya

Artikel Terkait

Artikel Terbaru