27.1 C
Jakarta
Array

Problematika Pembubaran HTI, Ini Penjelasan Mahfud MD

Artikel Trending

Problematika Pembubaran HTI, Ini Penjelasan Mahfud MD
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Problematika Pembubaran HTI, Ini Penjelasan Mahfud MD

Awal Mei 2017 lalu, Pemerintah RI membubarkan organisasi anti-Pancasila Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Terkait dengan pembubaran ini, masyarakat Indonesia menilai langkah pemerintah sudah tepat karena langsung membubarkan organisasi yang mengancam keutuhan NKRI. Namun menurut sejumlah pihak, pembubaran tersebut tetap harus konstitusional.

Selain itu, kejadian bom bunuh diri di Terminal Bis Trans Jakarta di Kampung Melayu yang terjadi di Bulan Mei juga cukup menguras perhatian Indonesia, terutama masyarakat Jakarta. Masyarakat juga terbelah menyikapi hal ini; ada yang menganggap kejadian itu hanya pengalian isu dan buatan atau setingan saja dan ada yang beranggapan bahwa itu memang benar-benar kelakuan teroris.

Agar masyarakat memiliki pandangan yang lebih jernih terkait dengan HTI dan tindakan kriminal terorisme, Jurnalis NU Online A. Muchlishon Rochmat berkesempatan mewawancarai Guru Besar Hukum Tata Negara yang juga menjabat sebagai Ketua Dewan Kehormatan Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU) Moh. Mahfud MD yang baru-baru ini juga dilantik menjadi salah seorang Pengarah di Unit Kerja Presiden-Penanaman Ideologi Pancasila (UKP-PIP). Berikut petikan wawancaranya:

Bagaimana Prof Mahfud melihat fenomena HTI? Kenapa baru sekarang HTI “digebuk” ramai-ramai?

Saya kira pemerintah tidak terlambat. Tetapi kalau orang gebuki HTI kan sudah lama. Mempersoalkan HTI itu sudah lama. Tanggal 12, 13, 14 Agustus Tahun 2007, Hasyim Muzadi itu sudah teriak-teriak bahwa HTI itu berbahaya karena tanggal 12-nya itu ada acara Konferensi Hizbut Tahrir Internasional. Ada beberapa kesimpulan dari konferensi tersebut.

Pertama ingin membentuk negara transnasional mulai dari Thailand, seluruh Asia Tenggara sampai ke Australi. Kedua, demokrasi itu haram. Itu kan bertentangan dengan negara kita. Kita menganut negara nasional, bukan transnasional dan kita menghalalkan demokrasi. Sehingga waktu itu Hasyim Muzadi teriak, orang-orang juga sudah memperingatkan. Itu tahun 2007, artinya sepuluh tahun yang lalu.

Tetapi waktu itu kan pemerintah belum bertindak Prof?

Waktu pemerintah tidak mengambil sikap sampai-sampai beberapa tahun setelah itu karena dibiarin, HTI mengadakan pengajian akbar di GBK Senayan. Saya kira lebih dari seratus ribu orang yang hadir. Dan pidato-pidatonya masih ada di youtube, yakni ingin mengganti Negara Indonesia yang berdasar Pancasila. Tidak boleh misalnya pemimpin itu harus dipilih secara demokrasi, harus diserahkan kepada ulama.

Waktu itu saya protes, masa polisi membiarkan itu dan itu disiarkan langsung oleh TVRI lagi, TV pemerintah kan. Saya protes apakah stasiun TV itu mau cari uang iklan dengan mengorbankan prinsip bernegara yang begitu penting.

Terkait pembubaran HTI, Bagaimana pandangan Prof?

Memang agak problematik secara yuridis karena pembubaran HTI atau ormas itu kan melalui peringatan terlebih dahulu. Peringatan satu, dua, tiga. Sampai enam kali peringatan. Baru dihentikan bantuannya, kalau tidak ada bantuannya dihentikan kegiatannya. Terus diminta putusan pengadilan agar dicabut badan hukumnya. Itu yuridisnya.

Itu memang sekarang menjadi problem karena instrumen hukum yang ada tidak bisa langsung membubarkan HTI seperti sekarang. Tetapi kalau kembali ke filosofinya, kenapa dulu menggunakan peringatan-peringatan itu kan sebenarnya kegiatan tindakan fisik, bukan tindakan filosofis. Kalau aturan fisik dibuat karena dahulu orang suka melakukan sweeping. Kalau besok sweeping lagi, besok kamu diperingatkan. Melanggar lagi diperingatkan. Itu yang tindakan fisik.

Ternyata HTI langsung masuk ke filosofinya. Tidak melakukan tindakan yang bisa diperingatkan. Itu sudah pernyataan jati diri bahwa dia berjuang untuk mendirikan khilafah. Itu pernyataan yang sangat nyata dan itu disampaikan kemana-mana secara terbuka.

Apakah pembubaran HTI bertolak dengan demokrasi yang menjamin kebebasan?

Menurut saya, demokrasi itu meniscayakan adanya kebebasan untuk berpendapat. Tetapi ada dua hal yang tidak boleh dilanggar; pertama jangan merusak ideologi NKRI dan yang kedua jangan menyebabkan pemerintahan lumpuh. Kalau pemerintah lumpuh, gerakan apapun akan sangat membahayakan rakyat.

Bolehlah berdemokrasi dan berbicara memperjuangkan keadilan, tetapi kalau memperjuangkan keadilan dengan mengganti dasar negara itu hukum administrasinya bisa dibubarkan. Sementara hukum pidananya bisa saja itu menjadi makar. Tergantung pada sampai sejauh apa langkah-langkah yang dilakukan.

Tetapi mereka menyatakan bahwa HTI tidak anti Pancasila?

Kalau saya, mereka mengucapkan sesuatu yang tidak sesuai dengan apa yang dilakukan. Hizbut Tahrir dan pahamnya secara terbuka di pidato yang didengar jutaan orang itu tidak setuju demokrasi.

Berarti begini, kalau Ismail Yusanto mengatakan HTI itu tidak anti Pancasila berarti HTI sudah bubar sendiri karena dia semula anti Pancasila. Kalau tidak anti Pancasila, bukan HTI lagi. Di samping pernyataan-pernyataan terbuka itu, mereka bergerak kemana-mana dan gerakannya itu nyata. Gerakannya itu menyatakan Indonesia berdasarkan Pancasila itu sudah gagal, oleh karena itu harus diberi alternatif baru, yaitu khilafah.

Lalu saya tanya, khilafah itu dimana ajarannya? Mereka tidak tahu. Khilafah itu kan tidak ada di Al-Qur’an dan Sunnah. Mereka menyebut khilafah-khilafah. Itu kan cipataan manusia. Ciptaan Bani Umayyah, ciptaan Bani Abbasiyah yang semuanya merupakan hasil istinbath terhadap apa yang mereka anggap benar.

Pembela HTI mengataka HTI itu ada. Justru dengan mengatakn ada itu menandakan dan menjadi bukti bahwa khilafah itu tidak ada. Sekarang ada Uni Emirat Arab, ada Kesultanan Brunei, ada Republik Libya, Tunisia, Iran, Pakistan. Semua ngaku Islam kok beda-beda, kalau di Al-Qur’an dan As-Sunnah ada pasti tidak beda-beda. Karena Al-Qur’an dan Sunnah tidak mengajarkan, maka bisa ditafsirkan bahwa sistem pemerintahan itu diserahkan kepada masing-masing bangsa. Dan bangsa Indonesia sudah membuat sistem pemerintahannya sendiri. Sistem pemerintahan kalau dibahasa Arabkan kan khilafah. Di Indonesia, khilafah Indonesia namanya.

Kalau ada pejabat negara yang gabung dan mendukung HTI?

Seharusnya tidak boleh kecuali ikut pengajian-pengajiannya. Tetapi kalau ideologinya tidak boleh. Seharusnya mereka dicopot karena sudah tidak sesuai lagi dengan syarat menjadi pejabat, yaitu setia kepada Pancasila dan UUD. Kalau dengan sadar dia mendukung khilafah yang diperjuangakn HTI, berarti dia tidak setia pada Pancasila dan UUD. Kalau ada pejabat kayak gitu, mundur saja.

Kita boleh beda pilihan politik dalam kehidupan sehari-hari, tetapi kalau ada yang merongrong negara dan ingin mengganti Pancasila pemerintah harus tegas dan rakyat harus mendukung pemerintah untuk menindak karena itu berbahaya.

Tapi, banyak adavokat yang siap pasang badang terkait pembubaran HTI?

Ya silahkan saja. Itu kan hak juga. Pasti dia tidak membela ideologinya. Paling dia akan mengatakan HTI itu tidak ingin mengganti Pancasila. Nah, tinggal buktikan. Tetapi kalau tidak ingin mengubah Pancasila, berarti sudah tidak ada HTI nya. Advokat tidak akan berani mengatakan bahwa HTI memang ingin mengganti Pancasila. Advokat itu menyamarkan hal yang sudah jelas. Ditafsir-tafsirkan bahwa HTI tidak anti Pancasila.

Kalau terorisme, bagaimana Prof menilai?

Semua ulama mengatakan teroris itu sesat dan yang tidak mengatakan sesat kan terorisnya sendiri. Terorisme itu membuat kerusuhan dan membunuh orang secara masal di tempat-tempat umum. Itu dilarang oleh agama apapun.

Teroris itu apa sih alasannya. Kalau orang mengatasnamakan agama Islam menteror karena merasa tidak mendapatkan keadilan di negeri ini, bukan hanya orang Islam. Semua, masa mau jadi teroris semua.

Anggapan bahwa teroris itu pejuang Islam karena sudah mati demi memperjuangkan tegaknya Islam? Itu harus diperangi oleh negara. Teman-temannya sendiri memang menaggap mereka itu pejuang. Kalau seperti itu, ya harus diperangi.

Kalau pelaku bom bunuh diri Prof?

Menurut saya, orang yang sok menteror atas nama agama lalu bunuh diri agar masuk surga itu adalah mereka yang tidak mengerti agama. Dan sama dengan mereka yang genti ingin mengganti Pancasila dengan khilafah. Biasanya mereka baru belajar agama. Kalau diajak berdebat mereka tidak akan pernah menang.

Beberapa kali kejadian bom bunuh diri dianggap sebagai pengalihan isu atau setting-an. Bagaimana menurut Prof?

Saya ndak tahu kalau itu. Saya ndak akan masuk ke wilayah yang seperti itu karena motif dari sebuah teror itu bisa karena orang yang ingin masuk surga, tetapi ada yang setting-an juga. Itu makanya di dalam ilmu teror ada namanya state terorism. State terorism itu adalah teror yang diciptakan oleh aparat.

Misalnya kamu dipancing untuk melakukan perlawanan. Kamu anak Islam jangan diam saja diperlakukan tidak adil, lawan dong. Sesudah melawan kamu ditangkap yang memancing tadi. Itu bisa untuk membuat orang takut agar tidak melakukan tindakan yang sesungguhnya.

Dulu, komando jihad itu hasil penelitiannya adalah ada orang disuruh memancing orang di Jawa Barat agar melawan kepada pemerintah. Di sana menggumpal, mereka mau berjuang betul. Mereka merasa ini memang benar-benar jihad. Lawan pemerintah itu. Sesudah mereka matanga untuk melawan, yang mancing itu balik ke Jakarta dan menagkapi orang-orang itu. Orang yang tidak tahu menganggap bahwa itu benar-benar jihad demi Islam bukan pancingan.

Lalu bagaimana dengan anggapan yang berbeda terkait bom bunuh diri?

Itu tidak bisa dihindari. Pasti ada yang mendukung apa yang dilakukan oleh polisi dan menganggapnya hebat karena mampu membekuk teroris. Dan yang satunya bilang ini setting-an. Tetapi polisi tidak boleh ragu tekait hal itu. kalau teror ya teror. Mana ada sebuah tindakan polisi yang dianggap benar, selalu disalahkan. Tetapi kalau tidak bertindak, mereka dianggap kecolongan.

Oleh sebab itu, silahkan polisi mengatur sendiri. Kita tidak bisa mengatakan jangan dong itu setting-an. Kita kan tidak tahu juga, tetapi polisi harus tegas. jangan takut dibilang men-setting karena pasti ada yang bilang setting. Tetapi kalau polisi diam, dia disalahkan oleh seluruh negeri kalau ada gejala teror.

Itu aturan-aturan politiknya dan penegakan hukumnya. Moralnya, supaya jangan men-setting. Bahwa dituduh men-setting itu biasa, tetapi melakukan setting. []

Sumber: NU Online (Kamis, 08 Juni 2017)

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru