25.7 C
Jakarta
Array

Propaganda Gaya Nazi dan Matinya Kepakaran

Artikel Trending

Propaganda Gaya Nazi dan Matinya Kepakaran
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Paul Joseph Goebbels dikenal dunia sebagai propagandis – ahli propaganda – yang ulung. Joseph Goebbels adalah tokoh Nazi, pendukung utama Adolf Hitler juga merupakan pendukung gerakan anti-Semit yang aktif.

Sebagai ahli pidato dan propaganda, dia dianggap bertanggung jawab dalam membangun citra positif bagi rezim Nazi – yang menyebabkan enam juta warga Yahudi di Eropa terbunuh selama Perang Dunia II.

Dialah pakar propaganda yang mempopulerkan frasa “Argentum ad nausem” atau lebih dikenal sebagai teknik “Big Lie” (Kebohongan Besar). Prinsip dari tekniknya itu adalah menyebarluaskan pernyataan dan berita bohong melalui media massa – sebanyak mungkin dan sesering mungkin – hingga kemudian kebohongan tersebut dianggap sebagai suatu kebenaran.

Di Amerika Serikat, Donald Trump sudah menerapkan dan membuktikannya. Dan dia sukses.

Beberapa waktu lalu, di DKI Jakarta juga dikobarkan frasa “penista agama” yang dilanjutkan dengan demo berjilid jilid, yang menjatuhkan Basuki Tjahaja Purnama dari kursi gubernur, hingga dia diadili dan Ahok masuk bui. Sukses!

MODUS yang sama nampaknya kini sedang dikembangkan dalam kampanye Pilpres 2019 ini. Contohnya, frasa “PKI Bangkit Lagi”, “Kriminalisasi Ulama”, “Rakyat Makin Susah”, “Rezim Antek Asing dan Antek Aseng”, “Pemerintah Meminggirkan Umat Islam” dan seterusnya.

Kalau hari hari ini, Anda dengar berita bohong yang diulang ulang dari capres dan cawapres tertentu, “90 persen orang Indonesia hidup pas-pasan”, “Indonesia akan punah”, “Indonesia setingkat negara Afrika”, “Bila kami terpilih, hutang luar negeri lunas”, “Bangun tol tanpa hutang” – jangan kaget. Itu bukan pernyataan kebodohan dan kekeliruan, melainkan, patut diduga, merupakan kesengajaan – by design – bagian dari siasat, taktik, ‘produk ilmiah’ cara propaganda model Nazi yang efektif.

Joseph Goebbels mengajarkan: “Kebohongan yang diulang seribu kali akan menjadi kebenaran – jika Anda mengulangi kebohongan, banyak orang yang akan menerimanya – dan bahkan Anda akan melakukannya untuk diri sendiri”.

“Kebohongan dapat dipertahankan untuk sementara waktu seperti negara dapat melindungi rakyat dari konsekuensi kebohongan politik, ekonomi dan atau militernya. Karena itu menjadi sangat penting bagi negara untuk menggunakan semua kekuatannya untuk menekan perbedaan pendapat, karena kebenaran adalah musuh bebuyutan dari kebohongan, dan dengan demikian, kebenaran adalah musuh terbesar negara,” katanya.

Joseph Goebbels meyakini, “Tidak ada gunanya berusaha meyakinkan para intelektual. Karena para intelektual tidak akan pernah yakin dan hanya akan menyerah pada (kekuasaan) yang lebih kuat, “ katanya.

Karenanya, dia memilih kampanye untuk dan ikut gaya orang jalanan. “Argumen harus kasar, jelas dan memaksa. Menarik emosi dan naluri. Bukan kecerdasan, “ tegasnya.

“Kebenaran tidak penting dan (kampanye) sepenuhnya tunduk pada taktik dan psikologi” tambahnya.

“Kebohongan akan berjalan dengan baik jika yang menyampaikan penuh percaya diri” jelasnya

Sederhana namun mematikan!

Sebagai seorang propagandis, Goebbels banyak disegani oleh para ilmuwan, bahkan hingga sekarang. Itu karena ia dianggap sebagai pelopor dan pengembang teknik propaganda modern.

Goebbels menjadi orang ketiga yang paling populer di Jerman setelah Sang Führer Adolf Hitler dan Martin Bormann.

Joseph Goebbels bergabung secara resmi dengan Nazi pada tahun 1924. Oleh Hitler, pria kelahiran 29 Oktober 1897 di Rheydt distrik Ruhr -Jerman ini, diberi posisi kunci sebagai ‘Menteri Propaganda Nazi’. Dia merupakan ‘Reich Ketiga’ di Jerman di bawah Adolf Hitler

Ia juga mempelopori penggunaan film dan siaran radio sebagai media propaganda massal. Dengan menggunakan film dan radio gelombang pendek yang mampu menjangkau berbagai belahan bumi, dialah yang menyebarluaskan doktrin Nazi.

LAHIR 29 Oktober 1897, Rheydt, Jerman, Joseph adalah anak ketiga dari lima bersaudara Friedrich Goebbels, seorang pegawai pabrik, warga Katolik Roma yang saleh, beristerikan Katharina Maria Odenhausen. Ia memiliki empat saudara yaitu Konrad, Hans, Elisabeth, dan Maria.

Orang tuanya memberinya pendidikan sekolah menengah dan juga membantu mendukungnya selama lima tahun studi sarjana. Dia dibebaskan dari dinas militer selama Perang Dunia I karena kakinya ‘pengkor’ (diduga akibat tertular polio semasa kanak-kanak), yang kemudian memungkinkan musuh-musuhnya untuk menyejajarkan diri dengan kuku kaki yang terbelah dengan sebutan untuknya, “Si Pincang Iblis”.

Pada November 1926, Hitler mengangkatnya sebagai pemimpin distrik di Berlin. NSDAP atau Partai Nazi, telah didirikan dan dikembangkan di Bavaria. Goebbels mengambil untung dari konflik antara faksi antikapitalis ‘sayap kiri’ dari NSDAP – dengan pemimpin partai ‘sayap kanan’ Hitler.

Pada 1928 Hitler memberi jabatan editor ‘Das Reich’ kepadanya dan antara tahun 1940 hingga 1945, Goebbels menjabat sebagai Direktur Propaganda NSDAP untuk seluruh Jerman.

Pada saat inilah, Goebbels mulai menciptakan mitos Führer di sekitar orang Hitler dan untuk melembagakan ritual perayaan partai dan demonstrasi yang memainkan peran menentukan dalam mengubah massa menjadi Nazisme. Selain itu, ia menyebarkan propaganda dengan melanjutkan jadwal pidatonya yang ketat.

Seperti para petinggi Nazi, akhir karir Goebbels berlangsung tragis. Ketika Hitler menetapkan untuk bunuh diri saat menyadari perang akan berakhir, dia menunjuk Goebbels untuk menggantikannya sebagai kanselir dan Grand Admiral Karl Donitz sebagai presiden.

Namun, setelah Hitler tewas, Goebbels kehilangan kepercayaan diiri. Dengan dalih kesetiaan dan menolak berkhianat, sehari kemudian ia menemui Traudl Junge, salah seorang sekretaris Hitler dan menulis surat wasiat yang isinya menolak penunjukkan dirinya sebagai kanselir.

Selanjutnya, setelah Magda, istrinya, membius dan memberi pil sianida pada keenam anaknya (paling tua 12 tahun, paling muda 4 tahun), ia memerintahkan kepada sepasukan SS untuk menembak mereka berdua di kebun tempat Hitler dikremasi dan kemudian meminta jenazah mereka dibakar.

Perintah itu dilaksanakan. Namun sebelum tubuh mereka habis terbakar, bom-bom dari pasukan Rusia keburu menghunjam ke sekitar mereka.

DI PONDOK INDAH MALL, Jakarta Selatan, pekan lalu, menjelang tutup tahun 2018, empat “pinisepuh” ngumpul dan ‘kongkow’ di TB Gramedia, toko buku yang kini menyediakan cafe, kami dihadang oleh pajangan buku menarik. Judulnya “Matinya Kepakaran – The Death of Expertise: Perlawanan terhadap Pengetahuan yang Telah Mapan dan Mudaratnya” karya Tom Nichols (2017).

Bersama kami ada Judi Kristianto, Mas Dwi dan Wina Armada SA, senior saya. Langsung saya ingatkan kepada Mas Wina tentang topik itu, yang pernah dibawakan oleh Bre Redana, wartawan ‘Kompas’, pengamat budaya, cerpenis dan novelis dalam workshop kritik film beberapa bulan lalu.

Bre Redana menyatakan, di era internet ini, kepakaran sudah tidak diperlukan, karena wacana publik sudah dikuasai oleh kaum awam yang menggunakan media sosial.

Pengamat politik, kritikus film, dan pengamat olahraga sudah kalah oleh netizen.

“Sekarang ini kalau di stadion ada 50 ribu penonton sepakbola, maka sebanyak 50 ribu itu pakar sepakbola. Semua bisa bikin opini dan menyebarluaskannya, “ kata Bre Redana, wartawan senior, lulusan School of Journalism and Media Studies, Darlington, Inggris.

Lewat buku ‘The Death of Expertise’ Tom Nichols menyampaikan keresahannya untuk publik Amerika Serikat, namun kondisi yang sama ternyata dialami oleh masyarakat secara global. ‘Matinya Kepakaran’ tampaknya, kini sudah mendunia. Khususnya di AS.

Pengetahuan dasar rata rata orang Amerika saat ini sangat rendah, katanya. Bahkan, sampai menembus lantai “tak dapat informasi”, meluncur ke arah “salah informasi” dan sekarang terempas ke “ngawur secara agresif”.

Di era informasi seperti sekarang ini, justru banyak melahirkan apa yang dia sebut ‘ignorance’ atau kedunguan di kalangan publik di AS. Kegandrungan pada literasi instan tersebut menggejala demikian masif – hingga kepakaran terancam mati. Orang hanya memerlukan informasi tambahan untuk menguatkan keyakinannya ketimbang kebenaran itu sendiri.

“Saya khawatir kita sedang menyaksikan ‘matinya ide ide kepakaran itu sendiri’ : kehancuran pembagian antara kelompok profesional dan orang awam, murid dengan guru, dan orang yang tahu dengan yang merasa tahu gara gara Google, Wikipedia, dan blog – dengan kata lain, antara mereka yang memiliki pencapaian di sebuah bidang dan mereka yang tidak memiliki pencapaian sama sekali. (hal 3)

Dicontohkan, pada tahun 2014 ‘Washington Post’ melakukan jajak pendapat dengan warga, apakah AS harus terlibat dalam intervensi militer, setelah Rusia melakukan invasi ke Ukrania. Mayoritas warga AS setuju intervensi, namun setelah disurvei, hanya satu dari enam dari warga AS yang tahu dimana lokasi Ukrania berada.

Di sini, contoh paling valid dengan “matinya kepakaran” adalah ketika netizen lebih percaya kepada Neno Warisman ketimbang Dr. Sri Mulyani, lebih percaya kepada artis Rachel Maryam daripada Gurubesar UI, Prof. Dr. Reinald Kasali, dan puas dengan paparan Rocky Gerung ketimbang penjelasan Prof. Dr. Mahfud MD.

Bahkan dalam kasus operasi plastik Ratna Sarumpaet, yang heboh beberapa waktu lalu, ada yang lebih percaya Fadli Zon dan Fahri Hamzah, ketimbang dr.Tompi, yang secara profesional menggeluti bedah plastik kecantikan. Dia langsung mencium kecurigaan hanya dengan melihat jenis perban dan kerutan di dahi RS, yang kemudian ternyata benar.

“Dalam hal agama juga demikian, “ kata Mas Dwi, teman baru kami, pensiunan TNI yang kini aktif di partai nasional.

“Sekarang orang mudah sekali mengaku diri sebagai ustadz, habaib, sebagai ulama, padahal…..” katanya dengan mendesah, “ Saya muslim, tapi terus terang saya tidak percaya mereka…” katanya, lirih.

Dia tak habis pikir bagaimana para kyai besar yang menekuni ilmunya puluhan tahun dan mendalami kitab kuning serta mewarisi pesantren besar dan berpengaruh – bisa kalah populer oleh anak anak muda yang mengaku (atau disebut) sebagai ‘ustadz’, ‘habaib’ dan mendadak jadi seleb di teve. ***

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru