25.6 C
Jakarta

Post-Truth; Matinya Otoritas Keilmuan dan Kesalehan Masyarakat Virtual

Artikel Trending

KhazanahOpiniPost-Truth; Matinya Otoritas Keilmuan dan Kesalehan Masyarakat Virtual
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – “Ada sikap jera kepada keyakinan (atau ketakaburan) sains dan teknologi yang mengklaim bisa memecahkan segala persoalan. Tiap zaman memang butuh penangkal, sebab pengalaman mengajarkan, sejarah selalu bergerak (katakanlah ‘korban’) dengan membawa korban”. Begitu Goenawan Mohamad memberikan sebuah pengantar untuk buku terbaru F. Budi Hardiman, Aku Klik Maka Aku Ada, dalam Catatan Pinggir-nya, Tempo, 13-19 September 2021.

Penggalan pengantar masygul itu menggambarkan suatu kondisi mutakhir transisi homo sapiens ke dalam homo digitalis . Ada cengkeraman kuat teknologi, hingga, mirisnya, membawa korban. Teknologi menarik orang-orang lebur dari realitas nyata ke maya tanpa sekat-sekat primordial. Sebuah realitas yang digambarkan melalui tesis Yasraf Amir Piliang  sebagai “Dunia yang Dilipat”.

Dalam “Dunia yang Dilipat”, manusia  bebas berselancar membangun interaksi dengan sesamanya. Laiknya suatu komunitas masyarakat, terjadi komunikasi yang begitu intens. Komunikasi yang bermula bahasa, berakhir bahagia bahkan luka. Saling mempertemukan individu yang tak saling kenal, lalu mengenal, hingga intim, atau bahkan sebaliknya, saling membenci.

Ia replika dari sebuah masyarakat nyata, kata Howard Rheingold saat menggambarkan kondisi itu sebagai konsep komunitas virtual (virtual community) pada 1993. Menurut konsep Rheingold, masyarakat virtual adalah replika masyarakat di dunia nyata. Masyarakat virtual atau maya itu juga beraktivitas, juga berkegiatan layaknya masyarakat nyata, mulai dari menjalin pertemanan, reuni, mencari kerja, pacaran, atau kegiatan lainnya.

Dalam masyarakat virtual, sistem pengetahuan baru dibangun lewat kreasi individu. Mewartakan peristiwa trivial yang terjadi di belahan dunia dalam sekejap mata. Terjadi pemangkasan jarak. Individu bebas berekspresi tanpa tedeng aling-aling. Mengumbar segala bentuk citra diri. Dari sesuatu yang bersifat privat lalu berubah menjadi eksklusif.  Ini kian meneguhkan suatu pernyataan yang  jelas berkelindan, bahwa gawai yang kita pakai ternyata juga memakai kita.

 Labilitas Masyarakat Virtual

Kita hidup di zaman pasca-kebenaran (post-truth), di mana fakta-fakta objektif kurang berpengaruh dalam membentuk opini publik daripada tarikan emosi (appeal to emotion) dan keyakinan pribadi. Fakta yang digandrungi masyarakat maya adalah fakta yang bersifat subjektif daripada yang objektif. Dengan kata lain, subjektivitas informasi yang dikemas secara menarik di dunia maya telah mengalahkan fakta objektifnya.

Pasca-kebenaran setidaknya telah menjawab kebutuhan dasar jiwa manusia. Nietzsche dengan amat jeli menangkap kenyataan ini, yang kemudian dikembangkan oleh Sigmund Freud dalam sebuah ajarannya, self-defense mechanism: kebutuhan untuk merasa benar. Atau diformulasikan secara lain : kehendak tak mau salah.

Kita patut meratap sedih mengelih ingar-bingar kehidupan dunia virtual mutakhir yang kian riuh itu. Sesak dengan pelbagai macam hasrat manusia. Ada semacam kehendak untuk ‘berkuasa’. Hasrat manusia dengan segala maujudnya telah merupa serigala bagi yang lain (homo homini lupus). Mereka menawarkan pengetahuan berpamrih legitimasi pengagungan diri. Arena sublimasi klaim diri paling benar (truth claim) lewat pengejawantahan kreasi pengetahuan semacam itu.

Menarik apa yang dinyatakan Arief Budiman (1991) ketika melihat suatu pengetahuan tidak lagi bersifat absolut dan universal. Ia merujuk suatu kondisi ketika pengetahuan manusia sudah dicampuri perasaan, kepentingan, dan faktor-faktor subjektif dari individu si pemikir. Pengetahuan macam ini, baginya, berubah menjadi ideologi.

Sejenis pengetahuan yang memang dipakai untuk menipu orang demi kepentingan si penganut atau penganut ideologi tersebut. Ideologi merupakan hal yang bersifat subjektif, karena itu, ia salah (Arief Budiman; 1991).

Dengan demikian, mereka yang tak sejalan pemikirannya, dituduh menyimpang. Seolah memahami segala sesuatu, ia pun  dengan pongah mengumbar sesuatu yang diyakininya benar, termasuk pengetahuan agama. Suatu kenyataan hidup yang telah menjadi entitas tak terpisahkan dari dinamika kehidupan beragama selama ini.  Di sinilah seiring zaman pasca-kebenaran, terjadi  semacam reduksi informasi dan pengetahuan keagamaan sedemikian rupa.

Biar bagaimanapun, isu agama, dalam tilikan teolog Lutheran Paul Tillich, disebut sebagai The Ultimate Concern.  Hal yang begitu mendalam memengaruhi jiwa, dan emosi manusia. Karenanya, isu agama ketika dibawa  ke ruang virtual  sering kali  memicu tendensi sensitivitas yang begitu tinggi.

BACA JUGA  Tipologi Quadripolar: Sebuah Jalan untuk Memahami Hubungan Umat Beragama

Setidaknya ini menjadi alasan mendasar mengapa dunia virtual di satu sisi menjadi ladang gembur tumbuh suburnya benih radikalisme, ujaran kebencian (hate speech), dan menebalnya hasrat manipulatif seiring kemunculan dai-dai baru yang membikin subtil ujaran kebenciannya melalui dalil-dalil.

Ia tak henti-hentinya menerungku masyarakat. Mereka digiring terhadap sikap keberagamaan yang begitu banal melalui doktrin fanatisme buta, yang justru kian memunculkan sikap anti realitas. Sebuah sikap yang pada gilirannya akan memantik sikap penyeragaman dengan menumbalkan wawasan kemanusiaan seiring dengan adanya konsep kebenaran dan keselamatan yang dibawa.

Berita tentang keselamatan, misalnya, dikemas dengan daya persuasif yang begitu tinggi.  Sehingga masyarakat virtual nantinya dapat  terpengaruh. Pun demikian meski tidak, mereka akan melakukan tindakan pemaksaan terhadap orang lain untuk mengikuti keyakinannya, sekaligus mendorong untuk bersikap eksklusif dengan menolak dan membenci keyakinan di luar dirinya.

Sejalan dengan wacana keselamatan, apa yang disebut sebagai “mazhab konsep keselamatan eksklusif” dalam terminologi Komaruddin Hidayat (2021), dapat merepresentasikan narasi keselamatan yang beredar belakangan ini di media sosial. Konsep keselamatan eksklusif menghendaki adanya keselamatan hidup setelah mati yang hanya bisa diraih melalui jalan keyakinan agama yang dianutnya.

Dengan kata lain, mereka yang menganut konsep keselamatan eksklusif, akan menganggap keyakinan di luar agama tidak dapat mendatangkan keselamatan. Padahal, ragam kebaikan dan kebenaran tidak hanya datang dari jalan keyakinan terhadap agama saja.

Banyak hal yang dapat dilakukan di luar keyakinan agama yang dapat mendatangkan keselamatan setelah kematian. Menunaikan kebaikan kepada orang lain, misalnya, sudah menjadi keyakinan akan mendatangkan keselamatan kelak.

Menafsiri agama dengan segala dimensinya secara tekstual menjadi salah satu sumber sikap eksklusif beragama. Kemunculan dai-dai baru yang tidak mampu merefleksikan dan memikirkan makna terdalam agama secara komprehensif menjadi masalah yang tak terperikan.

Apalagi memahami agama tidak diiringi dengan wawasan kebangsaan. Alih-alih mewartakan keselamatan dan menyebarkan pengetahuan, justru membikin masyarakat kita gaduh dan terjatuh ke dalam lembah hitam kebencian.

Kenyataan semacam ini seolah turut mengonfirmasi kekhawatiran Goenawan Mohamad di atas. Bahwa perkembangan teknologi informasi di satu sisi malah memakan korban seiring tidak adanya penyaringan terhadap pengetahuan (keagamaan) yang beredar di media sosial.

Ancaman atau Peluang

Era pasca-kebenaran merupakan suatu ancaman, sekaligus peluang. Jika peluang tidak dimanfaatkan, ia akan menjadi ancaman karena karakter new media yang cenderung lebih banyak bersandar pada citra, pengemasan, dan kecepatan. Siapa dan apa latar belakang sumber pengetahuan, tidak begitu dipersoalkan. Terpenting ia mempunyai banyak pengikut (followers). Di titik ini ia menjelma otoritas baru sumber pengetahuan keagamaan. Otoritas yang didasarkan pada rating, bukan otoritas substantif keilmuan.

Kata kunci penting era ini adalah keterbukaan dan partisipasi. Siapa pun mereka berhak mendefinisikan agama dan menyampaikannya ke ruang publik dunia maya. Ia bisa menjadi bagian  dari eksistensi, ideologi, pasar, atau kepentingan lain. Maka, pengetahuan keagamaan yang bersifat objektif harus hadir lewat para akademisi dan ulama yang otoritatif.

Ini penting dilakukan agar tidak ada rezim tunggal  dalam produksi pengetahuan keagamaan. Kebenaran pada era post-truth merupakan kebenaran yang kontestatif dan diperebutkan. Maka kehadiran dan keterlibatan muslim schoolars dalam diseminasi gagasan dan pengetahuan keagamaan menjadi begitu penting. Tujuannya bukan kontestasi itu sendiri, melainkan bagaimana agama dan tradisi keagamaan tidak dikikiskan oleh kepentingan-kepentingan partisan dan pengetahuan-pengetahuan yang dangkal.

Akhirnya, kesalehan masyarakat virtual tercipta jika Kesarjanaan Muslim juga mempunyai tanggung jawab moral untuk melindungi umat dari kooptasi pengetahuan keagamaan yang otoritatif. Ini semua bisa diartikulasikan dengan mempertimbangkan karakter new media dan bahasa yang relevan dengan target sasaran.

Muhammad Ghufron
Muhammad Ghufron
Mahasiswa Sosiologi Agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, bergiat di Jurnal Moderasi Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam, Komunitas Lensa Sosio-Agama. Tinggal di Bantul, DI Yogyakarta.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru