32.9 C
Jakarta

Propaganda Klepon, Label Islami, dan Kebodohan Religius

Artikel Trending

Milenial IslamPropaganda Klepon, Label Islami, dan Kebodohan Religius
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Mendadak, klepon menjadi trending di jagat media sosial. Beranda Facebook, Instagram, dan terutama Twitter, penuh meme dan cuitan lucu, cemooh, saling tuding, tentang makanan khas Nusantara tersebut. Mula-mula, keramaian ini dipancing melalui sebuah gambar klepon dengan tulisan begini:

KUE KLEPON TIDAK ISLAMI. Yuk tinggalkan jajanan yang tidak islami dengan cara membeli jajanan islami, aneka kurma yang tersedia di toko syariah kami… [Abu Ikhwan Aziz]

Tidak jelas siapa Abu Ikhwan Aziz, di mana rumah, toko kurma, atau apa nama akun-akun media sosialnya. Karenanya, di Twitter setidaknya ada tiga kata trending: klepon, Abu Ikhwan Aziz, bahkan tagar #crot. Rata-rata cuitan tentang klepon adalah menyanggah meme yang beredar. Cuitan tentang Abu Ikhwan Aziz adalah mencari jejak digitalnya, sementara tagar #crot adalah bentuk nyinyir netizen.

Yang tengah ramai itu kemudian menimbulkan spekulasi yang jauh di kalangan netizen. Ada yang bilang, itu sengaja memancing respons reaktif orang-orang untuk dicap islamfobia. Tidak sedikit yang meyakini itu ulah si kadrun—hinaan untuk siapa pun yang ke-Arab-Arab-an—untuk kepentingan industri syar’inya. Juga, ada yang, termasuk saya, malah bertanya: sekalipun itu hoax, kenapa yang seperti itu bisa terjadi?

Pertanyaan terakhir ini jauh lebih penting dari sekadar menanyakan, apakah gambar tersebut benar atau hoax. Katakanlah itu propaganda karena ternyata Abu Ikhwan Aziz tidak ada, maka bukankah tetap timbul keheranan, mengapa propaganda tersebut dibuat, dan bagaimana bisa umat Islam dipancing, mudah terpancing untuk saling menuduh tentang keislamian mereka? Di sini, tampak ada yang tidak beres.

Boleh jadi, pertama, ini terjadi karena ada yang bermasalah dengan label islami di negeri kita. Bisa juga, kedua, karena kebodohan religius, yaitu dangkalnya pemahaman agama: tampak religius, padahal bodoh. Kemungkinan pertama memantik ide provokator untuk melakukan provokasi antarumat. Hasilnya, misal ketika persoalan klepon itu direpost akun Instagram @ala_nu.

Sementara, kemungkinan kedua tadi, menyuguhkan fakta akan eksploitasi Islam: bahwa dalam kepentingan apapun, label islami menjadi bungkus penglaris.

Islami Telah Dieksploitasi

Ada dua jenis kepentingan yang sangat menjijikkan di semesta ini: industri dan politik. Kepentingan industri akan memanipulasi, mengeksploitasi apa saja, begitu pula dengan kepentingan politik. Islam sebagai agama, dan islami sebagai simbol religius, adalah alat belaka. Para taipan industri dan konglomerat politik bermain wadah, mengais keuntungan saku mereka masing-masing, di baliknya.

Terlepas dari kemungkinan bahwa isu klepon sengaja diciptakan oleh buzzeRp, kita tidak menafikan fakta bahwa label islami, hari ini, cukup populer. Baik itu di ranah industri maupun di ranah politik yang memang sejak dahulu. Hijab syar’i adalah satu contoh dari  industrialisasi syariah, setali tiga uang dengan isu klepon. Syariah, islami, merupakan korban para pengais profit belaka. Itu dalam konteks industri.

Beda lagi dalam konteks politik. Orang-orang, utamanya umat Islam, digiring untuk meng-islami-kan segala yang berasal dari Arab, atau dari tatanan masa lalu mereka, sekalipun itu murni dan jelas-jelas soal politik. Misalnya, demokrasi dianggap thaghut karena berasal dari Barat. Dan khilafah ala Hizbut Tahrir digaungkan, dianggap bagian dari syariat Islam, bahkan dianggap ajaran Nabi Saw.

BACA JUGA  Menguji Konsistensi Etika dan Toleransi Muslim Indonesia

Kesamaan konteks antara kepentingan industri dengan politik selaiknya membuat kita berpikir jernih, bahwa khilafah ala Hizbut Tahrir yang berusaha ditegakkan di negeri ini, sama buruknya, sama naifnya, dengan isu klepon. Semua hanya permainan belaka. Pula bahwa kecenderungan ke-Arab-Arab-an kita dimanfaatkan oleh segelintir pihak, untuk memuluskan agenda mereka sendiri.

Gamblangnya, kurma dianggap islami karena berasal dari Arab, dan khilafah ala Hizbut Tahrir dianggap islami karena konon diajarkan Nabi, diterapkan para raja Islam sehingga meraih kejayaan di masa lalu. Lalu ada spirit ingin menegakkan khilafah ala ideologi mereka lagi. Sekalipun argumen disuguhkan, bahwa mereka licik, khilafah Islam tidak demikian, masyarakat masih tidak sedikit yang memercayainya.

Mudah saja, kasus klepon bisa ditarik kepada fakta indoktrinasi ala dedengkot Hizbut Tahrir. Bedanya, isu klepon besar kemungkinan hoax. Sementara penolakan Islam Nusantara dan penggaungan khilafah jelas pelakunya: mereka para manipulator Islam.

Klepon Mirip Islam Nusantara

Islam Nusantara banyak ditentang, bahkan moderasi Islam sebagai sumber primernya dianggap sebagai produk orang kafir untuk melemahkan umat Islam. Ini dituturkan oleh Ismail Yusanto, dedengkot Hizbut Tahrir Indonesia. Ia juga mempertanyakan dalil moderasi dalam al-Qur’an, yang semakin memperlihatkan bahwa dirinya sama sekali tidak punya basis keislaman yang mumpuni, kecuali bahwa dia adalah politikus buruk berjaket ‘Islam’ melalui agenda khilafahnya.

Label islami melekat pada agenda khilafah mereka, sedangkan Islam Nusantara dijelek-jelekkan sedemikian rupa. Kebodohan religius di kalangan masyarakat bertambah semarah, dan kelak para aktivis khilafah tertawa sebab keberhasilannya menipu rakyat dan mengeksploitasi agama. Sebagaimana beruntungnya pemilik industri kurma dengan menjelekkan klepon, para aktivis politik khilafah menang banyak untung dengan menjelekkan sistem pemerintahan lokal dan mendelegitimasi pemerintah.

Mulai sekarang, dalam rangka meminimalisir kebodohan religius semacam itu, maka selaiknya Islam tidak dipahami sebatas batangnya saja. Juga, selaiknya label islami tidak menjadikan kita mudah ditipu para konglomerat industri dan politik. Dan yang terpenting ialah, memfilter segala isu, agar tidak mudah terprovokasi dengan isu sampah seperti klepon yang tengah viral.

Klepon tetaplah klepon, dan kurma tetaplah kurma. Tidak ada yang islami atau non-islami antara kedunya, yang ada adalah halal atau haram. Begitu juga, Islam Nusantara tetaplah Islam, dan khilafah tetaplah politik. Tidak ada yang lebih islami dari keduanya, yang ada adalah membahayakan NKRI atau tidak. Oleh karena khilafah berbahaya terhadap persatuan, maka ia wajib ditentang. Khilafah bukan syariat, sebagaimana kurma lantas dianggap islami. Kalau berpotensi memecah-belah negeri, itulah yang mesti dibakar-hanguskan.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru