27.5 C
Jakarta
Array

Proses Pensyariatan (Diwajibkan) Puasa Ramadhan

Artikel Trending

Proses Pensyariatan (Diwajibkan) Puasa Ramadhan
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Puasa bulan Ramadhan yang kita jalankan saat ini, ternyata mengalami suatu proses pensyariatan. Dari awalnya boleh memilih antara puasa dan tidak puasa lalu ke berat akhirnya ke ringan.

Para ulama sepakat bahwa puasa Ramadhan itu diwajibkan di bulan Sya’ban tahun kedua hijriyyah (Ibnu Katsir ad-Dimasyqi w. 774 H, al-Fushul di Sirah ar-Rasul, h. 127). Di tahun yang sama, disyariatkan pula perpindahan arah kiblat shalat, dari Baitul Maqdis ke Ka’bah, disyariatkan zakat fithrah, dan Shalat Id (Abu Ja’far at-Thabari w. 310, Tarikh at-Thabari, h. 2/ 421).

Hanya saja, sebelum diwajibkan puasa Ramadhan, Nabi telah berpuasa di hari Asyura’ dan tiga hari di tiap bulannya. Puasa Asyura’ atau 10 Muharram dahulu sudah dijalankan oleh orang-orang Qurays masa jahiliyyah, dan Nabi juga ikut melaksanakannya. Dalam riwayat lain disebutkan bahwa puasa Asyura’ dilaksanakan Nabi saat di Madinah, ketika melihat Orang Yahudi berpuasa di hari itu.

Jika dihitung, Nabi Muhammad shallaAllahu alaihi wasallam selama hidupnya telah melaksanakan puasa sebanyak 9 kali. (Ibnu Qayyim al-Jauziyyah w. 751 H, Zaad al-Ma’ad, h. 2/ 29).

Paling tidak ada beberapa fase pensyariatan yang bisa kita lihat secara sekilas dari diagram dibawah ini:

Tak Ada Puasa Wajib Sebelum Puasa Ramadhan

Tak ada puasa wajib bagi umat Islam sebelum adanya syariat puasa Ramadhan. Ibnu Hajar al-Asqalani (w. 852 H) menuliskan bahwa:

فالجمهور وهو المشهور عند الشافعية أنه لم يجب قط صوم قبل صوم رمضان

Mayoritas ulama dan yang masyhur dalam pendapat madzhab Syafi’iyyah adalah tak ada syariat puasa wajib sebelum adanya syariat puasa Ramadhan (Ibnu Hajar al-Asqalani w. 852, Fath al-Bari, h. 4/ 103)

Hal ini sebagaimana diamini oleh mufassir Ibnu Jarir at-Thabari (w. 310 H) dalam menafsiri Surat al-Baqarah: 184. (Ibnu Jarir at-Thabari w. 310, Jami’ al-Bayan, h. 3/ 417)

Meskipun ada pula ulama yang menyatakan bahwa sebelum diwajibkannya puasa Ramadhan, ada puasa lain yang juga wajib. Hanya saja, ulama yang mengatakan ada puasa wajib ini juga berbeda pendapat terkait puasa apa yang wajib. Sebagian mengatakan puasa Asyura’, sebagian yang lain mengatakan puasa tiga hari setiap bulan atau yang disebut dengan puasa Ayyam al-Bidh.

Ulama yang menyatakan bahwa puasa Asyura’ adalah puasa wajib sebelum adanya syariat puasa Ramadhan diantaranya Imam Abu Hanifah (w. 150 H) yang dinukil oleh Alauddin al-Kasani (w. 587 H) dalam kitabnya Badai’ as-Shanai’, h. 2/ 262, Ibnu Taimiyyah (w. 728 H) dalam kitabnya Majmu’ al-Fatawa, h. 25/ 295 dan juga Abu Bakar al-Atsram (w. 273 H) dalam kitabnya Nasikh al-Hadits wa Mansukhih, h. 186.

Sedangkan yang menyatakan bahwa puasa ayyam al-bidh adalah puasa wajib sebelum adanya Atha’ bin Abi Rabah (w. 114 H) sebagaimana dinukil oleh Imam Abu Ja’far at-Thabari (w. 310 H) dalam kitab tafsirnya Jami’ al-Bayan, h. 3/ 414.

Periode 1: Puasa Asyura’

Sebelum diwajibkan puasa Ramadhan, dahulu Nabi sudah puasa tanggal 10 Muharram atau Asyura’. Dalam sebuah hadits disebutkan:

عن عائشة رضي الله عنها، قالت: «كان يوم عاشوراء تصومه قريش في الجاهلية، وكان النبي صلى الله عليه وسلم يصومه فلما قدم المدينة صامه وأمر بصيامه ، فلما نزل رمضان كان رمضان الفريضة، وترك عاشوراء، فكان من شاء صامه ومن شاء لم يصمه

Dari Aisyah beliau berkata, “Hari Asyura’ dahulu orang Qurays puasa di hari itu, Nabi Muhammad juga berpuasa di hari Asyura’. Saat awal tiba di Madinah, Nabi masih menyuruh untuk berpuasa Aysura’ dan Nabi juga ikut berpuasa. Hanya ketika datang syariat puasa Ramadhan, Nabi meninggalkan puasa Asyura’ sembari berujar bahwa siapa yang mau puasa di hari itu ya silahkan, yang tidak puasa juga tidak mengapa. (Muhammad bin Ismail al-Bukhari w. 256 H, Shahih Bukhari, h. 6/ 24)

Aisyah menyebutkan bahwa Nabi telah berpuasa hari Asyura’ sejak berada di Makkah, yaitu hari dimana Ka’bah ditutup. Disebutkan dalam riwayat Imam Bukhari (w. 256 H) dalam Shahihnya:

عن عائشة رضي الله عنها قالت: كانوا يصومون عاشوراء قبل أن يفرض رمضان، وكان يوما تستر فيه الكعبة، فلما فرض الله رمضان، قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: «من شاء أن يصومه فليصمه، ومن شاء أن يتركه فليتركه

Dari Aisyah beliau berkata, ” Dahulu orang-orang sudah puasa Asyura’ sebelum diwajibkannya puasa Ramadhan, yaitu hari dimana Ka’bah diberi tutup. Ketika diwajibkan puasa Ramadhan, Rasulullah bersabda, “Siapa yang ingin puasa Asyura’ ya silahkan, siapa yang tak ingin puasa ya tidak apa-apa. (Muhammad bin Ismail al-Bukhari w. 256 H, Shahih Bukhari, h. 2/ 148).

Hanya dalam riwayat lain dari Ibnu Abbas disebutkan bahwa Nabi puasa Asyura’ saat melihat orang Yahudi Madinah puasa di hari itu. Disebutkan dalam hadits:

عن ابن عباس رضي الله عنهما، قال: قدم النبي صلى الله عليه وسلم المدينة فرأى اليهود تصوم يوم عاشوراء، فقال: «ما هذا؟»، قالوا: هذا يوم صالح هذا يوم نجى الله بني إسرائيل من عدوهم، فصامه موسى، قال: «فأنا أحق بموسى منكم»، فصامه، وأمر بصيامه

Dari Ibnu Abbas beliau berkata, ketika Nabi datang ke Madinah beliau melihat Orang Yahudi berpuasa di hari Asyura’. Lantas Nabi bertanya, “Puasa apa itu?”. Mereka menjawab, “Ini hari yang baik, hari dimana Allah menyelamatkan Bani Israil dari musuhnya, lalu Musa berpuasa.” Lantas Nabi menimpali, “Saya lebih berhak atas Musa daripada kalian”, maka Nabi akhirnya puasa di hari itu dan menyuruh kaum muslim untuk berpuasa pula.(Muhammad bin Ismail al-Bukhari w. 256 H, Shahih al-Bukhari, h. 3/ 44).

Periode 2: Boleh Memilih Walaupun Mampu Puasa

Awal disyariatkan puasa Ramadhan pada tahun kedua hijriyyah, kaum muslimin boleh memilih antara puasa atau tidak puasa. Bagi yang tidak berpuasa, harus membayar fidyah yaitu memberi makan satu orang miskin.

Hanya saja, bagi yang berpuasa maka itu lebih baik. Hal ini sebagaimana tertulis dalam al-Qur’an:

وعلى الذين يطيقونه فدية طعام مسكين فمن تطوع خيرًا فهو خير له وأن تصوموا خير لكم إن كنتم تعلمون. البقرة:184

Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. (QS. Al-Baqarah: 184)

Periode 3: Tak Ada Pilihan Kecuali Puasa Bagi yang Mampu

Setelah boleh memilih, akhirnya turun ayat yang menjelaskan bahwa tak ada lagi pilihan kecuali puasa bagi yang mampu dan tak ada udzur. Ayat itu adalah:

فمن شهد منكم الشهر فليصمه. البقرة :185

Siapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu. (QS. Al-Baqarah: 185).

Dalam hadits disebutkan:

عن سلمة بن الأكوع قال: لما نزلت: (وعلى الذين يطيقونه فدية طعام مسكين) كان من أراد أن يفطر ويفتدي، حتى نزلت الآية التي بعدها فنسختها

Dari Salamah bin al-Akwa’ beliau berkata, “ketika turun ayat (Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin), boleh diantara kita berpuasa atau membayar fidyah. Ketika turun ayat setelahnya, maka ayat itu menasakh kebolehan memilih. (Muttafaq alaih)

Semua kaum muslim yang mampu dan tak ada udzur, wajib berpuasa Ramadhan. Hanya saja, ternyata awalnya puasa dahulu cukup berat. Kenapa berat?

Periode Berat: Boleh Makan Selama Belum Tidur

Puasa Ramadhan pada awalnya dimulai dari saat tidur malam sampai maghrib hari berikutnya. Ketika seseorang sudah tidur malam, maka tidak boleh lagi makan, minum dan jima’ dengan istrinya, sampai nanti masuk waktu maghrib.

Maka beberapa shahabat mengalami keadaan yang berat. Ada beberapa riwayat yang menjelaskan itu. Diantaranya ysng terjadi kepada Qais bin Shirmah al-Anshari:

عن البراء بن عازب –رضى الله عنه-، قال: ” كان أصحاب محمد –صلى الله عليه وسلم- إذا كان الرجل صائماً فحضر الإفطار، فنام قبل أن يفطر، لم يأكل ليلته ولا يومه حتى يمسى، وإن قيس بن صِرمَة الأنصارىّ كان صائماً، فلما حضر الإفطار أتى امرأته، فقال لها: أعندكِ طعام؟، قالت: لا، ولكن أنطلق فأطلب لك، وكان يومه يعمل، فغلبته عيناه

فجاءته امرأته، فلما رأته قالت: خَيْبَةً لك. فلما انتصف النهار غُشِى عليه، فذُكر ذلك للنبى –صلى الله عليه وسلم-، فنزلت هذه الآية: ((أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلى نِسَآئِكُمْ))، ففرحوا بها فرحاً شديداً، ونزلت: ((وَكُلُواْ وَاشْرَبُواْ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الخَيْطُ الأَبْيَضُ مِنَ الخَيْطِ الأَسْوَدِ مِنَ الفَجْرِ))”

Dari Barra’ bin Azib beliau menceritakan, “dahulu para shahabat Nabi ketika puasa dan telah datang waktu berbuka puasa, apabila dia tidur sebelum berbuka puasa maka dia tidak makan di malam itu sampai hari berikutnya.

Salah seorang shababat Nabi bernama Qais bin Shirmah al-Anshari beliau berpuasa. Ketika datang waktu buka puasa, beliau datang kepada istrinya dan bertanya, “Apakah kamu punya makanan untuk kita makan?” “Tidak ada, tetapi saya akan mencarinya untukmu!” Jawab istrinya.

Hari itu Qais bekerja cukup lelah, sampai akhirnya ketiduran. Ketika istrinya datang, dia melihat suami tidur, “Wah, celaka!” Belum makan malah tidur duluan.

Karena belum makan malam itu, Qais akhirnya pingsan di hari berikutnya. Akhirnya hal itu dilaporkan kepada Nabi. Hingga turunlah ayat yang artinya: “Halal bagi kalian berhubungan badan ketika malam bulan Ramadhan.” Maka kaum muslimin saat itu sangat bahagia.

Akhirnya turun juga ayat yang artinya: “makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar.” (QS. Al-Baqarah: 187)

Sebagaimana hal itu juga terjadi pada Umar bin Khattab radhiyaAllah anhu. Dalam sebuah riwayat diceritakan:

رجع عمر بن الخطاب من عند النبي صلى الله عليه وسلم ذات ليلة، وقد سهر عنده فوجد امرأته قد نامت، فأرادها فقالت: إني قد نمت، قال: ما نمت ثم وقع بها، وصنع كعب بن مالك مثل ذلك، فغدا عمر إلى النبي صلى الله عليه وسلم فأخبره فأنزل الله تعالى:  {علم الله أنكم كنتم تختانون أنفسكم فتاب عليكم وعفا عنكم} البقرة: 187

Umar bin Khattab suatu malam pulang dari berkumpul dengan Nabi pada bulan Ramadhan. Sesampainya di rumah ternyata istrinya sudah tidur, padahal umar ingin berjima’ dengan istrinya malam itu. Istrinya berkata, “Saya sudah tidur tadi”. Maka Umar menjawab, kamu tidak tidur. Akhirnya Umar pun berjima’ dengan istrinya malam itu. Ka’ab bin Malik juga melaksanakan hal itu.

Maka keesokan harinya Umar mendatangi Nabi Muhammad dan menceritakan apa yang tadi malam terjadi. Maka turunlah ayat yang artinya: “Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi ma’af kepadamu.” QS. Al-Baqarah: 187. (Ahmad bin Hanbal w. 241 H, Musnad Ahmad, 25/ 86)

Periode Ringan: Boleh Makan Selama Belum Terbit Fajar Shubuh

Akhirnya puasa masuk kepada fase ringan. Dimana seseorang baru memulai puasa ketika sudah masuk fajar shubuh. Ketika malam hari, seorang muslim boleh makan, minum dan berjima’ dengan istrinya. Bahkan termasuk sunnah Nabi adalah mengakhirkan makan sahur.

Sebagaimana disebutkan dalam ayat al-Qur’an:

وكلوا واشربوا حتى يتبين لكم الخيط الأبيض من الخيط الأسود من الفجر ثم أتموا الصيام إلى الليل. البقرة :187

Makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam (QS. Al-Baqarah: 187)

Itulah beberapa fase pensyariatan puasa Ramadhan sampai yang kita jalankan saat ini.

Hanya saja, puasa yang sudah ringan ini ternyata memang masih saja ditinggalkan oleh sebagian kaum muslimin. Semoga bulan puasa Ramadhan kali ini menjadikan kita lulus sebagai orang yang bertakwa. Marhaban ya Ramadhan!

selengkapnya https://www.rumahfiqih.com

[zombify_post]

Ahmad Khalwani, M.Hum
Ahmad Khalwani, M.Hum
Penikmat Kajian Keislaman

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru