31.4 C
Jakarta

PPKM dan Penutupan Masjid: Pelintiran Terhadap Pencegahan Kemudaratan

Artikel Trending

Milenial IslamPPKM dan Penutupan Masjid: Pelintiran Terhadap Pencegahan Kemudaratan
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Sering kali keinginan untuk beraktivitas secara normal, beribadah tanpa pembatasan, membuat seseorang melakukan pelintiran kebencian. Di Twitter, Yaqut Cholil Qoumas jadi trending melalui tagar #MenagRasaKomunis. Itu gara-gara ketegasan Yaqut memutuskan penutupan masjid selama masa PPKM, bahkan meniadakan salat Idul Iduladha di masjid. Narasi-narasi buruk berseliweran, mengabaikan fakta bahwa di tengah pandemi, mencegah kerumunan adalah keniscayaan.

Menutup masjid bukan berarti mendiskreditkan umat Islam. Dalam Fikih, ada kaidah bahwa “Dar’u al-mafasid muqaddamun ‘ala jalb al-mashalih (Mencegah kemudaratan lebih didahulukan daripada sesuatu yang mendatangkan manfaat)”. Salat berjemaah di masjid akan merupakan jalb al-mashalih: pahala bertambah, lebih khusyuk, dan hukumnya sunah. Tetapi jika kerumunan berjemaah berpotensi menularkan virus, mencegah kemudaratan tersebut hukumnya wajib.

Jika pun masjid merupakan tempat terbaik dan amalan di dalamnya berstatus mustahabb (disukai Nabi), di tengah pandemi statusnya menjadi terlarang (mahzhurat). Sebagai gantinya, salat berjemaah bisa dilakukan di rumah bersama keluarga. Keutamaan masjid adalah perihal keutamaan tempat, sementara kualitas salat kita tidak akan berkurang selama di rumah, berjemaah juga digelar. Pahalanya, insyaallah, sama. Tetapi, kenapa masih ada yang menyebarkan kebencian dan kecurigaan?

Jawabannya adalah: politik. Pihak-pihak yang membenci pemerintah dan segala kebijakannya berusaha memprovokasi masyarakat agar benci terhadap pemerintah—yang sejak semula mereka tuduh anti-Islam. Penutupan masjid lantas dipelintir, bukan sebagai strategi pencegahan penularan Covid-19, melainkan mendiskreditkan umat Islam. Kendati mereka, para provokator, menyadari bahaya virus, namun demi politik, upaya dar’u al-mafasid pun mereka abaikan.

Penutupan Masjid Sebagai Dar’u al-Mafasid

Penutupan masjid bukan hanya ada di Indonesia. Jadi kalau ada tokoh yang menganalogikan kenapa took-toko, mall dan tempat wisata tidak ditutup, maka mereka mudah terbantahkan dengan ditanya balik: kenapa mereka tidak mengkritik Arab Saudi yang menerapkan kebijakan serupa. Mereka, para pemelintir, mudah juga untuk tersingkap kedoknya, bahwa sejatinya, mereka hanya ingin memojokkan pemerintah. Apa pun, baik dan buruk, jika dari pemerintah, jadi buruk di mata mereka.

Semua orang menyadari bahwa mencegah kemudaratan itu wajib karena menyangkut kemaslahatan umum. Di tengah lonjakan pandemi seperti sekarang, menutup masjid adalah menutup celah malapetaka. Seperti halnya sesuatu yang haram menjadi mubah di saat-saat tertentu, yang wajib juga menjadi sebaliknya, di masa-masa yang memudaratkan. Penutupan masjid sebagai dar’u al-mafasid merupakan keputusan yang representatif dengan melihat keadaan sekarang.

Pencegahan kemudaratan mesti menjadi perspektif bersama, agar yang menjadi sudut pandang bukanlah penutupan masjidnya. Sudut pandang tersebut jelas memengaruhi sikap, apakah akan pro atau kontra. Sementara sektor-sektor ekonomi memang harus tetap berjalan karena jika berhenti, kita akan masuk ke pintu mudarat yang lain. Jadi jika seseorang kukuh enggan mengikuti prokes dan aturan PPKM, ia bukan sedang membela agama, melainkan mempertontonkan kebodohannya.

BACA JUGA  Wahabi dan Ba’asyir; Propaganda Polarisasi Umat yang Harus Diwaspadai

Dalam Fikih, ada kaidah, “Al-dharar al-asyadd yuzalu bi al-dharar al-akhaff (Mudarat yang lebih besar harus dihindari dengan memilih mudarat yang lebih besar)”, “Yuktaru akhaffu al-dharurain (Darurat yang lebih ringan mesti jadi pilihan)”, “Idza ijtama’a al-dhararani usqitha al-akbar li al-ashghar (Jika ada dua kemudaratan berkumpul, maka yang lebih besar ditinggalkan untuk melakukan yang lebih kecil)”, dan masih banyak kaidah lainnya.

Syariat itu ringan, dan Allah swt menghendaki umat melakukan yang mudah darinya—menghindari sesuatu yang menyusahkan. Al-Qur’an menegaskan hal itu. Penutupan masjid bukan sesuatu yang dipercekcokkan, justru harus disikapi secara kompak agar pandemi segera berakhir, atau paling tidak kasusnya tidak melonjak seperti sekarang. Apakah dengan demikian, pelintiran akan ikut berakhir juga? Pertanyaan bagus.

Narasi-narasi yang Memelintir

Tidak mudah untuk membendung narasi yang memelintir kebenaran, karena pelakunya memang bertindak demikian demi memantik keonaran. Kalau masyarakat tidak lagi percaya pemerintah, mereka menuai keberhasilan. Dan sebaliknya, jika masyarakat kompak menaati kebijakan PPKM, umpamanya, dan Covid-19 menjadi terkendali, mungkin mereka akan kalah tetapi tidak akan menyerah; mencari cara yan lain. Semua pelintiran dibuat untuk melahirkan keributan.

Misalnya, ada narasi yang beredar, bahwa penutupan masjid ditempuh pemerintah karena tidak merugikan Negara. Artinya, masjid menjadi kambing hitam, karena untuk menyalahkan sektor perekonomian juga tidak mungkin dilakukan. Apa pun yang terjadi, ekonomi harus tetap jalan. Maka jika ada lonjakan kasus, yang disalahkan adalah kerumunan tempat ibadah.

Narasi-narasi seperti itu tampak benar. Jika tidak teliti, kita akan percaya. Tetapi menganalogikan mall dengan masjid adalah qiyas ma’a al-fariq, analogi yang pincang. Baik karena berbeda dari fungsi maupun kebutuhan terhadapnya. Kalau kita menyamaratakan kerumunan dan menutup total, kita bukan hanya mati karena virus, tapi mati kelaparan. Dari dua kemudaratan tersebut, mana yang laik kita pilih? Maka sesuai kaidah, kita memilih yang lebih ringan.

Di tengah pandemi, berdasarkan laporan BNPT, radikalisasi menguat di media sosial. Pelintiran dalam segala jenisnya merupakan bagian dari radikalisasi itu. Mengapa demikian? Karena jika pemelintiran berhasil, dan masyarakat membenci pemerintah karena dianggap mendiskreditkan umat Islam, lalu masyarakat tidak lagi percaya semua kebijakan pemerintah, maka kita hanya perlu menunggu waktu untuk kemenangan mereka.

Apakah kita rela persatuan bangsa terpecah oleh ulah mereka? Jika tidak, maka jangan biarkan hal buruk itu terjadi.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru