27.3 C
Jakarta

Propaganda HTI di Lapas; Upaya Menyeret Narapidana Jadi Begundal Khilafah

Artikel Trending

Milenial IslamPropaganda HTI di Lapas; Upaya Menyeret Narapidana Jadi Begundal Khilafah
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Berita buruk datang dari Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) di beberapa daerah di Indonesia. Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) merasuki mereka dan menebarkan propagandanya di sana. Kabar buruknya lagi, itu terjadi tidak hanya baru-baru ini, tetapi sudah sejak beberapa tahun lalu. Bagaimana mungkin pihak Lapas teledor untuk memfiltrasi HTI? Apa yang para narapidana terima dan bagaimana nasib mereka hari ini? HTI tengah mencetak mereka semua jadi begundal khilafah.

Pada 25 April 2019, Lapas Kelas III Gunung Sindur bekerja sama dengan Yayasan Cinta Qur’an Foundation menggelar pelatihan baca Al-Qur’an melalui program Indonesia Bisa Baca Al-Qur’an (IBBQ) di Aula Gedung III dan Aula Balai Latihan Kinerja (BLK) Lapas Gunung Sindur. Kepala Lapas Gunung Sindur, Sopiana menerangkan, pelatihan tersebut diikuti oleh 50 Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) yang masih buta huruf dan tidak bisa baca Al-Qur’an. Melalui yang dipakai adalah Metode Tahrir.

Pada 13 Mei 2019, Lapas Kelas III Cilegon menggelar pelatihan baca Al-Qur’an yang juga bekerja sama dengan Yayasan Cinta Qur’an Foundation melalui program IBBQ. Pelatihan bertempat di Masjid Al-Muhajirin dan Aula Gedung II Lapas Cilegon dan berlangsung selama enam jam bersama empat trainer dari Cinta Qur’an Foundation. Peserta berjumlah 50 orang dibagi dua kelas, dan seperti di Lapas Gunung Sindur, metode yang digunakan adalah Metode Tahrir.

Empat hari setelahnya, 17 Mei 2019, Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) Tangerang melaksanakan kegiatan belajar Al-Qur’an bersama Yayasan Cinta Al-Qur’an. Kegiatan tersebut diikuti 50 Anak LPKA Tangerang dengan Metode Tahrir. Seperti dua pelatihan yang disebutkan sebelumnya, misi pelatihan tersebut adalah untuk menjadikan Al-Qur’an sebagai pola hidup IBBQ. Dan tentu saja, trainer berasal dari Cinta Qur’an Foundation—yayasan milik petinggi HTI, Fatih Karim.

Pada 11 Maret 2020, bertempat di Lapas Kelas IIB Purwakarta, kegiatan pelatihan baca tulis Al-Qur’an melalui Metode Tahrir digelar di Musala At-Taubah dan Aula Serbaguna Dr. Sahardjo. Kegiatan tersebut diikuti 50 orang WBP dengan empat pemateri dari Yayasan Cinta Al-Qur’an. Pada November 2020, Metode Tahrir kembali dipakai dalam pelatihan baca Al-Qur’an WBP Lapas Kelas II B Bondowoso. Dan pada Juni 2021, kegiatan serupa juga digelar di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Cilegon.

Enam contoh di atas jelas hanya secuil gunung es propaganda HTI di Lapas. Terbaru, di Lapas Narkotika Cirebon, Yayasan Cinta Qur’an Foundation juga menggelar kegiatan pelatihan baca Al-Qur’an dengan Metode Tahrir. Apa yang salah dengan metode tersebut? Mengapa pelatihan baca Al-Qur’an dipersoalkan, ini menarik diulas. Premisnya, setiap kegiatan HTI mustahil nir-kepentingan atau tak punya misi tertentu. Apa yang terselubung di situ adalah fakta yang menarik diungkap ke publik.

Metode Tahrir

Metode tahrir adalah metode cepat membaca Al-Qur’an untuk semua golongan usia. Metode yang digunakan dengan bercerita, karena bercerita lebih mudah diingat dan dipahami. Sebagai contoh, kalimat “saya bertamasya”. Kalimat tersebut lalu disajikan dengan menggabungkan huruf-huruf hijaiah, yaitu huruf tsa dan ya untuk kata saya, serta huruf ba, ra, ta, ma, dan sya untuk bertamasya. Huruf-huruf tersebut diberi baris di atasnya.

Secara metodis, ia cocok untuk kalangan awam, orang yang masih buta huruf namun punya ghirah untuk belajar baca Al-Qur’an. Masalahnya adalah, kenapa namanya harus Metode Tahrir? Secara harfiah, tahrir berarti pembebasan. Konotasi maknanya mengarah pada nomenklatur HTI dan misi besar mereka, yakni membebaskan negara dari sistem thaghut dengan mendirikan khilafah. bukankah dengan demikian, secara penamaan, Metode Tahrir sudah laik dipersoalkan?

BACA JUGA  Meningkatkan Suluh Puasa dengan Menutup Pintu Radikalisme

Itu satu. Kedua, Metode Tahrir sangat kentara sebagai strategi indoktrinasi. Caranya adalah mencekoki para narapidana dengan kata “tahrir”, membuat mereka cinta pada nama tersebut karena dianggapnya metode baca Al-Qur’an, sehingga nanti setelah keluar dari Lapas, nama tahrir terekam dalam mindset mereka sebagai ‘sesuatu yang baik’. Itu adalah awal bencana karena kelak, mereka akan jadi pembea gerakan Hizbut Tahrir, dan jadi begundal khilafah itu sendiri.

Ketiga, Yayasan Cinta Qur’an Foundation sama sekali tidak menggunakan nama Metode Tahrir secara kebetulan. Itu adalah bagian dari sistem propagandis. Ini bisa dilacak dengan dua cara, yakni pendiri yayasan tersebut dan latar belakangnya serta bentuk logo Metode Tahrir yang mirip logo HTI selama ini. Dengan demikian, antara Metode Tahrir, Cinta Qur’an Foundation, dan para tokoh di balik keduanya, bisa dipastikan berasal dari satu lumbung: HTI.

Keempat, Metode Tahrir hanya ada di Lapas. Ini semakin memperjelas bahwa metode terebut adalah bagian dari propaganda bawah tanah HTI. Artinya, ia tidak dipakai di luar Lapas karena kondisinya tidak aman. HTI tidak mungkin ambil risiko dengan memasyarakatkan Metode Tahrir bagi masyarakat umum karena itu sama saja dengan bunuh diri. Maka jelas, tujuan utama Metode Tahrir adalah membangun para pecinta Hizbut Tahrir dari kalangan narapidana. Napi khilafahers, istilahnya.

Napi Khilafahers

Napi khilafahers adalah para narapidana yang otaknya sudah dicuci oleh para aktivis HTI dan siap jadi begundal khilafah ketika mereka bebas dari penjara. Lalu mengapa Lapas kecolongan? Kemungkinannya dua. Pertama, di Lapas, ada agen-agen HTI yang jadi petugas untuk kemudian melancarkan aksinya: berkoordinasi dengan agen HTI di luar Lapas, terutama yang ada di Yayasan Cinta Qur’an Foundation. Jadi progam latihan baca Al-Qur’an tersebut tidak lain adalah taktik penjajakan idelogi belaka.

Kedua, minimnya pengetahuan Lapas tentang HTI. Selain menjemukan, kehidupan di Lapas terkesan terisolir dari khalayak umum. Satu sisi, kondisi seperti itu akan memancing aktivis HTI jualan ideologi ke dana karena tidak akan tersorot publik, sementara di sisi lainnya para petugas lapas sangat jauh dari ilmu-ilmu keagamaan bahkan diskursus agama itu sendiri. Dua sisi tersebut saling berkelindan sehingga Yayasan Qur’an Foundation dan Yayasan Indonesia Bisa Ngaji bebas masuk tebarkan ajarannya.

Namun melihat beberapa faktor, yang terakhir tadi lebih memungkinkan mengapa propaganda HTI di Lapas terjadi. Artinya, orang-orang Lapas baik petugas maupun WBP hanyalah korban dari gerakan masif HTI menjajakkan ideologi mereka. Awalnya diajari baca Al-Qur’an, kemudian mereka dibuat sangat cinta dengan Metode Tahrir. Setelah semuanya selesai, para napi akan diajari tentang dasar-dasar Islam sesuai doktrin HTI. Dari situlah lahir napi khilafahers, yakni narapidana begundal khilafah.

Lalu siapa para dedengkot di balik Yayasan Cinta Qur’an Foundation dan Indonesia Bisa Ngaji? Bagian-bagian tersebut dan yang berhubungan dengan gerakah HTI secara umum akan dibahas pada bagian yang akan datang. Insyaallah.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru