Harakatuna.com – Di tengah hiruk-pikuk upaya pemerintah menghemat anggaran negara, muncul kembali bayangan ormas terlarang HTI. Aksi solidaritas untuk Palestina di Pangkalpinang, yang menjadi panggung kebangkitan HTI mengingatkan, persoalan ideologi transnasional masih belum tuntas. Sementara itu, di sisi lain, pemerintah sibuk memangkas anggaran belanja kementerian dan lembaga (K/L) hingga ratusan triliun rupiah.
Dua hal tadi, meski terlihat tak berkaitan, sebenarnya menyimpan benang merah yang penting: bagaimana pemerintah memprioritaskan sumber dayanya untuk menjaga stabilitas nasional, baik dari ancaman ideologi ekstrem maupun tekanan fiskal, jika anggarannya menyusut? Itu ibarat ototnya dibuang, lemaknya dibiarkan. Kabinetnya gemuk, anggarannya dihapus. Sunk cost-fallacy macam apa yang Tengah Prabowo bangun dalam perpolitikan tanah air?
Aksi long march di Pangkalpinang, yang mengusung tema solidaritas untuk Palestina, menjadi sorotan lantaran ada indikasi kuat dimotori HTI. Bendera hitam-putih bertuliskan huruf Arab, spanduk bertuliskan “Jihad dan Khilafah Solusi Untuk Palestina,” serta kehadiran tokoh HTI Babel, Rudi Sopian, menegaskan bahwa ormas terlarang itu belum benar-benar mati. Padahal, HTI resmi dibubarkan pada 2017 silam karena bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.
Pertanyaannya, mengapa HTI masih bisa muncul kembali? Apakah pembubaran organisasi sekadar formalitas administratif, tanpa upaya serius untuk membongkar jaringan dan ideologinya? Ataukah pemerintah terlalu fokus pada persoalan lain, seperti deradikalisasi eks-napiter, hingga lupa bahwa ancaman ideologi transnasional masih mengintai? Apa pun jawabannya, HTI kini menjadi PR besar pemerintah. Tetapi bisakah mengganyang mereka di tengah efisiensi anggaran?
Hari-hari ini, pemerintah gencar melakukan efisiensi anggaran. Surat Menkeu nomor S-37/MK.02/2025, yang merupakan tindak lanjut dari Inpres Nomor 1/2025, memerintahkan pemangkasan belanja K/L hingga Rp256,1 triliun. Presiden Prabowo Subianto bahkan menargetkan penghematan total sebesar Rp306,69 triliun. Angka fantastis tersebut tentu bukan tanpa alasan. Tekanan fiskal, defisit anggaran, dan ketidakpastian ekonomi global adalah alasannya.
Namun, efisiensi anggaran bukanlah tujuan akhir. Ia sebatas alat untuk mencapai tujuan yang lebih besar: stabilitas ekonomi dan kesejahteraan rakyat. Pertanyaannya, apakah pemangkasan anggaran akan berdampak pada kemampuan pemerintah untuk menjaga keamanan dan stabilitas nasional? Apakah dana yang dialokasikan untuk penanganan radikal-terorisme, misalnya, termasuk pengawasan terhadap organisasi seperti HTI, juga ikut dipangkas?
Di situlah letak tantangan terbesar pemerintah. Di satu sisi, efisiensi anggaran adalah keharusan untuk menjaga kesehatan fiskal. Di sisi lain, ancaman ideologi HTI tak bisa diabaikan. Keduanya sama-sama penting, tetapi sumber daya yang terbatas memaksa pemerintah untuk membuat pilihan.
Pertama, pemerintah perlu memastikan bahwa efisiensi anggaran tak mengorbankan program-program strategis penanganan ideologi radikal. Dana untuk pengawasan, deradikalisasi, dan edukasi publik harus tetap dipertahankan, bahkan ditingkatkan jika perlu. Kedua, pemerintah mesti lebih serius membongkar jaringan HTI dan organisasi radikal sejenisnya. Pembubaran organisasi saja tidak cukup; perlu upaya sistematis untuk memutus mata rantai ideologi dan pendanaannya.
Ketiga, pemerintah perlu memanfaatkan momentum efisiensi anggaran untuk memperkuat koordinasi antarlembaga. Kemenkeu, Kemendagri, BIN, dan Polri harus bekerja sama secara sinergis. Efisiensi anggaran tidak laik jadi alasan untuk mengurangi kolaborasi, melainkan justru memacu inovasi dalam penanganan masalah nasional.
HTI dan efisiensi anggaran boleh jadi tampak seperti dua hal yang distingtif, tetapi keduanya sama-sama menguji kemampuan pemerintah mengelola sumber daya yang terbatas. Di tengah tekanan fiskal, pemerintah tidak boleh lupa bahwa stabilitas nasional adalah fondasi utama pembangunan. Ancaman ideologi radikal semacam HTI harus dihadapi dengan serius, namun tanpa mengorbankan upaya pemulihan ekonomi. Masing-masing harus efektif sesuai yang dicitakan ke depannya.
Pemerintah punya PR besar: mengganyang HTI di tengah efisiensi anggaran. Namun ini bukan soal soal anggaran belaka, melainkan prioritas. Jika pemerintah bisa menyeimbangkan keduanya, maka stabilitas nasional dan kesejahteraan rakyat bukanlah mimpi belaka. Namun, jika salah langkah, bukan sesuatu yang mustahil kita akan menghadapi masalah yang lebih besar di masa depan.
Maka, pertanyaannya bukan lagi “apakah pemerintah bisa,” melainkan “apakah pemerintah mau.” Maukah pemerintah memprioritaskan stabilitas nasional di tengah segala keterbatasan? Jawabannya tergantung political will pemerintahan Prabowo-Gibran.
Seperti yang diwanti-wanti Rhenald Kasali, jangan sampai efisiensi anggaran malah membuat otot dan membiarkan lemak. Jangan sampai yang strategis seperti kontra-radikalisme distop kinerjanya, atau HTI akan segera bebas mengacak-acak NKRI. Itulah PR besar pemerintah. []