28.2 C
Jakarta
Array

Post-Islamisme sebagai Strategi Politik (Bagian II)

Artikel Trending

Post-Islamisme sebagai Strategi Politik (Bagian II)
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Masih dalam wilayah diskursus, post-Islamism juga dapat dimanfaatkan untuk menjelaskan munculnya ‘resistensi’ Islamis muda –tentu dengan strategi yang berbeda– untuk mengimbangi atau melawan arus liberal di kalangan anak muda Islam. Secara umum, mereka ini dapat diwakili oleh segolongan anak muda terpelajar yang tergabung dalam Institute for the Study of Islamic Thought and Civilization (INSISTS) yang berbasis di Jakarta. Mereka rata-rata sarjana S2 dan S3 di International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC) – International Islamic University Malaysia (IIUM) Kuala Lumpur, Malaysia, setelah menjalani pendidikan pesantren mereka di Gontor.

Yang menarik dari kelompok ini adalah mereka telah meninggalkan strategi klasik yang memang tidak dapat mengimbangi arus liberal secara berimbang. Mereka beralih pada strategi yang lebih elegan dan akademik. Mereka melawan arus liberal yang hanya bergerak secara diskursif dengan cara diskursif pula, meski isu yang mereka usung lebih bersifat reaksioner.

Jika kalangan Islamis lainnya menolak arus liberal ini dengan ceramah, khutbah, kutukan, menghardik, serta cap-cap kafir dan murtad, mereka mampu menahan diri dan memanfaatkan pengalaman akademik mereka. Mereka menulis berbagai buku yang mencerminkan ide mereka, serta menerbitkan jurnal Islamia sebagai wahana sosialisasi ide. Mereka mau mengorbankan banyak waktu membaca buku-buku dan sumber Barat yang banyak digunakan kalangan liberal, dan kemudian balik melawan.

Tentu saja, bahasa tidak menjadi persoalan signifikan buat mereka, sementara ini yang menjadi kendala besar bagi pendahulu-pendahulu mereka. Meski ide mereka tidak berbeda dengan pendahulunya, cara mereka mengolah kontra wacana cukup terorganisir. Tampaknya, tongkat estafet Rasyidi yang sendirian melawan arus liberal secara diskursif pada tahun 70-an, baru berpindah tangan ke kelompok post-Islamist muda ini.

Berbagai fenomena post-Islamism ini merupakan kemajuan tersendiri yang patut dihargai, mengingat mereka telah meninggalkan tradisi kekerasan –lisan maupun fisik– di kalangan Islamis dan beralih ke cara yang lebih terhormat dan elegan. Namun, akankan gerakan ini akan selalu dan setia bertahan di tingkat ini? Kasus Taliban di Afghanistan membuat para pengamat sangat ragu terhadap konsistensi post-Islamism.

Semula, Taliban mengikuti sistem politik nasional yang dibangun oleh kelompok lain dengan berpartisipasi dalam pemilu, namun ketika berkuasa, berbagai kekerasan dan penindasan terhadap perempuan misalnya sangat kasat mata. Meski belum ada bukti konkrit tentang ini di Indonesia, mengambil kasus Afghanistan, tentu tetap ada keraguan terhadap konsistensi gerakan post-Islamism. Karena itu, fenomena ini boleh jadi dapat dibaca dan dijelaskan dalam bentuk lain.

Penulis mengamati bahwa gerakan Islamisme di Indonesia berlangsung nyaris sempurna dan sistematis. Meski memiliki sejarah dan afiliasi teologis yang sedikit berbeda, akan ada suatu titik di mana mereka akan bertemu dan menyatukan barisan. Berbagai gerakan politis atau apolitis mereka di berbagai sudut, meski tidak disistematisasikan sedemikian rupa, dapat memunculkan sebuah analisis bahwa sebuah strategi tingkat nasional, sedang berlangsung saat ini.

Setelah gagal membawa isu Piagam Jakarta paska reformasi, gerakan Islamisme nampaknya melakukan pembagian tugas. PKS sepertinya bertugas di wilayah politik resmi, tanpa mesti menyuarakan isu Piagam Jakarta atau negara Islam. Di wilayah politik bawah tanah, HTI lantang menyuarakan isu khilafah Islam sebagai opsi terbaik bagi Indonesia dalam menyelesaikan berbagai persoalan bangsa yang multi-dimensi.

Di wilayah diskursus, INSISTS sangat siap menjalankan tugasnya. Sementara itu, kalangan Islamis garis keras seperti FPI dan sebelumnya Laskar Jihad, menjadi kelompok penekan atau pressure groups, yang dalam tingkat tertentu berhasil melakukan tugasnya. Semua gerakan ini akan bertemu pada satu titik; negara Islam atau Indonesia berdasarkan Syari’ah Islam.

Sengaja atau tidak sengaja, strategi ini sedikit banyak telah membuahkan hasil. Kelompok-kelompok ini nampaknya ‘berhasil’ memanfaatkan kebijakan otonomi daerah yang sebenarnya dimaksudkan untuk memberi kebebasan kepada daerah untuk mengatur wilayahnya sehingga kue pembangunan dapat dirasakan lebih merata. Berkat kebijakan otonomi daerah paska reformasi, beberapa daerah Tingkat I dan II berhasil meloloskan Syari’ah Islam sebagai ‘hukum positif’, meski terdapat perbedaan tingkat dan interpretasi.

Keberhasilan ini sedang diikuti oleh beberapa daerah lainnya, sehingga keadaan ‘desa mengepung kota’ memang sedang berlangsung saat ini. Meski ‘jualan’ Syari’ah ini juga dijajakan oleh beberapa partai sekuler lainnya demi menambah konstituen, keadaan ini sedikit banyak menjelaskan strategi tingkat nasional itu. Namun, faktual atau tidak strategi tingkat nasional ini, mesti ada komitmen bersama dalam berpolitik, yaitu bahwa model kekerasan mesti ditinggalkan secara kaffah dalam semua strategi politik yang sedang dijalankan.

Berdasarkan berbagai fenomena ini, para pengamat mungkin hanya akan berkata bahwa post-Islamism nampaknya hanya akan menjadi strategi politik sesaat. Kasus Afghanistan menjadi pelajaran yang sangat berharga bagi para pengamat. Tidak heran jika kemenangan Islamic Salvation Front (FIS) di Aljazair yang memenangkan pemilu putaran pertama 1991 secara demokratis mesti dibatalkan dengan kudeta militer, atau Amerika yang menetapkan berbagai standar ganda untuk menghindari kemenangan partai populis Islam di berbagai negara di Timur Tengah.

Dalam konteks ini, penjelasan Kepel, Roy (1999) dan Piscatori (1999) tentang post-Islamism masih dapat digunakan karena mereka membatasi istilah ini pada perubahan sikap partai Islamis untuk mengikuti pemilu. Namun, tesis Bayat (1996) –seperti yang penulis jelaskan dalam artikel pertama– bahwa post-Islamism menunjukkan perubahan dari ideologi Islamis yang universal, eksklusif, dan didominasi oleh kebenaran agama, ke arah pandangan yang menghargai ambiguitas, keterbukaan, pluralitas, serta kompromi, perlu dikaji kembali. Namun kasus Indonesia belum membuktikan kekhawatiran itu.

(Farid F. Saenong, Ph. D)

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru