Harakatuna.com. Jakarta – Dengan diberlakukannya KUHP baru pada Januari 2023, perhatian terhadap pasal-pasal yang mengatur tindak pidana ideologi negara semakin meningkat. Salah satu kajian yang diinisiasi oleh Program Studi Kajian Terorisme SKSG Universitas Indonesia (UI) menyoroti keterkaitan erat antara kejahatan terhadap ideologi negara dan isu terorisme. Hal ini penting karena banyak aksi terorisme di Indonesia didorong oleh motif ideologi yang bertentangan dengan ideologi negara.
Kajian ini menemukan bahwa mayoritas pelaku terorisme di Indonesia dimotivasi oleh latar belakang ideologi. Berdasarkan studi terhadap teroris dan mantan narapidana terorisme, ideologi menjadi faktor utama yang mendorong aksi kekerasan.
Ketua Program Studi Kajian Terorisme SKSG UI, M. Syauqillah, menekankan pentingnya kajian mendalam terhadap pasal-pasal terkait tindak pidana ideologi negara. Menurutnya, implementasi aturan ini harus menyeimbangkan antara perlindungan hak asasi manusia (HAM) dan kejelasan bagi aparat penegak hukum.
“Dalam sejarah terorisme di Indonesia, ideologi seperti DI/TII, JI, hingga PUPJI menjadi dasar gerakan yang bertujuan mengganti ideologi negara. Oleh karena itu, kejelasan dan kehati-hatian dalam penerapan pasal ini sangat diperlukan,” ungkap Syauqillah.
Ia juga menyoroti tantangan dalam mengatur frase “penyebaran ideologi” yang berpotensi menimbulkan perdebatan. “Bukan ideologinya yang dipersoalkan, melainkan penyebarannya melalui berbagai media. Selain itu, perlu ada kejelasan mengenai ideologi-ideologi lain di luar marxisme, leninisme, dan komunisme,” tambahnya.
Dosen Kajian Terorisme SKSG UI, Sapto Prijanto, menegaskan perlunya kajian implementatif lebih lanjut terkait pasal-pasal pidana ideologi negara. Menurutnya, prinsip kehati-hatian dan keseksamaan harus diutamakan untuk meminimalisasi penyimpangan oleh aparat penegak hukum.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Elsam, Wahyudi Djafar, mengingatkan bahwa konsep pidana ideologi negara merupakan hal baru dalam hukum Indonesia. Sebelumnya, tindak pidana serupa lebih dikenal sebagai kejahatan terhadap keamanan negara atau subversif.
“Ideologi tidak bisa dipidana, karena ia merupakan hak fundamental yang dilindungi HAM. Pasal-pasal ini mengandung potensi interpretasi yang lentur sehingga bisa membuka ruang kontroversi,” jelas Wahyudi.
Ia mengusulkan penerapan prinsip-prinsip seperti legitimasi, kecukupan, kesesuaian, dan proporsionalitas dalam implementasi pasal-pasal tersebut. Contoh kasus yang disampaikannya adalah ketika penyebaran ideologi dianggap pidana hanya jika terdapat indikasi nyata membangun gerakan politik untuk mengganti ideologi negara.
“Pembatasan terhadap ekspresi ideologi harus melalui mekanisme hukum yang jelas, seperti putusan pengadilan, dan didasarkan pada kebutuhan mendesak yang sah,” tegasnya.
Kajian ini diharapkan mampu menjadi panduan untuk mencegah pelanggaran HAM sekaligus mendukung implementasi KUHP baru secara bijak dan adil.