Harakatuna.com. Jakarta-Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menyebut penggunaan virtual currency dapat mengancam dunia keuangan dan mengerek risiko kejahatan keuangan.
Kepala PPATK Kiagus Ahmad Badaruddin mengatakan penggunaan virtual currency dapat mempertinggi risiko kejahatan keuangan, yakni pendanaan terorisme dan juga pencucian uang.
“Selain tindak pidana pencucian uang (TPPU), pelaku tindak pidana pendanaan terorisme (TPPT) juga memanfaatkan adanya inovasi keuangan digital, seperti penghimpunan dana melalui crowd funding, dan penggunaan virtual currency sebagai sumber kegiatan terorisme,” kata Kiagus seusai menyelenggarakan rakor PPATK di Jakarta, Selasa (21/1).
Menurut Kiagus, perkembangan teknologi digital saat ini juga dapat memicu berbagai upaya pencucian uang. Bahkan, ia menyebut dunia tengah memasuki ‘era digital money laundering‘.
Dengan demikian, pelaku kejahatan kini tidak lagi melakukan kejahatan keuangan dalam bentuk uang tunai ataupun berbagai jenis aset. Melainkan, dengan memanfaatkan teknologi informasi yang berfungsi untuk mengelola dana ilegal tersebut.
“Interaksi antar manusia tidak lagi dapat dilihat secara nyata, uang dan mekanisme transaksinya berada pada dunia maya, tidak kelihatan tapi nyata,” ungkapnya.
Permasalahan money laundering dapat menimbulkan masalah domestik, seperti mempersulit pengendalian moneter, dan juga mengurangi pendapat negara. Tak hanya itu, money laundering juga mempertinggi risiko negara (country risk), sehingga berpotensi menciptakan instabilitas sistem keuangan ataupun perlambatan pertumbuhan ekonomi.
Oleh karena itu, ia pun mendorong semua pihak, termasuk PPATK dalam mengoptimalkan penentuan arah kebijakan dalam upaya pencegahan dan pemberantasan TPPU dan TPPT di Indonesia.