32.9 C
Jakarta
Array

Psikologi Kelompok Radikal dan Militan

Artikel Trending

Psikologi Kelompok Radikal dan Militan
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Ketika   negeri  ini   belum   merdeka,   ada   kesadaran   yang  amat   kuat   pada masyarakat negeri ini untuk  bersatu, bahu membahu mengusir penjajahan dari  negeri ini. Sejarah   mencatat    munculnya    organisasi   islam,    seperti:   Sarikat    Dagang    Islam, Muhammadiyah, Nahdatul Ulama yang dengan  gaya dan caranya masing-masing mereka berjuang bersatu  dengan kelompok  nasionalis dan  kelompok  lain untuk  memerdekakan negeri  ini.

Pada  jaman  sebelum  kemerdekaan ini  tercapai  ada diantara  mereka  ketika berperang, mengelompokkan   diri  kedalam   ikatan  agama.   Namun   ada  pula   yang mengatasnamakan  ikatan tertentu  yang  lain.  Meski begitu  karena  tujuan  kemerdekaan demikian kuat,  maka perbedaan  yang ada  diantara mereka tidak  mereka hiraukan.  Bagi mereka yang penting  adalah merdeka. Karena  itu tidaklah aneh kalau  kemudian bergulir semboyan  “Merdeka   atau   Mati”.

Dalam   bahasan   psikologi,  kelompok   kondisi  ini menggambarkan bahwa  mereka telah  mengacuhkan perasaan  ingroup-outgroup. Bahwa tujuan yang lebih besar mengalahkan sentimen  dan loyalitas pada kelompoknya. Dampak dari ingroup-outgroup  inilah  kemudian memunculkan  superioritas. Bahwa  kelompokku lebih hebat apabila dibanding  dengan kelompok lain. Dalam pendekatan  statistika, posisi kelompok radikal ini terletak pada dua ujung sebuah  kurva normal, yang menurut penulis terjadi secara alamiah.

Islam adalah sebuah ideologi agama syamil (global),  kamil (sempurna), wamutakamil  (dan disempurnakan).  Jutaan  umat  Islam setiap  hari  melihat  fenomena yang beraneka ragam di masyarakat. Banyak orang  kemudian merasa tidak puas terhadap tatanan dan kondisi  masyarakat yang amburadul tidak sesuai  ajaran Islam. Adalah bukan hal  yang  mustahil apabila  kemudian  banyak  yang  ingin  melakukan  purifikasi agama.

Mereka  tidak puas  oleh kondisi  lingkungannya  yang jauh    berbeda dengan  ajaran  dan syariat  Islam,  atau  paling  tidak  dengan  idealisme  mereka  tentang  Islam,  syariat  dan Negara Islam. Orang yang sealiran dengan pemahaman  ini melalui interaksi mereka yang sengaja mereka  selenggarakan atau  kebetulan kemudian  berhimpun diri. Dengan alasan pemurnian ajaran  agama, maka mereka menciptakan  simbol-simbol dan cara  berpakaian yang  berbeda  dengan  khalayak   ramai. Akibatnya  sangatlah  jelas  bahwa  simbolisme adalah proses dari pemilahan  siapa yang termasuk kelompok saya,  dan siapa yang bukant ermasuk  kelompok saya.

Mengutip pendapatnya Hunter bahwa ada 6 (enam) ideologi gerakan yang dapat mempersatukan kelompok radikal dan militant, yaitu: (a) konsep din wa daulah. Islam merupakan sistem kehidupan  total, yang secara universal dapat diterapkan  pada semua keadaan, waktu  dan tempat. Pemisahan antara  din (agama) dan daulah (negara)  adalah hal yang  mustahil dapat  diterima oleh kelompok  radikal. Bagi  kelompok radikal agama dan Negara adalah dua hal yang tak terpisahkan, dan hendaknya dipahami secara integral. (b) kembali ke Qur’an dan Hadist. Di  sini umat Islam diperintahkan untuk kembali pada praktek  ajaran  nabi  yang puritan  dalam  mencari  keaslian  ajaran  dan  pembaruan. (c) Puritanisme dan keadilan sosial. Nilai-nilai dan adat istiadat barat ditolak sebagai sesuatu yang sekuler dan asing bagi  Islam. Karena itu mereka menuntut agar media massa mampu memberikan dakwah secara  puritan  yang  berkeadilan sosial.  Tuntutan  agar media  massa   mampu  memberikan    dakwah   secara puritan yang berkeadilan sosial mungkin akan mengalami  masalah  besar. Sebab  pada sisi yang lain adanya kesadaran Gender, menuntut adanya pemaknaan ulang  terhadap Al  Qur’an (d) kedaulatan syariat Islam. (e) jihad sebagai  instrument gerakan. (f) perlawanan  terhadap barat yang hegemonik dan intervensinya di Negara-negaraIslam seperti:  Lybia, Bosnia,  Palestina, Afganistan, dan Irak.

Kelompok radikal satu dengan yang lain secara santun mereka juga menginginkan adanya   superioritas, meski  pada dasarnya  mereka adalah  minoritas. Dengan demikian, konflik  antar  kelompok radikalpun amat  sangat mungkin  terjadi. Sebuah  pertanyaan yang  pantas diajukan  adalah: “mungkinkah  kelompok  minoritas mempengaruhi mayoritasnya? Jawabnya adalah mungkin.

Menurut teori dalam psikologi dijelaskan bahwa kelompok minoritas dapat mempengaruhi  mayoritas apabil memiliki beberapa syarat, diantaranya adalah: (a) apabila ada masalah yang menyangkut kepentingan umum mereka berdiri dan menjadi garda terdepan; dan (b) konsisten dengan perjuangannya dan ideologinya.

Dalam teori Frustrasi-Agresi yang dikembangkan oleh Dollard dan Miller dijelaskan bahwa agresivitas sebuah perilaku individu atau kelompok itu sebanding dengan  tingkat frustrasi yang  dialami oleh kelompok  atau individu  tersebut. Radikalisme memang berbeda dengan agresivitas, namun dalam banyak hal kita  melihat adanya korelasi diantara keduanya.

Radikalisme dan militanisme memang dalam hal tertentu dibutuhkan untuk purifikasi agama. Namun demikian, Islam sebagai agama Rahmatan lil Alamin  harus tetap wajib diciptakan karena Islam itu sendiri artinya selamat atau kedamaian, bukankah Tuhan mengultimatum “watawaa  shou  bilhaq  watawaa  shou bisshabr” penafsirannya bahwa  menegakkan kebenaran  haruslah  disertai dengan kesabaran/santun,  penempatan bilhaq dan bisshabr dalam satu ayat yang sejajar, mengindikasikan bahwa secara Teologi Islam, Tuhan menghendaki adanya fatsoen (kode etik) dalam menegakkan ajaranNya.

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru