28.9 C
Jakarta

PPKM: Ustaz-ustaz Terbang dan Kesejahteraan yang Terancam

Artikel Trending

Milenial IslamPPKM: Ustaz-ustaz Terbang dan Kesejahteraan yang Terancam
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Setelah seminggu PPKM darurat diterapkan, selain polemik penyekatan anggota Paspampres yang tengah viral, polemik ditutupnya masjid masih riuh hingga sekarang. Di Twitter, tagar ketidakpercayaan pada pemerintah terus menggema, meskipun alasannya itu-itu saja: sangat mudah untuk dibantah. Sebelumnya, saya sudah membahas ihwal pelintiran kebencian dari para pembenci pemerintahan. Berikutnya menarik diselisik, apakah polemik masjid juga karena masalah kesejahteraan?

Dengan kata lain, pihak-pihak yang keberatan dengan penutupan masjid mungkin dilatarbelakangi “sesuatu yang lain” dari niat membela masjid itu sendiri. Kepentingan terselubung tersebut terlalu sensitif untuk diungkapkan dengan bahasa vulgar. Tetapi, di tengah PPKM, yang paling merasakan dampak buruk adalah mereka yang mata pencahariannya menjadi ustaz terbang, yakni dai yang berdakwah masjid to masjid, door to door, tidak ada yang lain.

Penting dicatat di awal, tulisan ini tidak dalam rangka memojokkan para ustaz dan mata pencahariannya. Namun begitu, penutupan masjid sementara yang dibenturkan dengan ketaatan pada Islam, sama halnya dengan mempertentangkan takut kepada Allah atau pada Corona, bergulir ibarat bola api yang ujung-ujungnya membakar kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Apakah PPKM, dengan demikian, dapat dianggap kebijakan yang mengancam kesejahteraan?

Begini kabar yang beredar di Facebook, saya tulis versi asli:

MUI Sumbar Siap Memerdekakan Masjid dari Penjajahan Aparat Covid. Menjaga Prokes di Masjid Lebih Mudah Dari Pada di Mall !!! Kenapa Selama Ini Masjid Ditutup Tapi Mall Dibuka !? Pulkam Lebaran Dilarang Tapi Wisata Dibuka !?!? Shalat Idul Adha Dilarang tapi TKA China Terus Datang !?!?!? #AyoRevolusiMerdekakanMasjid.

Hanya karena satu polemik, yakni penutupan masjid selama PPKM, Covid-19 dianggap hoaks dan tenaga kesehatan dicampakkan perjuangannya. Masjid disandingkan dengan mall, dan lebaran disandingkan dengan wisata. Sementara Hari Iduladha, yang sebentar lagi tiba, disandingkan dengan TKA China. Mengapa narasi tersebut meski sangat dangkal dan irasional masih banyak diterima warganet? Apakah juga terancamnya kesejahteraan tokoh-tokoh tertentu menjadi musabab?

Memakmurkan atau Dimakmurkan Masjid?

Jelas, mendengar itu, pasti ada yang tersinggung. Tetapi kenyataan bahwa sebagian orang bergantung kepada masjid tidak dapat disangkal. Masalahnya meski sejumlah aktivitas luring ditutup: lembaga pendidikan dan rumah ibadah, pendidikan masih bisa dilakukan secara daring dan insentif para pendidik tetap berjalan. Jadi sekalipun mereka bergantung, satu-satunya, pada profesi mengajar, itu sudah cukup seperti hari-hari sebelum Corona, tidak berkurang apa pun.

Berbeda dengan ustaz terbang yang, mohon maaf, jika masjid ditutup meski sekadar satu bulan saja, akan mengalami krisis finansial. Fakta ini tidak bisa dipandang sebelah mata. Sama halnya dengan kenapa tukang becak protes keras dengan pemblokiran akses jalan; karena mau ada Corona atau tidak, mereka harus mendapat penghasilan. Dari situ bisa disimpulkan, suatu kebijakan akan efektif dan tidak diprotes bila jaminan-jaminan kepada sejumlah kalangan juga pemerintah akomodasi.

BACA JUGA  Potret Komunikasi Radikal di Indonesia

Ada dua alasan mengapa polemik ini tidak akan bisa, atau bisa tapi sulit, untuk selesai. Pertama, provokasi pembenci. Bagian sudah akut dan tidak ada jalan keluarnya. Para pembenci dan oposan akan terus melakukan apa pun untuk mendiskreditkan pemerintah. Utamanya dalam hal yang berkaitan dengan keagamaan, itu menjadi lading bagi mereka memanen kebencian masyarakat terhadap pemimpinnya. Kedua, terancamnya kemakmuran ustaz-ustaz terbang.

Narasi protesnya mungkin akan mirip yang pertama, namun ia sama sekali berbeda. Mereka memprotes bukan karena landasan ideologi, melainkan desakan pragmatis. Karenanya, ini menjadi catatan bagi para pemangku kebijakan untuk memberikan jaminan kepada kalangan seperti ustaz terbang dan atau yang sejenis itu, selama PPKM berlangsung. Mereka tidak sepenuhnya bisa disalahkan, kendati virus tidak terkontrol sekalipun, finansial bagi mereka lebih urgen daripada kebijakan.

Dengan demikian, agar terhindar dari polarisasi, agar yang protes karena ideologi dan karena , agar dua alasan tadi menemukan pemecahannya, hanya ada satu cara: kendati masjid ditutup, makmurkan dan sejahterakanlah mereka!

Kesejahteraan Para Radikalis

Covid-19 adalah tekanan yang memaksa seseorang untuk, sering kali, bertindak out of the box. Banyak yang wafat, lalu yang hidup menjadi peduli gaya hidup dan pola makan. Banyak yang kehilangan pekerjaan, lalu lainnya segera berbenah untuk berinovasi maupun menghemat diri. Satu yang tidak berubah, yaitu mereka para musuh negeri, yang sejak sebelum Corona sampai hari ini, selalu memanfaatkan segala cara untuk memecah-belah bangsa.

Ini yang harus diwaspadai, karena di tengah pandemi, aksi mereka tidak berkurang dan hanya semakin senyap. Provokasi antarsesama melalui media sosial, melalui perang tagar di Twitter misalnya, itu hanya bukti kecil dari gerakan bawah tanah (underground movement) dalam bidang pendidikan, dakwah, maupun ekonomi. Dalam hal pendidikan, mereka sejahtera melalu jejaring yayasan binaannya. Mereka tidak mengalami kerugian, meski masyarakat tengah hidup dalam penderitaan.

Di sektor ibadah, mereka sejahtera membentuk kader melalui indoktrinasi di ruang-ruang dakwah. Maka mustahil bagi mereka berhenti, dan jika masjid ditutup, bagi mereka itu adalah penghambatan dakwah dan segala cara harus ditempuh untuk menggempurnya. Namun, ironisnya, mereka tidak memakai tangan sendiri. Mereka menyadari bahwa yang butuh bisyarah adalah para ustaz terbang, sekalipun mereka cinta tanah air. Provokasi pun dimainkan agar lahir protes massal.

Kesejahteraan para radikalis tidak terancam, tetapi mereka mengancam integritas pemerintah sebagai pemangku kebijakan. Sementara di sisi yang lain, kesejahteraan ustaz-ustaz terbang terancam jika kebijakan pemerintah tidak mengakomodasi mereka. Di situ tampak jelas ada lubang hitam untuk mereka terperangkap jeratan radikalis. Akhirnya, bahkan ustaz yang terkenal moderat pun ikut memprotes pemerintah—seolah mereka berkomplot dengan radikalis, kendati kenyataannya tidak.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru