32.5 C
Jakarta

Propaganda Neo-Khawarij: Rumah Tahfiz dan Ustaz Milenial yang Berbahaya Bagi Kita

Artikel Trending

Milenial IslamPropaganda Neo-Khawarij: Rumah Tahfiz dan Ustaz Milenial yang Berbahaya Bagi Kita
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Ada pertanyaan menarik dari Ali A. Mazrui, profesor dari Universitas Binghamton AS, dalam chapter bukunya, Terrorism and The Global Image of Islam (2006: 95), sebagai berikut:

God chose the sacred land of Saudi Arabia as a ground and preeminent reservoir of oil for the human race. But has God also chosen Al-Qaeda as a saudi vanguard of a global jihad?

Dalam pandangan Mazrui, Arab Saudi memiliki peran besar dalam resistansi umat Islam terhadap hegemoni Barat. Al-Qaeda, kelompok teroris paling berbahaya di masanya, bagaimanapun tidak bisa dilepaskan dari Arab Saudi, meskipun Osama bin Laden tewas di Afghanistan. Barangkali apa yang dimaksud Mazrui adalah paham puritan yang keras menolak globalisasi menjadi asal-usul teroris. Mereka para aktor propaganda, neo-Khawarij.

Namun faktanya Arab Saudi tidak hanya menjadi genealogi terorisme. Mereka tidak hanya puritan, melainkan juga punya agenda puritanisasi. Dengan dana yang besar berkat kekayaan minyak, Arab Saudi mulai bergrilya ke seluruh penjuru, menyebarkan propaganda neo-Khawarij. Indonesia juga termasuk wilayah yang terkena jajahan ideologi Arab Saudi. Salafi-Wahabi yang kaya melakukan segalanya untuk menginvasi negeri kita ini.

Maka, di sini, saya ingin membuat pertanyaan yang kurang lebih sama dengan Mazrui di atas, dengan konteks yang berbeda:

Tuhan telah memilih Jazirah Arab sebagai tempat lahirnya Islam yang hari ini menjadi agama terbesar di Indonesia. Tetapi apakah Tuhan juga memilih Arab Saudi untuk menghancurkan dan memusnahkan kedamaian Islam di Indonesia?

Faktanya, rumah tahfiz yang hari ini sedang marak di Indonesia itu bukan tanpa kepentingan. Lebih parah lagi, ia bukan hanya soal kepentingan cuan, melainkan penyebaran ideologi. Dai-dai yang lagi tren juga kebanyakan bukan kaum pesantren yang memiliki kecintaan terhadap pluralitas di Indonesia. Di panggung-panggung kita, hari ini, banyak yang hanya jual gelar Timur Tengah, dan masyarakat mudah sekali tertipu oleh gelar-gelar tersebut.

Ini sama sekali tidak menstigmatisasi rumah tahfiz. Bukan pula memojokkan ustaz milenial. Nanti akan saya perjelas pembahasannya. Yang jelas, propaganda neo-Khawarij ini sangat nyata di dekat-dekat kita, sehingga mendesak untuk dibahas. Apalagi, dalam propagandanya, mereka memakai jasa influencer.

Neo-Khawarij dan Influencer

Bermula dari scroll beranda Instagram, saya menemukan iklan yang isinya sama persis tapi bintangnya berbeda. Taruhlah si A, ia seorang tokoh yang tengah digemari milenial. Dirinya sangat intens melakukan endorse, mulai dari berkedok wakaf, amal jariyah, dan lain-lain. Mereka menampilkan video-video menggugah yang bisa menghipnotis orang untuk ikut menyumbang tanpa menyadari bahaya di balik semua propaganda tersebut.

Tidak hanya itu, salah satu di antara influencer tersebut adalah seorang ustaz. Ia mempromosikan suatu produk, misalnya mushaf Al-Qur’an. Sepintas, itu sangat baik, dan saya tidak menuduh itu sebagai keburukan. Namun, saya melihat: apa yang ada di balik agenda itu? Ternyata ujung-ujungnya adalah puritanisme agama. Kemudian saya melihat lagi bahwa para selebritas dan ustaz yang endorse adalah mereka yang dekat dengan Salafi-Wahabi. Miris.

Neo-Khawarij berkali-kali dibongkar kebusukannya oleh, salah satunya, Ustaz Arrazy Hasyim. Tapi apa yang terjadi selanjutnya benar-benar di luar dugaan. Ustaz Arrazy diserang dengan cemoohan semacam “Bukan alumni Timur Tengah,” “Cuma lulusan Ciputat,” “Ustaz anti sunnah,” dan sebagainya. Tiga cemoohan tadi memang mewakili mereka. Para neo-Khawarij memang gemar pamer gelar ala Arab Saudi, karena memang mereka para dedengkot Wahabi.

BACA JUGA  Kapitalisme: Jurus Aktivis Khilafah untuk Mendegradasi NKRI

Di atas semua gelar Timur Tengah yang mereka jual di akhir nama-namanya, ada sesuatu yang jauh lebih buruk: mengajarkan eksklusivisme berkedok cinta Al-Qur’an dan sunnah. Parahnya, semua orang percaya. Maksudnya, tidak sedikit yang terpengaruh oleh propaganda tersebut. Di sini kemudian penting melihat rekam jejak mereka, bagi orang tua yang ingin memondokkan anak-anaknya. Rumah tahfiz tidak selalu baik, karena tidak sedikit yang sudah disusupi antek Khawarij yang notabene anak turunan teroris.

Karenanya, agar terhindar dari propaganda neo-Khawarij yang beraksi melalui kepolosan influencer, ada dua hal yang bisa kita lakukan. Pertama, cari rumah tahfiz yang tepat. Banyak pesantren di Indonesia yang sudah jelas mazhabnya, yang juga menyediakan pondok tahfiz. Mereka punya sanad dan bukan hanya menghafal belaka tanpa guru dan mazhab yang jelas, dan yang penting, tanpa agenda tersembunyi yang bisa merusak akidah seperti neo-Khawarij.

Kedua, mencari ustaz yang alim dan faqih. Banyak yang alim, termasuk juga para neo-Khawarij itu, yang hafal kitab. Namun mereka tidak faqih, sehingga ke sana-sini jual asongan kafir, bid’ah, murtad, neraka jahannam, dan lainnya. Jangan sampai semua santri terperosok kepada ustaz yang kepalang merasa saleh sendiri dan yang lain bid’ah dan murtad. Islam Indonesia sudah pas, neo-Khawarij harus diberantas sarangnya

Perubahan Arus Islam Indonesia

Kembalinya eksklusivisme beragama, atau yang dikenal sebagai concervative turn, tengah marak. Keberislaman semacam ini menghapus total tradisi lama yang baik, menghapus local wisdom keislaman kita dan bahkan menuduhnya sebagai bid’ah yang sesat dan lepas dari ajaran Islam. Namun perlu disadari, mereka tidak bergerak sendiri dan ujug-ujug nemu jemaah dan pengikut. Ada triknya, mereka menebar yang namanya propaganda.

Popaganda tadi bahkan merasuki sesuatu yang sangat baik, yaitu rumah tahfiz. Di Indonesia yang sudah lama punya pesantren, rumah tahfiz merampasnya dengan metode yang lebih praktis, sehingga banyak orang tua langsung kepincut mentahfizkan puta-putri mereka. Penggalangan dana untuk bangun rumah tahfiz pun didapat melalui tangan-tangan influencer tadi. Mereka bergerak masif seperti teroris mencari dana melalui amal jariyah berkedok santunan yatim-dhuafa.

Yang luput dari perhatian orang tua adalah akidah sang anak. Pokoknya si anak harus hafal Al-Qur’an, masa bodoh dengan akidahnya. Akhirnya setelah lulus, sang anak menjadi penghafal Al-Qur’an tapi bersamaan dengan itu ia suka membid’ahkan dan mengafirkan orang. Menjadi sangat anti dengan tradisi zikir setelah shalat karena merasa bid’ah. Hafalannya terhadap Al-Qur’an hanya di lidah, tapi hatinya ada di lubuk jahanam. Miris.

Propaganda neo-Khawarij sangat berbahaya bagi kita, juga bagi nuansa Islam Indonesia di masa depan. Akan terjadi perubahan besar-besaran terhadap Islam Indonesia dua dasawarsa yang akan datang, karena anak-anak hasil rumah tahfiz milih neo-Khawarij tadi. Seseorang boleh percaya tau tidak, tetapi arus keislaman kita tengah digerus oleh mereka para Khawarij.

Sekarang, jika Anda seorang bapak atau ibu yang punya anak hafal Al-Qur’an, tapi setelah lulus anak Anda suka kopar-kapir sana sini. Dan setelah Anda wafat, Anda tidak akan dikirimi doa karena dianggap bid’ah, apakah Anda mau? Kalau saya, mending anak saya tidak hafal Al-Qur’an kalau harus hasil produk neo-Khawarij dengan propaganda tahfiznya.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru