31.8 C
Jakarta

Populer is Khilafah dan Problem Umat Islam Kini

Artikel Trending

Milenial IslamPopuler is Khilafah dan Problem Umat Islam Kini
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Ustaz Muhammad Ismail Yusanto (UIY) mengklaim bahwa problem umat Islam berada pada umat Islam sendiri. Umat Islam dianggap tidak menjalankan apa yang dipertaruhkan Islam. Misalnya, pemimpin umat Islam tidak menerapkan hukum syariat Islam.

Bahkan sejauh ini, menurutnya, umat Islam sudah telah lama tidak memiliki seorang pemimpin. Kendati, orang-orang Islam ini seperti loyo dan tidak digdaya dalam kancah politik nasional dan internasional. Karena itu pula, umat Islam menurut Yusanto, selalu tertinggal dan terus diombang-ambingkan tak tentu arah.

Klaim Searah Ismail

Padahal, menurutnya, Islam sesungguhnya bisa mengejar ketertinggalan tersebut bilamana umat Islam itu mau dan berusaha. Usaha tersebut menurutnya, adalah berusaha untuk berjuang bersama Ustaz Muhammad Ismail Yusanto, untuk mendirikan khilafah islamiyah di dunia, khususnya di Indonesia.

Untuk menerapkan khilafah di atas, menurut Ismail, harus melewati medan dakwah dengan baik. Salah satunya, dakwah umat Islam tidak hanya berseru dengan berizikir saja, sadekah saja, tetapi menyerukan untuk membuat khoiriyat (kebaikan-kebaikan) dengan bikin sekolah, bikin rumah sakit, dan tindakan sufisme, dan seterusnya.

Lebih jauh lagi, menurut Ismail, umat Islam harus bisa memahami situasi politik dan merumuskan problem umat Islam mutakhir ini. Bila bisa merumuskan pemahaman tentang situasi ini, maka akan melahirkan apa yang disebut qodhiyah masyiriyah (problem utama umat). Jika sudah memahami, wajib menyamakan persepsi arah perjuangan Islam, dengan cara dan upaya head to head (dari pemikiran ke pemikiran), dan heart to heart (dari hati ke hati), ujarnya.

Upaya menyamakan persepsi head to head dan heart to heart harus berporos pada jalan yang satu, yakni khilafah Islam. Jadi, semua umat Islam kiranya melakukan revolusi dan langkah-langkah taktis yang bisa menimbulkan gairah keagamaan di tengah umat untuk menerapkan khilafah. Permintaan terakkhir Ismail, untuk tidak mundur dari dakwah tersebut. “Harus menjelaskan pelan-pelan dengan cara silah fikriyah dan pendekatan dari hati ke hati,” pungkasnya.

Kekuatan Image Culture HTI

Apakah pesan-pesan dan klaim-klaim Ismail di atas berefek pada persoalan keagamaan di Indonesia? Sesungguhnya bila diakui secara jujur, pesan-pesan Ismail sangat berefek pada umat golongannya sendiri (meski tidak terlalu besar). Bahkan pesan-pesan dakwah Ismail hingga saat ini masih diterapkan dengan fanatik yang berlebih oleh pengikutnya. Contohnya, mereka bisa membuat sekolah dan influencerinfluencer tangguh seperti aktivis HTI di pelosok negeri.

BACA JUGA  Trik Memahami Kamuflase HTI Agar Selamat dari Propagandanya

Mereka memanfaatkkan era keterbukaan dengan mencari sebanyak-banyaknya subscribers/followers, agar menjadi orang popular, sehingga mereka berdampak terhadap masyarakat luas, dan memberikan efek, meski berefek samping. Mantra mereka adalah “popular is money”.

Lihatlah, saat ini mereka mencoba untuk membangun budaya citra (image culture) dan budaya cita rasa (taste culture) melalui stimulus visual yang menarik perhatian dan memabukkan umat Islam, sekaligus meradikalkan.

Jangan lupa, aktivis-aktivis ini memiliki kekuatan yang tidak dimiliki oleh aktivis dari ormas lain. Mereka memiliki keyakinan absolut dan kefanatikan di atas rata-rata terhadap keagamaan khilafah. Maka itu, dengan kekuatan tersebut, banyak di antrara mereka yang menjadi influencer media sosial (seperti selebgram dan youtuber) ampuh dalam rangka mewakili komunitas HTI.

Nah, kepopuleran mereka sengaja dimanfaatkan untuk menjual paham keagamaan khilafah kepada umat Islam di Indonesia. Mereka mendesain diri dengan cara meniru strategi K-pop, yaitu mengedepankan kuantitas penerimaan massal terhadap satu citra (imaji) mereka dan cita rasa (taste), dibandingkan kualitas dan moralitas keimanan yang moderat, seperti menerima keberadaan agama lain, menerima empat pilar-kebangsaan, dan tradisi yang telah mengakar kuat di Indonesia.

Hal itu yang mendorong adanya eksploitasi keagamaan, seperti muncuknya radikalisme agama, dan tipisnya rasa intoleransi terhadap sesama umat manusia di muka bumi ini. Alih-alih menancapkan pengaruh dakwah mereka terhadap kesempurnaan keagamaan, yang terjadi justru menguatkan sikap yang senada dengan prinsip beragama ala teroris yang notabene agenda Barat untuk melemahkan dan mengaburkan identitas Islam. Oleh karenanya, orang-orang pengusung Islam moderat di Indonesia harus bisa berpentas di tengah arena sub culture dan image culture HTI di atas. Sehingga jika awalnya populer is khilafah, menjadi populer is moderatisme in Indonesia.

Agus Wedi
Agus Wedi
Peminat Kajian Sosial dan Keislaman

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru