32.9 C
Jakarta

PR NKRI: Memberantas Politik Identitas dan Membendung Intoleransi

Artikel Trending

Milenial IslamPR NKRI: Memberantas Politik Identitas dan Membendung Intoleransi
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Bau-bau tak sedap politik identitas mulai tercium. Aroma intoleransi juga sudah mulai merebak. Tahun politik masih lama, dua tahun lagi, tetapi radiusnya sudah sangat terasa hari ini. Tidak ada yang tahu, apa yang akan terjadi ke depan. Tidak ada yang bisa membaca hasilnya apakah akan baik atau sebaliknya. Namun, melihat kencangnya getaran politik hari ini bisa dibayangkan bahwa NKRI punya PR besar, paling utama, tentang politik identitas dan  intoleransi.

Jika dua tahun menjelang Pemilu saja sudah seperti ini, apa yang terjadi nanti tahun 2024? Anies Baswedan, misalnya, sudah mulai aktif mengadakan konsolidasi antarumat beragama. Pada saat yang sama, ia tetap dituduh sebagai bapak politik identitas—sebuah rekam jejak kelam sejak ia nyalon sebagai Gubernur DKI. Terjadi tarik menarik; saling menjatuhkan dan sikap intoleran. Nasib NKRI digantung oleh keduanya yang jika tak segera diberantas, buruk sekali akibatnya.

Tentu saja, definisi politik identitas tak lagi butuh penjabaran. Begitu juga dengan intoleransi. Semua orang tahu keduanya, namun tidak semua orang bisa mencegah diri untuk tak terlibat dengannya. Nasionalisme pun, secara definisi, sudah selesai. Yang susah adalah bagaimana menjadi nasionalis sejati yang benar-benar memikirkan masa depan bangsa, bukan kepentingan personal maupun partai. Itu yang masih menjadi tugas besar Republik berdaulat ini.

Musuh Besar Toleransi

Islam tidak pernah mengajari pemeluknya untuk bersikap intoleran. Baik dalam Al-Qur’an maupun hadis, nasnya sudah jelas bahwa perbedaan adalah sunatullah. Tidak ada hak untuk setiap Muslim berseteru lantaran berbeda. Apalagi perbedaan dengan outsider, bahkan perbedaan sesama umat Islam pun, atau dikenal perbedaan insider, tak patut untuk dipolemikkan. Kristen pun, seperti juga agama-agama yang lain, tidak pernah mendoktrinkan intoleransi.

Kitab suci mereka mengajarkan belas kasih antarumat manusia. Sehingga bila ada peristiwa seperti hari-hari ini, yang bermasalah bukan agama, melainkan umat pemeluknya. Lalu umat beragama dibuat heran, apa sebenarnya yang membuat mereka bersikap intoleran? Untuk menjawabnya, kita perlu menelisik tiga hal penting. Pertama, fanatisme umat antaragama. Kedua, kecemburuan sosial. Ketiga, kesenjangan ekonomi.

Kecemburuan sosial dan kesenjangan ekonomi barangkali tidak signifikan. Sebab, intoleransi tersebut tidak terjadi dalam solidaritas mekanik, juga dalam ekonomi setara: sama-sama menengah ke bawah, misalnya. Tetapi fanatisme benar-benar menjadi problem utama. Dalam contoh intoleransi yang terjadi, ketika merasa terganggu dengan peribadatan orang lain, maka ada yang absen dalam diri kita: kemanusiaan.

BACA JUGA  Aplikasi Prinsip Wasatiah dalam Menyikapi Hisab-Rukyat Ramadan

Kemanusiaan itu tak akan hadir, kecuali fanatisme keberagamaan sudah hilang dari dalam diri kita. Sayangnya, kemanusiaan itu sendiri seringkali dianggap sesuatu yang tabu. Memberangus fanatisme itu artinya kita mengharapkan kemanusiaan. Sedang mengharapkan kemanusiaan, itu artinya kita mengedepankan toleransi. Musuh terbesar toleransi adalah fanatisme. Fanatisme sendiri tidak inheren dalam agama, melainkan murni penyakit para pemeluk agama.

Karenanya, ketika intoleranis terjadi, merekalah yang mesti ditegur, bukan agamanya. Lalu bagaimana cara membendung intoleransi keberagamaan sementara ia sendiri tak diajarkan oleh setiap agama? Yang dapat kita lakukan adalah pelurusan doktrin, juga peneguhan kembali moderasi beragama. Kasus-kasus seperti di atas tidak akan terjadi, jika pandangan moderat tertanam dalam diri setiap umat. Itulah musuh terbesar toleransi kita yang darinya, politik identitas tak terelakkan.

Intoleransi dalam Masyarakat

Telah banyak contoh intoleransi. Artinya, masyarakat kita banyak yang tidak siap menghadapi perbedaan. Nuansa keberagamaan kita cenderung masih hitam putih. Yang berbeda maka salah, yang seragam dipaksa tegakkan. Umumnya, rumah ibadah menjadi pelampiasan. Rumah Tuhan menjadi sasaran dari egoisme keberagamaan pelaku intoleransi. Melihat kasus yang terjadi, tampaknya masyarakat kita melakukan aksi intoleran juga dipengaruhi motif balas dendam.

Setiap ada kasus intoleransi umat Islam, umat Kristen juga mengalami, meski di lain tempat dan di waktu yang tepaut jauh beda. Yang terakhir ini cukup rumit. Sebab, terjadinya bergantung pada seberapa kecil perilaku intoleran terjadi. Jika faktanya besar, ia pun juga demikian. Sebagai musuh besar bersama, langkah-langkah strategis pemerintah menjadi sesuatu yang urgen. Ternyata tak hanya radikalise-ekstremisme yang mengusik keberagamaan kita, melainkan juga intoleransi.

Jika ekstremisme menuntut perombakan sistem pemerintahan atau delegitimasi, intoleransi justru menuntut keseragaman—tuntutan yang sejujurnya mustahil terpenuhi. Setiap perilaku intoleran mesti dilawan, karena selain kontradiktif dengan agama, ia berpotensi memporak-porandakan kerukunan sosial. Tentu perlawanan di sini bisa ditempuh melalui penguatan moderasi tadi. Tidak melalu dengan mempidanakan. Karena ketika bebas, mereka akan mengulanginya lagi.

Semua PR ini sejujurnya adalah masalah kita juga. Oleh karena itu, lepas tangan adalah keputusan terburuk. Intoleransi adalah PR kita. Ia adalah cobaan semua umat beragama. Terserah kita, cobaan tersebut akan kita biarkan. Atau justru kita akan saling berpangku tangan, dan tidak pernah memberikan ruang intoleran mencatut agama kita. Bersama politik identitas, intoleransi tengah menggerogoti. Apakah PR tersebut akan dibiarkan begitu saja? Tidak bisa.

Wallahu A‘lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru