30.1 C
Jakarta

Qatar, Piala Dunia, dan Spirit Perdamaian Global Anti-Rasisme & Anti-Terorisme

Artikel Trending

Milenial IslamQatar, Piala Dunia, dan Spirit Perdamaian Global Anti-Rasisme & Anti-Terorisme
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Megah dan membanggakan. Boleh jadi seperti itu perasaan kebanyakan umat Islam hari ini menyaksikan pembukaan Piala Dunia 2022 Qatar di Stadion Al Bayt, Al Khor, Minggu (20/11) malam. Acara yang diawali dengan pemutaran video resmi Piala Dunia 2022 serta nyanyian-tarian teatrikal bernuansa Arab, dan dihadiri Presiden FIFA Gianni Infantino itu sangat spektakuler. Bendera peserta dan jersey kebesaran dari 32 tim ditampilkan, BTS juga dihadirkan. Dan lagu Hayya Hayya menggelegar.

Laga pembuka ialah pertandingan Qatar vs Ekuador yang merupakan rangkaian Grup A. Hasilnya, Qatar sebagai tuan rumah kalah 0-2 dari Ekuador. Kekalahan tersebut menepis Direktur Regional British Center, Amjad Taha, yang mengeklaim Qatar membayar 7,4 juta dollar AS (Rp 115 miliar) kepada delapan pemain Ekuador untuk membiarkan tuan rumah menang di laga perdana. Kekalahan itu juga melahirkan pertanyaan: kalau sudah kalah di awal, apa lagi keuntungan Qatar pada Piala Dunia kali ini?

Piala Dunia 2022 Qatar memang mendapat banyak kritik dari awal. Sebelumnya, beredar berita bahwa eks-Presiden FIFA Sepp Blatter menyesal memilih Qatar sebagai tuan rumah. Protes lainnya ihwal dugaan kematian 6.500 pekerja migran saat pembangunan delapan stadion, pelarangan LGBT, dan anti-minuman beralkohol. Qatar dianggap melanggar HAM. Sebagai negara Timur Tengah pertama yang menggelar piala dunia, Qatar menjadi sorotan media global secara negatif dan kontroversial.

Namun begitu, apakah Qatar rugi? Sama sekali tidak. Qatar adalah negara kaya raya. Media yang mengkritik itu sebenarnya hanya ingin minta uang pembungkam, bagian dari kemunafikan media Barat. Justru Qatar telah mencetak sejarah sebagai negara Arab pertama yang menghelat Piala Dunia. Qatar jadi tuan rumah dalam identitasnya sendiri: mayoritas Muslim dan bangsa Arab, yang selama ini sering kali menjadi korban rasisme dan dianggap sebagai dalang terorisme.

Di balik kemegahan Piala Dunia yang digelarnya, Qatar membawa spirit perdamaian global anti-rasisme anti-terorisme yang dalam pembukaan kemarin diperankan oleh Morgan Freeman, aktor berkebangsaan AS, dengan Ghanim Al Muftah, YouTuber penyandang disabilitas yang ditunjuk sebagai Brand Ambassador Piala Dunia 2022. Keduanya membawa pesan persatuan dan keberagaman, dan selanjutnya tarian khas Arab mengiringi mereka berdua. Qatar, suku Arab, benar-benar unjuk gigi.

Qatar Si Arab

Term “Arab” dan “Islam” sama familiarnya dengan term “Eropa” dan “Barat”. Namun antara Arab dan Eropa terkenal dalam sudut yang kontras. Eropa sering diimajinasikan sebagai kemajuan dan liberalisme, sementara Arab selalu terimajinasikan sebagai keterbelakangan dan konservatisme. Barat dianggap sebagai optimisme, sebaliknya, Arab adalah pesimisme. Labelisasi diskriminatif semacam itu jelas politik-oriented, yang dibahasailmiahkan sebagai clash of civilizations.

Islamofobia adalah preseden buruk dari ambivalensi tersebut. Mengapa orang non-Eropa dan non-Amerika yang pergi ke Barat dipaksa mengikuti liberalisme—mereka mengistilahkannya dengan kebebasan HAM, sementara orang Barat yang pergi ke Asia—Arab include di dalamnya—tidak mau melakukan hal yang sama? Dalam konteks Qatar, mengapa Barat memaksa orang menerima LGBT dan minuman alkohol dan tidak mau menghormati budaya Arab itu sendiri?

Qatar, si Arab yang kaya raya, punya kedaulatannya sendiri. Mereka mempunyai hak prerogatif untuk memaksa pendatang mengikuti budaya dan aturan yang ada, sama berhaknya dengan orang Barat melarang atribut keagamaan di negara-negara sekuler mereka. Jika Barat punya kajian orientalisme, mengapa oksidentalisme dihalang-halangi? Dalam kancah global, jika perdamaian adalah tujuan bersama, seharusnya kesetaraan menjadi bekal primordial. Ini tidak bisa ditawar.

Qatar sudah kalah dalam kontestasi sepak bola tepat di hari pembukaan Piala Dunia 2022, pada hari ketika euforia kejuaraan dunia tersebut berlangsung. Namun Qatar, salah satu suku Arab yang telah menjelma sebagai negara maju, berhasil menunjukkan kepada dunia bahwa Arab dan Islam tidak buruk sebagaimana tuduhan Barat. Qatar ingin menyuguhkan spirit pedamaian dan persatuan global, tanpa rasisme dan tanpa islamofobia, juga bahwa Islam bukan agama terorisme.

BACA JUGA  Stop Polarisasi! Rakyat Indonesia Mesti Bersatu

Piala Dunia 2022 hanya berlangsung sebulan. Tetapi apa yang Qatar korbankan—konon Piala Dunia 2022 adalah termegah dan termahal sepanjang sejarah—membuahkan hasil yang sangat memuaskan. Orang Barat tidak punya lagi alasan untuk arogan terhadap peradaban mereka, atau seenak jidatnya menuduh Arab dan Islam sebagai keterbelakangan dan dalang teror. Tidak ada lagi rasisme. Qatar mempersonifikasi bahwa Arab hari ini sama majunya dengan Eropa.

Misi Perdamaian Global

Misi penumbuhan spirit perdamaian global yang Qatar lakukan tentu saja tidak bisa selesai melalui sepak bola belaka, sekalipun Piala Dunia. Peradaban Barat dan Timur tidak perlu saling bertabrakan, dan dikotomi tersebut sejatinya tidak lagi layak pakai. Negara-negara Arab, yang mayoritas berpenduduk Muslim, tengah menuju puncak kejayaan masing-masing. Muhammad bin Salman, pemimpin de facto Arab Saudi bahkan terang-terangan mengatakan, Arab akan segera menyamai Eropa.

Lagi pula, rasisme dan terorisme tidak dilakukan hanya oleh umat Islam dan sama sekali tidak merepresentasikan suku dan agama tertentu. Karena itu, yang terkena getah oknum rasis dan penebar teror itu seharusnya bukan hanya Islam. Ada yang menarik dari pernyataan Presiden FIFA, Gianni Infantino, pada Sabtu (19/11) kemarin. Ia bilang, dan ini harus digarisbawah tebal untuk menyemai persatuan dan perdamaian global,

Hari ini saya merasa sebagai orang Qatar. Hari ini saya merasa Arab, saya merasa Afrika, saya merasa menjadi gay, saya merasa menjadi orang difabel, saya merasa menjadi pekerja migran. Kami di Eropa, telah menutup perbatasan dan tidak mengizinkan hampir semua migran di negara-negara Eropa untuk bekerja secara legal di negara kami. Jika Eropa benar-benar peduli dengan nasib orang-orang ini, para pemuda ini, maka Eropa juga dapat melakukan apa yang dilakukan Qatar. Beri mereka pekerjaan, beri mereka masa depan, beri mereka sedikit harapan. Kritik moral secara sepihak hanyalah kemunafikan semata. Apa yang telah kami—orang Eropa—lakukan selama 3.000 tahun terakhir, kami harus minta maaf selama 3.000 tahun ke depan sebelum mulai memberikan pelajaran moral kepada orang lain.”

Pernyataan tersebut memang lumrah dalam komunikasi politik, bahwa sebagai Presiden FIFA, ia pasti akan membela tuan rumah. Piala Dunia 2022 di Qatar juga pasti memiliki kekurangan dan, tanpa bisa dielak, dalam sejumlah hal, pasti ada hal-hal yang tak bisa disetujui bersama. Namun, semua kritik Eropa dan Barat adalah standar ganda yang menegasikan kebobrokan mereka sendiri, sebagaimana telah dibahas. Selain itu, setiap misi butuh pengorbanan.

Sejarah tidak mengingat darah, ia mengingat nama.” Demikian pepatah mengatakan. Perdamaian global bisa masuk melalui Piala Dunia dan itu adalah cita-cita yang sangat mungkin. Qatar telah menghabiskan US$220 miliar atau Rp 3.344 triliun untuk menyukseskan Piala Dunia 2022, mengalahkan Piala Dunia 2018 di Rusia sebesar US$ 11,6 miliar dan Brazil US$ 15 miliar pada 2014. Apakah pengorbanan itu akan dilupakan hanya oleh hipokrisi media Eropa—Barat?

Ada ratusan pemain sepak bola beragama Islam di dunia, dan beberapa di antarnya adalah bintang top internasional. Mesut Ozil, Paul Pogba, Karim Benzema, dan Mohamed Salah, di antaranya. Apakah mereka teroris? Apakah mereka menganggu Eropa? Paul Pogba dan Karim Benzema justru sangat berjasa. Dari sekian banyaknya pemain sepak bola Muslim, yang kurang itu satu: mereka adalah minoritas di dunia yang cenderung rasis dan memelihara islamofobia.

Qatar hadir untuk mengentaskan masalah tersebut. Melalui Piala Dunia 2022, negara internasional memandangi Qatar sebagai negaya kaya, maju, dan berperadaban, yang membawa misi perdamaian dan persatuan global. Adakah upaya menyelesaikan persoalan anti-rasisme dan anti-terorisme semahal yang Qatar lakukan? Tentu saja ini semua tidak menjadi humas Qatar. Namun semua orang harus sadar, Arab dan Islam itu tak seburuk yang dituduhkan. Tidak ada lagi alasan untuk rasisme dan islamofobia.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru