34.3 C
Jakarta
Array

Qira’ah Mubaadalah: Paradigma Alternatif Dalam Tafsir Berkeadilan Gender

Artikel Trending

Qira’ah Mubaadalah: Paradigma Alternatif Dalam Tafsir Berkeadilan Gender
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF
“Dinamika relasi gender yang masih terkungkung pada tafsir misoginis meniscayakan pemahaman masyarakat atas superioritas laki-laki dan inferioritas perempuan, sehingga munimbulkan diskriminasi dan subordinasi terhadap perempuan. Hadirnya mubaadalah (kesalingan) sebagai paradigma tafsir ayat gender bernafaskan keadilan, menjadi tawaran untuk menyelesaikan problematika tersebut. Ketersalingan dan kerjasama laki-laki dan perempuan di lingkup domestik maupun publik menjadi prinsip cara baca mubaadalah ini”
Islam sejak awal datangnya, telah mensyiarkan ajaran-ajaran yang ramah terhadap perempuan. Perempuan pada zaman jahili yang dianggap sebagai aib dan sama sekali tidak dihargai, perlahan dijunjung martabatnya oleh Islam. Pemberian hak waris, rekonstruksi undang-undang perceraian serta pembatasan poligami adalah salah satu wujud riil misi Islam untuk memberikan ruang bagi perempuan. Tidak hanya itu, Aisyah ra dan Hafshah ra yang turut menjadi sumber rujukan hadis Nabi menjadi bukti bahwa Islam sejak awal telah memberi peluang sama untuk laki-laki dan perempuan.
Tetapi, dalam perkembangannya, beragam kebijakan yang menyudutkan dan membatasi ruang gerak perempuan.  Di antaranya, larangan perempuan menjadi pemimpin serta keluar rumah sendiri. Keluarnya hukum seperti itu barangkali dipengaruhi oleh konteks budaya masa lalu, yang cenderung patriarkis. Peran laki-laki memiliki peluang lebih daripada perempuan sebab kuatnya fisik dan pikirannya. Sementara itu, perempuan terbatas, karena memiliki kelemahan dalam intelektual dan fisiknya. Hal ini jauh berbeda dengan hari ini, saat perempuan banyak yang berhasil menjadi cendekiawan, politikus, guru, dan sebagainya. Maka dari itu, sudah waktunya segala peraturan yang memberatkan perempuan diperbarui, disesuaikan lagi dengan kemaslahatan  masyarakat saat ini.

Lebih Jauh Mengenal Qira’ah Mubaadalah

Istilah ‘mubaadalah’ dikenalkan pertama kali oleh Faqihuddin Abdul Qadir, seorang lektur, peneliti, sekaligus aktifis gender asal Cirebon. Awalnya, mubaadalah adalah hasil refleksi Faqih dari pergumulannya dengan beragam organisasi keperempuanan, yang kemudian dimuat dalam Swara Fahima secara gradual. Begitu juga, ia menuangkannya pada buku yang berjudul “Manba’ al-Sa’adah”, dengan istilah mafhum al-tabaaduli (paham ketersalingan). Hingga kemudian, mubaadalah sempurna menjadi sebuah metode tafsir ayat-ayat jender, dalam buku “Qira’ah Mubaadalah” yang telah dirilis pada awal 2019.
Bila melacak gagasan awal lahirnya, embrio mubaadalah sudah dirancang oleh beberapa tokoh pendahulu. Ibnu ‘Ashur, salah satunya. Pada bagian maqasid al-musawah (maqashid kesetaraan), ia menyatakan bahwa bila ada satu teks yang secara redaksional hanya ditujukan pada salah satu jenis, laki-laki atau perempuan, maka teks tersebut juga berlaku untuk jenis yang lainnya selama tidak melanggar fitrah dan bertentangan dengan maslahat. Ibnu ‘Ashur menambahkan bahwa kesetaraan dapat berlaku asal tidak terhalang oleh faktor-faktor penganulir; faktor natural, syariat, sosial, dan politik. Rifaah al-Tahtawi juga telah menggaungkan prinsip ketersalingan dalam pendidikan. Perempuan harus diberi kesempatan belajar sebagaimana laki-laki. Karena, keduanya akan dapat bekerjasama dengan baik, bila sama-sama memiliki kecakapan berpikir dan bertingkah laku.

Cara kerja Qiro’a Mubaadalah sebagai Perspektif Penafsiran

Mubaadalah berarti relasi kesalingan atau hubungan timbal-balik. Pengertian tersebut, mengandung makna bahwa setiap keberagaman dalam berbagai skala dan persoalan, harus saling bekerjasama. Misalnya, kerjasama antar individu, kelompok, atau komunitas. Sementara itu, mubaadalah sebagai perspektif dalam penafsiran dipersempit pada suatu metode interpretasi ayat yang secara substantif menyatakan laki-laki dan perempuan sebagai subjek yang ‘setara’. Sehingga ia hanya berorientasi pada bagaimanakah Alquran dapat mencakup laki-laki dan perempuan dalam posisi yang sama, serta bagaimana hubungan kerjasama keduanya itu dapat terbangun. Cara baca ketersalingan/resiprokal ini bertujuan untuk menjaga nilai universal yang terkandung dalam Alquran agar tidak terdistorsi oleh pemaknaan yang kurang tepat atas ayat parsial. Sebagai contoh, pemaknaan resiprokal pada surat An-Nisa’ ayat 34, mengenai kepemimpinan.
Laki-laki dan perempuan memiliki peluang sama untuk dapat menjadi pemimpin. Secara tersurat, ayat tersebut menunjukkan superioritas laki-laki. Akan tetapi keunggulan laki-laki di dalamnya, bersifat sosiologis dan dinamis, sehingga, berkembang pemaknaannya seiring perubahan kultur masyarakat. Pada saat ayat itu turun kondisi sosial yang melingkupinya masih memegang teguh budaya patriarki, sehingga laki-lakilah yang pantas menjadi pemimpin. Perempuan masih rendah peradabannya. Sebaliknya, bila hari ini sudah banyak perempuan yang berhasil membuktikan kapabilitas dan integritasnya sebagai pemimpin, maka adalah legal untuk mengatakan bahwa perempuan setara dengan laki-laki.
Tauhid sebagai landas pikir perspektif mubaadalah berarti dengan kita mengesakan Tuhan, berimplikasi pada pemahaman bahwa selain-Nya (makhluk) adalah sama. Tidak adil bila ada yang merasa lebih unggul, sehingga memojokkan sesamanya. Lebih jauh kita cermati sifat Tuhan yang mukhalafatul lil hawadithi (berbeda dengan yang lain), maka siapa pun selainnya sama. Dan Sifat Tuhan yang Qiyamuhu bi nafsihi (berdiri sendiri), meniscayakan kita dan apa pun selainNya pasti butuh dengan sesama. Dengan memahami sifat tersebut secara vertikal, dan mengimplementasikannya dalam horizon sosial, akan menghasilkan perspektif berfikir mubaadalah.
Perspektif Mubaadalah menjadi arah baru penafsiran ayat relasi laki-laki dan perempuan menuju hubungan yang toleran, humanis, saling bahagia dan membahagiakan. Dengan kesalingan, tidak ada yang merasa lebih rendah, tidak pula lebih unggul dari yang lain. Laki-laki dan perempuan, yang mulanya superior dan inferior, berubah menjadi relasi kerjasama yang adil dan setara.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru