29 C
Jakarta
Array

Pudarnya Ketulusan Beragama

Artikel Trending

Pudarnya Ketulusan Beragama
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Fenomena pengusungan isu agama yang sarat nuansa pragmatisme akhir-akhir ini demikian menguat di Indonesia. Orang dan kelompok tertentu rajin menghadirkan bahasa, atribut, dan simbol agama ke ruang publik yang ujung-ujungnya menandaskan diri sendiri atau kelompoknya paling religius. Pada saat yang sama mereka memperlihatkan kekurangbenaran, kesesatan, bahkan ketakberagamaan orang dan kelompok lain.

Persoalannya menjadi sangat naif ketika pada kelompok tersebut ada atau banyak orang atau oknum yang indikator dan penampakannya dalam penguasaan keagamaannya justru sangat diragukan. Demikian pula dari sisi akidah, ritual, dan sejenisnya. Namun, demi tujuan sempit dan sesaat, mereka menggebu-gebu mengklaim paling agamis.

Terlepas dari apa pun tujuannya, penguatan identitas agama semacam itu menyisakan kegaduhan yang mengusik—sekecil apa pun—soliditas masyarakat dan memicu terjadinya gesekan di antara anak-anak bangsa. Kemajemukan masyarakat yang nyaris ada bersamaan sejak masyarakat di kepulauan Nusantara terbentuk dan bagian melekat dari masyarakat Indonesia  menjadi (sesamar apa pun) terganggu. Konsep sosial ”kami-mereka” mulai menguat menodai konsep ”kekitaan” yang telah lama mengakar kuat dalam masyarakat Indonesia.

Keberagamaan yang bias
Dilihat dari sisi mana pun, fenomena penguatan identitas keagamaan seperti itu sama sekali tak mencerminkan nilai-nilai agama apa pun. Keberagamaan ini bukan hanya sangat reduktif, melainkan juga amat bias. Reduktif karena ajaran agama, khususnya Islam, yang terdiri dari akidah, syariah (dalam makna sempit), dan akhlak direduksi sedemikian rupa sehingga yang tersisa hanya semangat dan simbol keagamaan.

Pola semacam itu jelas sangat bias karena agama dengan etik- moral sebagai dasar dan bingkai dibabat habis dan kemudian diperalat untuk kepentingan diri, kelompok, sesaat, pragmatis, atau sejenisnya.

Kemunculan keberagamaan ini mengisyaratkan betapa orang dan kelompok tertentu melihat agama sebagai media sangat ampuh untuk memainkan emosi umat hingga saat ini. Simbol atau atribut agama benar-benar dapat membius dan menyihir umat. Bahasa agama membuat mereka kehilangan kearifan nyaris di segala hal.

Di atas nama agama, umat —terutama kalangan awam—dapat diajak dengan mudah untuk melakukan apa saja. Pada sisi ini, mereka melihat celah ini sebagai peluang untuk memperalat agama dan umat sekaligus. Mereka kemudian mengemas kepentingan mereka dalam simbol dan bahasa yang sarat dengan nuansa agama. Fenomena yang lalu berkembang adalah berseliwerannya simbol, atribut agama, dan sejenisnya di ruang publik.

Tentu berkecambahnya hal- hal yang bernuansa agama itu tak semata berpulang pada hal sebagaimana dicandra sebelum ini. Penguatan islamisme sama sekali tidak bisa diabaikan. Bahkan, komodifikasi agama merupakan kenyataan yang ikut meramaikan hiruk pikuk keberagamaan di Indonesia. Namun, dalam konteks kekinian, semua unsur penyebab tersebut bukan tidak mungkin beramalgamasi dan mengerucut pada satu kepentingan; kepentingan politik kekuasaan pragmatis sesaat.

Ketulusan beragama
Apa pun latar belakangnya, semua itu hanya merugikan umat beragama. Selain memang tak sesuai atau bertentangan dengan nilai dan ajaran agama, memperalat agama, politisasi agama, atau apa pun namanya, hanya akan mengerdilkan umat beragama. Misi agama mendewasakan manusia, menjadikan manusia yang arif dan bijak, serta mengantarkan manusia bahagia di dunia dan alam eskatologis nyaris dipastikan tak akan pernah berwujud.

Terlepas apa pun latar belakang penguatan simbol- simbol agama yang nyaris terlepas dari visi moralitas agama yang menggejala akhir-akhir ini, kekurangtulusan beragama merupakan aspek yang sama sekali tak bisa diabaikan. Kalau mau jujur, kita—atau sebagian dari kita—belum sepenuhnya tulus dalam beragama. Padahal, inti beragama senyatanya ada pada ketulusan. Beragama secara hakiki adalah penyerahan total kepada Sang Pencipta.

Konkretnya, beragama adalah melaksanakan nilai serta ajaran agama yang secara substantif berupa penegakan dan pelaksanaan keadilan, pembumian kesejahteraan, penguatan persaudaraan, dan sejenisnya.

Kita dituntut untuk mengembangkan ketulusan. Dari ketulusan, kita niscaya terus belajar agar keberagamaan kita lebih dapat dipertanggungjawabkan kepada Sang Khalik dan kepada sesama. Di sini kita urgen untuk menghadirkan kembali pendahulu-pendahulu kita yang ketulusannya dalam beragama tak diragukan lagi. Mereka ini di antaranya dari kalangan Muslim adalah KH Hasyim Asy’ari, KH A Wahid Hasyim, KH Ahmad Dahlan, dan H Agus Salim. Dari Katolik di antaranya IJ Kasimo dan Romo Mangunwijaya. Dari Kristen di antaranya AA Maramis, dari Hindu I Gusti Ngurai, dan dari agama lain tentu banyak juga tokoh yang benar-benar tulus dalam beragama.

Mereka perlu dihadirkan kembali tidak sekadar untuk menggali dan memahami pemikiran-pemikiran keagamaan mereka yang inspiratif, tetapi yang lebih penting adalah meneladani sikap mereka. Mereka adalah orang yang beriman kokoh dan beragama secara tulus yang diwujudkan dalam bentuk pengabdian tanpa pamrih kepada umat, bangsa dan NKRI.

[zombify_post]

Ahmad Khalwani, M.Hum
Ahmad Khalwani, M.Hum
Penikmat Kajian Keislaman

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru