Harakatuna.com – Kemarin siang, saya mengikuti acara Pusat Media Damai, peluncuran e-journal PMD BNPT RI. Dalam forum tersebut, hadir Prof. Irfan Idris, Direktur Pencegahan. Ia mempresentasikan tentang strategi pencegahan arus FTF di tengah glorifikasi kemenangan HTS Suriah. Hadir juga Hendro Wicaksono, Kasubdit Kontra-Propaganda BNPT, Suaib Tahir selaku Tenaga Ahli Kontra-Propaganda, serta Budi Hartawan, Analis BNPT yang menguraikan strategi kontra-narasi.
Menurut Prof. Idris, hari ini, tengah ada glorifikasi HTS yang cukup masif di Indonesia. Sejak rezim Assad tumbang di Suriah, sporadis kaum radikal—seperti para ikhwan JI pasca-bubar—memanfaatkan HTS sebagai inang narasi propaganda. Padahal, kata Prof. Idris, HTS sendiri boleh jadi tak tahu mereka dimanfaatkan oleh eks-JI dan lainnya. Toh, dalam beberapa konferensi pers, Al-Jaulani juga mau fokus ke Suriah ketimbang agenda utopis ‘Daulah’.
Ada tiga residu glorifikasi HTS di Indonesia, yang diuraikan Prof. Idris. Pertama, memperkaya rekrutmen. Kedua, semakin agresifnya propaganda. Ketiga, simpati global. Ketiganya perlu diatensi untuk dikonter secara intensif; tak boleh dibiarkan. Jika tidak, maka glorifikasi tersebut akan berkembang menjadi aksi-aksi destruktif. Teror, di antaranya. Untuk itu, sesegera mungkin, glorifikasi HTS yang agresif mesti ditenggelamkan bersama.
Apakah HTS satu-satunya yang bergerilya di NKRI? Jelas tidak. Kelompok radikal yang tak kalah masif ialah HTI. Propagandanya sama dengan yang sudah-sudah, yakni soal khilafah; khilafah palsu buatan HTI itu sendiri. Lantas, mengapa HTI maupun HTS niscaya untuk ditenggelamkan? Ini pertanyaan yang menarik. Gema-gema HTS dan HTI mewariskan satu hal, yaitu agresifnya propaganda dan glorifikasinya di tengah masyarakat.
Gema Propaganda HTI dan Glorifikasi HTS
Benarkah khilafah berakhir pada tahun 1924? Benarkah Barat menghancurkan kejayaan Islam dengan meruntuhkan khilafah? Pertanyaan ini, yang selalu diajukan tanpa pengertian historis mendalam, perlu dijawab dengan kejujuran. Faktanya, Renaisans Eropa terjadi sekitar abad ke-14 hingga ke-17, empat abad sebelum Turki Utsmani runtuh. Saat Al-Fatih menaklukkan Konstantinopel, sistem kenegaraan Kekaisaran Romawi Timur pun tidak berbentuk negara-bangsa.
Renaisans adalah langkah Eropa menuju kemajuan dan modernitas, melampaui batas-batas kekuasaan teokrasi atau monarki absolut. Lantas, apakah Turki Utsmani yang disebut sebagai kekhilafahan itu benar-benar menjalankan sistem khilafah? Tidak. Yang mereka jalankan adalah monarki-dinasti. Artinya, pada 1924, yang dibubarkan bukanlah khilafah Islam, melainkan monarki di dunia Islam yang telah bercokol selama sepuluh abad.
Namun, bagi HTI dan para simpatisannya, Felix Siauw misalnya, fakta semacam itu tak penting. Mereka membangun wacana khilafah atas kebutaan sejarah dan nafsu ingin berkuasa saja. Mereka memanfaatkan sentimen kejayaan Islam untuk menyebarkan ilusi khilafah yang ahistoris. Dan, seperti biasa, upaya meluruskannya kerap berakhir sia-sia—karena bagi mereka, doktrin adalah kebenaran mutlak yang tak lagi dapat diinterupsi.
Pada saat yang sama, di Suriah, HTS telah menandai babak baru narasi khilafah. HTS berhasil menggulingkan rezim Bashar Assad setelah bertahun-tahun konflik brutal. Namun, apakah keberhasilan itu benar-benar akan membawa kejayaan Islam seperti yang mereka gembar-gemborkan? Tidak ada yang dapat menyangkal bahwa Suriah kini berdiri di atas reruntuhan, dengan luka traumatis mendalam di hati rakyatnya.
Indoktrinasi khilafah ala HTI di Indonesia tidak berbeda jauh. Mereka terus bergerak, menambah massa, memupuk kebencian terhadap NKRI, sambil menciptakan angan-angan tentang pemerintahan Islam global—one ummah. Jika momentum itu tiba, apa yang akan terjadi? NKRI bukanlah negara yang kebal perpecahan. Karenanya, propaganda HTI dan glorifikasi HTS tak dapat dibiarkan dan mesti segera diberangus. Jika tidak, maka mereka akan memusnahkan persatuan bangsa seutuhnya.
Melawan Semakin Agresifnya Propaganda HTI dan HTS
Propaganda adalah senjata paling ampuh untuk membunuh nasionalisme masyarakat. HTI dan HTS memahami itu dengan sangat baik. Narasi yang mereka bangun berbicara tentang keadilan, keberanian melawan penindasan, dan pembebasan umat Islam dari cengkeraman Barat atau pemerintah thaghut. Padahal, secara historis, sistem yang mereka dambakan tak pernah benar-benar ada dalam bentuk yang mereka klaim.
Lebih parah lagi, mereka mengabaikan fakta bahwa masyarakat Indonesia yang beragam ini tidak bisa dipaksa untuk tunduk pada satu pandangan ideologis yang sempit. Namun, yang paling mengkhawatirkan adalah simpati global yang mulai terbentuk terhadap HTI dan HTS secara terus-menerus. Awalnya boleh jadi berupa simpati saja, namun lambat-laun tumbuh menjadi pintu masuk bagi radikalisasi yang dalam hingga jadi terorisme.
Mencegah simpati global terhadap HTI dan HTS bukanlah tugas mudah. Dunia digital telah membuat propaganda mereka semakin tak terbendung, menyusup hingga ke ponsel-ponsel pribadi lewat algoritma yang memperkuat bias. Masyarakat tak lagi berbicara tentang peperangan fisik, melainkan perang narasi. Langkah pertama yang perlu diambil adalah melawan propaganda mereka dengan narasi yang kuat dan berbasis fakta. Contohnya yang Harakatuna lakukan selama ini.
Langkah kedua adalah menguatkan literasi digital, terutama di kalangan generasi muda. Dan terakhir, dunia internasional perlu memahami bahwa HTS di Suriah dan HTI di Indonesia bukanlah representasi Islam. Mereka adalah agenda politik yang menyamar dalam jubah Islam. Dukungan yang diberikan atas nama simpati kepada perjuangan khilafah dan Daulah—kendati terlihat mulia—sebenarnya merupakan kesalahkaprahan yang tak semestinya terjadi.
Di masa depan, jika propaganda HTI dan glorifikasi HTS semakin agresif di NKRI, bukan tidak mungkin fragmentasi akan terjadi; konflik yang berakar dari salah tafsir agama dan sejarah menyeruak. Maka, tak ada cara lain: tenggelamkan! Perlawanan harus dilakukan sekarang, dengan cerdas, terstruktur, dan penuh kesadaran bahwa apa yang dipertaruhkan bukan stabilitas NKRI saja, tetapi juga masa depan peradaban Islam seluruhnya.
Wallahu A’lam bi ash-Shawab…