Harakatuna.com – Indonesia adalah negara yang bukan-bukan. Pernah dengar guyonan menarik dari Gus Dur tersebut? Jadi, kata Gus Dur, Indonesia negara Pancasila. Bukan kapitalis tapi juga bukan sosialis. Bukan negara sekuler tapi juga bukan negara teokratis. “Bukan Ini, Bukan Itu,” demikian bahasa Bonnie Triyana dalam esainya di Historia. Apa maksud semua itu, dan apa kaitannya dengan propaganda yang marak hari-hari ini?
Dalam bahasa yang umum, Indonesia adalah negara unik. Indonesia tidak mendeklarasikan diri sebagai negara sekuler, juga tidak menjadikan agama sebagai dasar negara. Pancasila mengakomodasi keberagaman: spiritualitas mendapat tempat penting tetapi negara tetap menjaga jarak agar tidak memihak pada satu agama tertentu. Negara ini tidak sekuler dalam arti memisahkan agama dari ruang publik, juga bukan negara teokrasi yang agama-sentris.
Jika sekularisme bermakna ‘pemisahan agama dan negara’, beberapa aspek dalam tata kelola Indonesia memang terlihat sebagai sekuler. Misalnya, aspek hukum, Indonesia mengadopsi ‘hukum positif’ yang tidak sepenuhnya berbasis agama namun relevan bagi semua lapisan masyarakat. Lembaga pendidikan negeri, contoh lainnya, mengajarkan pendidikan agama tanpa memaksakan satu keyakinan. Proporsional.
Sayangnya, hari-hari ini, kelompok transnasional berusaha menebar propaganda buruk soal Indonesia. Mereka menuduh sisi ‘sekuler’ Indonesia sebagai penyebab kerusakan moral, lemahnya kepemimpinan, dan problem kebangsaan lainnya. Padahal, Indonesia tidak pernah menegasikan agama, justru mengakomodasinya. Artinya, problematika kebangsaan Indonesia lebih kompleks dan tidak bisa direduksi hanya dengan isu sekularisme.
Karena itu, propaganda sekularisme ala HTI tidak boleh dibiarkan. Harus diluruskan bahwa Indonesia bukan negara sekuler dalam definisi Barat yang ekstrem. Negara ini mengintegrasikan keagamaan dan kebangsaan secara harmonis dalam kerangka Pancasila. Tuduhan tentang kerusakan akibat sistem sekuler adalah upaya HTI agar masyarakat benci NKRI dan Pancasila. Karenanya, hanya ada satu kata: lawan!
Melawan Editorial-editorial Propagandis HTI
Selama dua bulan terakhir saja, propaganda HTI tentang sekularisasi NKRI—agar masyarakat benci NKRI dan Pancasila—tertuang dalam lebih dari sepuluh editorial. Berikut di antara judul artikel propaganda tersebut:
- Generasi Sadis, Buah Penerapan Sistem Sekuler
- Pemerhati: Fenomena Kompromi Hukum Islam dan Sekuler Membuat Ketakjelasan Esensi Hukum Islam
- Iffah Ainur Rochmah: Sistem Pendidikan Islam Berbeda secara Diametral dengan Sistem Pendidikan Sekuler
- Ironi Penegakan Hukum Kasus Korupsi di Sistem Sekuler Kapitalisme
- Judol Merajalela, Pemberantasannya dalam Sistem Sekuler Kapitalisme Sungguh Mimpi Belaka
- Legalisasi Miras dalam Sistem Sekuler Kapitalisme
- Dugaan Suap Ronald Tannur kepada Trio Hakim, Pakar: Inilah Bukti Rusaknya Hukum Sekuler
- FOMO, Gaya Hidup Liberal, Buah Sistem Sekuler
- Akademisi: Permendikbudristek 30/2021 Lahir dari Sudut Pandang Sekuler Liberal
- Ilusi Jaminan Pangan Halal dalam Sistem Sekuler Kapitalisme
- Akademisi: Maraknya Kasus Asusila, Kegagalan Sistem Sekuler
Karena mustahil mengonter keseluruhan editorial sekaligus, mari fokus pada judul yang kesebelas, “Akademisi: Maraknya Kasus Asusila, Kegagalan Sistem Sekuler”. Artikel ini masih baru, terbit pagi hari tadi. Artikel ini mencoba melakukan simplifikasi masalah moralitas dan pendidikan ke dalam satu sebab utama, yaitu ‘kegagalan sistem sekuler’—pola khas propaganda HTI untuk mengambinghitamkan negara atas problem yang ada.
Padahal, maraknya kasus asusila atau pelanggaran moral di lembaga pendidikan tidak disebabkan oleh sistem tertentu, apalagi sistem sekuler, melainkan lebih pada kelemahan implementasi akhlak atau etika, lemahnya pengawasan, serta rendahnya kesadaran individu-kolektif terhadap moralitas itu sendiri. Dengan kata lain, sistem pendidikan di negara ini telah menempatkan akhlak di garda depan. Tuduhan HTI sama sekali tak berdasar.
Sistem pendidikan di Indonesia tidak memisahkan agama dari kehidupan, justru menjadikannya sebagai bagian integral dari kurikulum di semua jenjang pendidikan. Setiap siswa, apa pun agamanya, diwajibkan mengikuti pelajaran agama dan budi pekerti. Narasi HTI bahwa sistem pendidikan Indonesia ‘hanya berorientasi duniawi’ adalah generalisasi yang mengabaikan fakta lapangan dan fitnah semata.
Yang benar, dan mesti disadari seluruh masyarakat, adalah bahwa kasus-kasus pelanggaran moral di lembaga pendidikan, termasuk asusila, tidak terjadi lantaran sistem pendidikan sekuler atau non-sekuler. Ada berbagai faktor pendorong, seperti lemahnya kontrol sosial, minimnya literasi keagamaan, dan pengaruh globalisasi yang tak terkendali. Menyalahkan sistem jelas mengabaikan akar masalah dan berasaskan kebencian ideologis atas NKRI.
Lalu bagaimana masyarakat mesti turun gunung untuk melawan editorial-editorial propagandis HTI? Tidak lain adalah kesadaran masyarakat itu sendiri. Masyarakat mesti memahami fakta bahwa tuduhan HTI ihwal ‘sistem sekuler’ penyebab segala masalah moral di negara ini malah lebih berbahaya daripada yang mereka kritik. HTI tengah mengupayakan dekonstruksi kepercayaan masyarakat terhadap sistem negara dan pendidikan.
Narasi semacam itu mesti dilawan dengan fakta bahwa Indonesia terus berupaya keras membangun pendidikan inklusif, akhlak-oriented, dan menghormati kebhinekaan. Pendidikan di Indonesia tidak gagal karena sekularisme, tetapi karena tantangan mainstream negara modern: degradasari moral. Solusinya ialah penguatan institusi, pembaruan kurikulum, serta peningkatan peran keluarga-masyarakat. Bukan malah mendirikan khilafah.
Waspadalah dengan Propaganda Sekularisme ala HTI!
Narasi propagandis HTI menggunakan dikotomi sederhana antara ‘sistem sekuler’ yang dituduh rusak dan ‘sistem Islam kafah’ yang mereka klaim sebagai solusi universal. Strategi tersebut bertujuan menciptakan persepsi bahwa semua problem sosial-kemasyarakatan di NKRI, termasuk kasus asusila sekalipun, bersumber dari sistem sekuler yang memisahkan agama dari kehidupan publik. Pekok, memang.
Namun, bagi yang tidak paham tentang propaganda HTI, mereka akan langsung terjerumus ke dalamnya. Sebab, narasi HTI, meskipun retoris dan sarat distorsi fakta dan reduksionisme, terus memanfaatkan emosi keagamaan masyarakat awam. Dengan menyerang apa yang mereka sebut ‘sekularisme di NKRI’, HTI menggiring publik menuju sistem khilafah global yang mereka agung-agungkan, sambil mendiskreditkan sistem NKRI secara total.
Apakah sekularisme di Indonesia benar-benar seperti yang mereka propagandakan? Jawabannya jelas: tidak. Semua yang HTI narasikan adalah fitnah demi menggelorakan khilafah palsunya. HTI abai dengan ratusan fakta, misalnya, bahwa negara bahkan terlibat dalam pengaturan ibadah haji serta pernikahan berasaskan agama. Artinya, propaganda tentang kegagalan sekularisme di Indonesia merupakan provokasi ideologis semata.
Waspadalah dengan propaganda sekularisme ala HTI! Maraknya kasus asusila bukan personifikasi ‘gagalnya sekularisme’, melainkan masalah sosial yang jauh lebih kompleks. Menyalahkan sekularisme adalah bentuk propaganda destruktif untuk memperkeruh keadaan dengan kedustaan Islam kafah dan kepalsuan khilafah. Maka, waspadalah karena HTI punya motif ideologis: meruntuhkan nasionalisme dan menegakkan transnasionalisme.
Dengan menuduh NKRI dan Pancasila sebagai ‘sistem sekuler’ di satu sisi dan mem-framing sekularisme sebagai musuh di sisi lainnya, HTI mempolarisasi masyarakat jadi dua kubu: pro-sistem sekuler NKRI atau pro-Islam kafah. Dan dengan demikian, narasi tentang kegagalan sekularisme secara langsung menyerang legitimasi Pancasila, UUD 1945, dan sistem demokrasi sebagai pilar kebangsaan. Sungguh, itu sangat radikal dan ekstrem.
Untuk melawan semua propaganda sekularisme yang aktivis HTI lakukan, seperti dikatakan sebelumnya, titik tolaknya adalah kesadaran bersama. Masyarakat perlu paham-sadar bahwa tuduhan HTI tentang sekularisme adalah simplifikasi dan propaganda tak berdasar. Alih-alih terprovokasi propaganda murahan itu, masyarakat justru perlu proaktif untuk ikut andil dalam menyelesaikan berbagai problem di NKRI. Sekali lagi, waspadalah!
Wallahu A’lam bi ash-Shawab…