Harakatuna.com – Proyek Eropa CT Just melanjutkan inisiatifnya untuk memperkuat peran perempuan di kepolisian dan lembaga keamanan dalam melawan terorisme. Beberapa waktu lalu, Tunisia menjadi tuan rumah hari kedua pelatihan yang diselenggarakan oleh proyek Eropa CT Just, dengan tujuan memprofesionalkan perempuan di kepolisian dan lembaga keamanan sebagai aktor dalam upaya melawan terorisme di negara-negara kawasan MENA.
Acara tersebut dihadiri oleh 40 peserta dari delapan negara MENA, Afrika Barat, perwakilan Uni Eropa, Dewan Menteri Dalam Negeri Arab (AIMC), pakar dari Jaringan Kesadaran Radikalisasi Eropa (Europa-RAN), EUROPOL, serta pakar keamanan dari kepolisian Belgia dan Kepolisian Nasional Spanyol.
Mereka berkumpul untuk berbagi pengalaman, tantangan, dan membahas tantangan baru dalam melawan terorisme, dengan fokus khusus pada narasi radikal-terorisme serta peran perempuan dalam lembaga keamanan dan kepolisian guna melawan fenomena tersebut.
Selama empat hari, berbagai sesi diadakan untuk menyoroti peran mendasar perempuan sebagai profesional di bidang keamanan, dengan tujuan integrasi yang lebih besar dan memastikan mereka menjadi bagian dari pelaksanaan kebijakan dan strategi keamanan nasional, khususnya dalam memerangi terorisme.
Kegiatan tersebut dirancang dengan format presentasi dan diskusi meja bundar, yang memungkinkan para peserta untuk berbagi praktik terbaik dan membangun sinergi yang berkontribusi pada penguatan kapasitas profesional rekan-rekan mereka di negara masing-masing dalam melawan terorisme.
Para peserta juga melakukan analisis mendalam mengenai fenomena perekrutan dan radikalisasi perempuan, dengan menyoroti bagaimana profil perempuan telah berkembang dalam konteks radikal-terorisme: dari sekadar korban pasif yang terjerat dalam jaringan teroris hingga menjadi perekrut dan propagandis utama dalam organisasi teroris dan ekstremis.
Studi kasus yang rinci disajikan untuk menggambarkan bagaimana manipulasi psikologis dan penggunaan pesan-pesan yang dirancang khusus digunakan untuk menarik perempuan melalui platform digital dan media sosial. Selain itu, dibahas pula tantangan yang dihadapi lembaga penegak hukum dalam mendeteksi dan membongkar jaringan rekrutmen melalui platform tersebut.
Selain itu, delegasi dari Maroko, Mesir, dan Senegal mempresentasikan strategi nasional mereka untuk memprofesionalkan pasukan keamanan perempuan, sementara para peserta menyoroti pentingnya pelatihan berkelanjutan.
Aspek teknis dan operasional dalam profesionalisasi pasukan keamanan dan lembaga juga menjadi topik diskusi. Delegasi dari Benin dan Irak memaparkan pendekatan nasional mereka, dengan menekankan bahwa inklusi perempuan dalam tim operasional tidak hanya memperkaya kapasitas pasukan keamanan, tetapi juga menjadi elemen mendasar untuk menjamin respons yang menyeluruh dan efektif terhadap radikal-teroris.
Melalui inisiatif tersebut, proyek CT-Just menegaskan kembali komitmennya terhadap profesionalisasi perempuan di bidang keamanan, dengan pengakuan bahwa partisipasi aktif dan keahlian khusus mereka sangat penting untuk menciptakan lingkungan yang lebih aman dan tangguh dalam menghadapi radikalisasi.
Kegiatan di Tunisia, sekali lagi, memungkinkan terciptanya kerja sama lintas kawasan untuk membangun pertukaran pengalaman dan praktik terbaik yang berkelanjutan, yang berkontribusi pada peningkatan kebijakan keamanan dan kemampuan operasional di tingkat regional dan global.
Lalu, bagaimana hal semacam itu dalam konteks Indonesia? Ini menarik. Dalam upaya global untuk melibatkan perempuan dalam sektor keamanan, proyek CT-Just di Tunisia telah menjadi salah satu contoh konkret bahwa pelibatan perempuan berkontribusi secara signifikan dalam memerangi radikal-terorisme. Namun, untuk Indonesia, sepertinya kajian lebih lanjut menjadi keharusan.
Sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia dan sejarah panjang dalam menghadapi berbagai bentuk ekstremisme, Indonesia seharusnya menjadi pelopor dalam mengintegrasikan perempuan ke dalam pasukan keamanan dan strategi kontra-terorisme. Sayangnya, langkah-langkah konkret untuk memberdayakan perempuan di sektor tersebut masih terbilang minim.
Indonesia memiliki modal sosial yang kuat untuk mengadopsi strategi inklusi perempuan dalam keamanan nasional. Peran perempuan dalam masyarakat Indonesia tidak hanya terbatas pada keluarga, tetapi juga mencakup berbagai bidang seperti pendidikan, kesehatan, dan advokasi sosial. Namun, ketika menyentuh sektor keamanan, khususnya kontra-terorisme, peran perempuan masih sering diabaikan atau dianggap sebagai pelengkap belaka.
Padahal, perempuan memiliki keunggulan yang unik dalam mendeteksi potensi radikalisasi, terutama di lingkup keluarga dan komunitas. Sebagai ibu, istri, dan anggota komunitas, mereka sering menjadi saksi awal tanda-tanda perubahan perilaku yang mengarah pada radikal-terorisme. Jika diberdayakan dengan pelatihan dan kapasitas yang memadai, perempuan dapat menjadi agen perubahan yang efektif dalam pencegahan radikalisasi.
Kendati demikian, ada sejumlah hambatan yang perlu diatasi. Pertama, budaya patriarki yang masih kental di Indonesia jadi hambatan utama dalam pelibatan perempuan di sektor keamanan. Banyak yang masih beranggapan bahwa perempuan tidak memiliki kapasitas atau keberanian untuk terlibat dalam operasi kontra-terorisme.
Kedua, berbeda dengan negara-negara seperti Maroko atau Irak yang telah memulai program profesionalisasi perempuan di bidang keamanan, Indonesia belum memiliki skema pelatihan khusus yang dirancang untuk memberdayakan perempuan dalam kontra-terorisme. Ketiga, representasi perempuan dalam pasukan keamanan Indonesia, terutama di level strategis, masih sangat rendah. Akibatnya, perspektif perempuan kerap tak terakomodasi dalam pengambilan keputusan strategis.
Lantas, apa yang bisa Indonesia lakukan? Yang paling utama ialah pemerintah sepatutnya memperkenalkan program pelatihan khusus untuk perempuan, mencakup aspek teknis dan operasional dalam pencegahan ekstremisme, termasuk kemampuan mendeteksi radikalisasi berbasis gender. Selain itu, pemerintah harus mengintegrasikan inklusi perempuan sebagai elemen utama dalam strategi kontra-terorisme nasional. Ini tak bisa ditawar.
Selain itu, dibutuhkan kampanye nasional untuk mengubah persepsi masyarakat terhadap peran perempuan dalam keamanan. Kampanye tersebut harus melibatkan tokoh agama, komunitas lokal, dan media untuk mempromosikan pentingnya kesetaraan gender dalam keamanan nasional. Indonesia memang memiliki potensi besar untuk menjadikan perempuan sebagai ujung tombak dalam upaya memerangi ekstremisme.
Namun, hal tersebut membutuhkan komitmen serius dari semua pihak, baik pemerintah, masyarakat, maupun lembaga keamanan. Saatnya Indonesia belajar dari inisiatif global seperti CT-Just dan mengambil langkah nyata untuk memberdayakan perempuan di sektor keamanan. Dengan begitu, Indonesia tidak saja akan lebih kuat dalam menghadapi ancaman terorisme, tetapi juga akan menjadi contoh bagi negara lain dalam mengimplementasikan inklusi perempuan sebagai bagian dari strategi keamanan nasional. Mari eksekusi segera!