27.1 C
Jakarta

Puasa di Masa Pandemi; Menahan Diri Dari Ego Pribadi dan Provokasi

Artikel Trending

KhazanahOpiniPuasa di Masa Pandemi; Menahan Diri Dari Ego Pribadi dan Provokasi
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Bulan puasa tahun ini yang akan dijalani di tengah pandemi, membuat umat Muslim lebih besar menahan diri daripada sekeadar dari makan dan minum seperti di tahun lalu. Puasa kali ini mengharuskan umat Muslim menahan keinginan agar bulan puasa berjalan seperti di tahun-tahun sebelumnya. Umat Muslim harus menahan ego pribadi berupa bulan puasa berjalan seperti tahun lalu, sekaligus menahan diri dari menyebar hoaks serta termakan provokasi yang tak henti-hentinya memancing kebencian antarumat Muslim.

Namun, perlu disadari bahwa menahan diri dari ego pribadi maupun provokasi bukanlah hal yang asing keberadaannya saat berpuasa. Justru memahami bahwa puasa adalah sekedar menahan diri dari sekedar makan dan minum, adalah pemahaman dangkal akan makna puasa. Puasa yang hanya sekadar makan dan minum adalah puasa yang sekadar menggugurkan kewajiban di bulan Ramadhan. Pahala puasa yang sebenarnya baru didapat saat seseorang menahan diri dari hal-hal yang dilarang Allah. Termasuk di dalamnya mendahulukan ego pribadi dari pada kepentingan umum, serta menjauhi hal-hal yang memancing kebencian antarmanusia.

Ramadhan: Antara Ibadah Wajib dan Ibadah Sunnah

Banyak yang mungkin lupa bahwa ibadah di bulan Ramadhan yang di wajibkan selain yang sudah ada di bulan-bulan lain, adalah ibadah puasa. Selainnya, seperti tarawih, tadarrus, mengaji kitab, i’tikaf, salat malam adalah ibadah sunnah. Memang benar pahala melakukannya di bulan Ramadhan lebih besar daripada di bulan lainnya. Tapi, tetap tidak menggeser status hukum Sunnah menjadi wajib layaknya puasa. Karena statusnya yang Sunnah, peniadaan atau pembatasannya terutama di saat-saat penanggulan pandemi ini seharusnya tidak menjadi sesuatu yang serius.

Mengenai keberadaan ibadah-ibadah sunnah tersebut yang sudah menjadi rutinitas seperti bulan Ramadhan di tahun-tahun sebelumnya, juga seharusnya disadari tidak membuatnya harus ada seperti biasanya di bulan Ramadhan kali ini. Jangan lantas kemudian menganggap meniadaan atau pembatasannya dianggap sebagai peniadaan atau pembatasan ibadah kepada Allah. Sebab, hukum Islam senantiasa berjalan beriringan dengan kepentingan keselamatan jiwa manusia atau dalam bahasa Ilmu Usul Fiqih adalah hifdzun nafsi (menjaga jiwa).

Kekecewaan-kekecewaan sebagian umat Muslim harus difahami sebagai bentuk luapan emosi yang belum tentu dibenarkan oleh syariat. Karena kekecewaan itu muncul pada dasarnya bukan karena syariat Islam tidak boleh dijalankan. Tapi, karena karena kebiasaan-kebiasaan di bulan Ramadhan tidak bisa dijalankan tahun ini. Apalagi, sebenarnya semacam tarawih atau tadarrus bukan ibadah yang harus dilakukan dengan melibatkan kumpulan massa seperti biasanya. Tarawih dan tadarus bisa dilakukan di rumah bersama keluarga.

Menahan Diri dari Ego Pribadi dan Provokasi Termasuk Kewajiban Puasa

Imam ‘Izzudin Ibn Abdis Salam dalam kitabnya yang berjudul Maqasidus Shiyam (tujuan berpuasa) menyatakan bahwa adab puasa ada enam. Pertama, menjaga lidah dan anggota tubuh dari perbuatan yang menyimpang. Terkait hal ini, Nabi Muhammad salallahualaihi wasallam bersabda dalam sebuah hadis sahih:

BACA JUGA  Urgensi Pendidikan Karakter sebagai Tameng Kontra-Radikalisme Daring

مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِى أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ

Barangsiapa tidak meninggalkan kata-kata dusta dan melakukannya, maka Allah tidak butuh jika ia meninggalkan makan dan minumnya.

Hadis ini dipahami oleh para ulama, menyatakan bahwa salah satu tata karma berpuasa meninggalkan ucapan keji maupun melakukannya. Bila tata krama ini tidak diindahkan, maka bisa menghapus pahala. Dan termasuk mengucapkan hal keji maupun melakukannya, adalah menyebar berita yang tak jelas kebenarannya (hoaks) serta ikut serta menyebarkan atau melakukan tindakan provokasi.

Salah satunya memancing kebencian masyarakat kepada pemerintah, agar kemudian mereka bertindak dengan sesuatu yang bertentangan dengan kebijakan pemerintah. Utamanya yang berkaitan dengan pandemi Covid-19.

Menggali Kembali Makna Puasa

Menghadapi gejolak melalui Ramadhan tidak seperti tahun-tahun sebelumnya, umat muslim perlu menggali kembali makna puasa. Bahwa termasuk dari puasa ada melaksanakan ketaatan secara sempurna. Imam al-ghazali dalam kitab bidayatul hidayah menyatakan bahwa jangan sampai punya keyakinan bahwa puasa adalah sekedar menjahui makan dan minum saja.

Tapi, yakinilah kesempurnaan puasa ada pada menjaga seleuruh anggota tubuh dari hal-hal yang dilarang Allah. Termasuk diantaranya mengkesampingkan ego pribadi demi kepentingan umum. Mentaati himbauan pemerintah sebagai salah satu pihak yang harus ditaati selain Allah dan rasul-Nya. Diantaranya mentaati himbauan berupa menjahui kegiatan yang sifatnya mengumpulkan massa. Social distanching amat diperlukan untuk memutus rantai penularan.

Selain itu, menjahui provokasi sama artinya menjahui hal-hal yang memancing kebencian antar sesama. Ini juga diharuskan demi memperoleh pahala puasa. Berburuk sangka pada orang lain, maupun mengambil keuntungan di tengah kesusahan orang banyak meski itu demi tujuan berbau agama, tetap tidak dibenarkan. Islam menganjurkan untuk berikhtiyar sekuat tenaga menghadapi musibah seperti pandemi ini. Ikhtiyar ini bukan atas nama pribadi, agama maupun kelompok. Tapi, atas nama manusia yang keselamatan jiwa, harta dan kehormatannya amat diperhatikan oleh Islam.

Jangan sampai puasa kali ini termasuk yang disabdakan nabi Muhammad dalam hadis riwayat Imam Ahmad: “Banyak orang yang menunaikan qiyam Ramadhan, tapi bagiannya dari qiyam-nya adalah begadang. Dan banyak orang yang berpuasa, sedangkan bagiannya dari puasanya adalah lapar dan haus”. Artinya, jangan sampai yang kita peroleh dari puasa adalah sekedar rasa haus serta lapar. Tapi, raihlah juga pahala puasa sebagai ibadah yang sempurna.

Mohammad Nasif
Mohammad Nasif
Lulusan Pon. Pes. Lirboyo dan Jurusan Tafsir Hadis UIN Sunan Kalijaga tahun 2016. Menulis buku-buku keislaman, terjemah, artikel tentang pesantren dan Islam, serta Cerpen.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru