Harakatuna.com – Lakukan dua hal ini: tanyakan kepada diri Anda seberapa dalam Wahabi menancapkan pengaruhnya di negara ini, dan, kemudian ketik di Google tentang The Strong Minor Project. Sungguh, hasilnya benar-benar mengejutkan. Ternyata Wahabi sudah seberpengaruh itu. Mereka berhasil menggaet perusahaan-perusahaan besar dan artis dalam diseminasi dakwahnya. Saya menyebutnya sebagai “pop-Wahabi”.
Pop-Wahabi berasal dari frasa Popular Wahabi atau Wahabi Populer, term yang saya susun untuk menggambarkan tren dakwah Wahabi hari-hari ini. Selain perubahan nama menjadi ‘Salafi’ dan menghapus identitas ke-Wahabi-annya, ternyata orang-orang Wahabi telah melangkah lebih jauh daripada apa yang orang-orang NU pikirkan. Label celana cingkrang yang selalu dinarasikan nahdiyin tentang Wahabi, misal, sudah usang.
Maksudnya, Wahabi tidak hanya celana cingkrang belaka. Mereka sekarang sudah pakai batik, peci nasional, dan sarung. Apakah insaf? Jelas tidak. Itu strategi. Dakwah mereka tetap masif dan indoktrinasi Wahabisme juga tidak stagnan. Meskipun tidak punya jemaah puluhan juta seperti NU dan Muhammadiyah, dan menjadi minoritas di Indonesia, Wahabi survive. Anda pikir, apa itu The Strong Minor Project?
Dilansir dari CNN (2024), The Strong Minor Project merupakan sebuah gerakan sosial yang berkomitmen untuk memperkuat identitas dan keyakinan komunitas Muslim di lingkungan minoritas. Anda pikir, apa yang dimaksud “identitas dan keyakinan komunitas Muslim”? Jawabannya: Wahabi. Lalu apa maksud “lingkungan minoritas”? Jawabannya: Indonesia. artinya, Wahabi Indonesia tengah bertransformasi ke pop-Wahabi.
Inilah tantangan yang belum disadari oleh para stakeholder terkait di tanah air. BNPT, saya yakin, belum kepikiran ke situ. Densus 88 apalagi. Mereka terlalu sibuk dengan kegiatan formal untuk eks-napiter dan kerap abai bahwa indoktrinasi Wahabisme yang mengincar generasi Muslim di negara ini adalah ancaman besar untuk masa depan. Karena itulah, pop-Wahabi perlu direspons sebagaimana seharusnya.
Wahabi dan Manhaj Salaf Palsu
Subhan Bawazier, salah satu ustaz Wahabi, punya gerakan ‘Bikers Sunnah’. Dia populer dan memiliki banyak jemaah, juga kerap mengisi kajian dengan dalih mengajarkan manhaj salaf. Begitu juga ustaz Khalid Basalamah. Keduanya tidak pernah mengaku Wahabi dan tidak berkenan dianggap Wahabi, sekalipun jelas-jelas bermazhab pada Bin Wahhabi pendiri Wahabi. Mereka maunya disebut ustaz pengajar manhaj salaf.
Bawazier dan Basalamah adalah dua contoh ustaz pop-Wahabi. Di kalangan generasi muda Muslim, keduanya sangat digandrungi karena style dakwahnya yang unik. Selain keduanya, ada juga ustaz Ismail bin Musa Menk atau yang populer dengan sebutan Mufti Menk. Ia adalah ulama asal Zimbabwe yang kerap menjadi pembicara kajian Islam kontemporer, terutama di Indonesia. Seperti Basalamah, Menk adalah lulusan Universitas Madinah.
Selain itu, ada juga Abu Taymiyyah, yang fotonya terpampang dalam banyak kajian yang digelar The Strong Minor Project. Ia adalah dai Wahabi, sama-sama lulusan Universitas Madinah seperti Basalamah dan Menk. Di X, Taymiyyah sering menyebarkan narasi dakwah tentang bid’ah khas Wahabi, namun juga sebagaimana orang Wahabi lainnya, ia tidak mau dianggap Wahabi. Maunya dianggap pengajar manhaj salaf. Salaf palsu, tentu saja.
Di situlah generasi Muslim, terutama di Indonesia, harus tahu bahwa semua dai pop-Wahabi dengan klaim manhaj salafnya adalah klaim palsu dan dusta belaka. Istilah “salaf” itu merujuk pada manhaj berislam yang ikut al-salaf al-shalih, sementara para Wahabi itu pengikut Ibnu Taimiyah (abad ke-14), Muhammad bin Abdul Wahhab (abad ke-18), serta Nashiruddin Al-Albani dan Shalih al-Utsaimin yang notabene ulama abad ke-20.
Dai-dai pop-Wahabi itu ternyata tidak hanya mengklaim manhaj salaf demi menutupi identitas aslinya sebagai Wahabi, tetapi juga mengeksploitasi istilah “Ahlusunah wal Jama’ah”. Padahal, sekali lagi, mereka bukan Aswaja, melainkan Wahabi. Ahlusunah wal Jama’ah bermanhaj kepada ulama salaf dan ulama khalaf secara imbang, tidak anti-manhaj, dan tidak suka sembarangan menafsirkan Al-Qur’an sebagaimana dai-dai pop-Wahabi.
Palsu klaimnya tentang salaf, palsu juga klaimnya tentang Aswaja. Itulah Wahabi. Pengikut salaf yang asli seperti Gus Baha misalnya kalau di Indonesia, atau Grand Syekh Ahmad Tayyeb misalnya kalau di Mesir, dianggap ahli bid’ah dan ahli syubhat oleh mereka. Sementara mereka yang jelas-jelas pengikut Wahabi malah mengaku bermanhaj salaf dan kelompok Aswaja. Semua intrik licik pop-Wahabi itu tujuannya satu: indoktrinasi generasi Muslim.
Generasi Muslim dalam Bahaya
Saya melihat, bahwa hari ini, di Indonesia, ada masalah yang cukup mendasar dalam aspek sosial-keislaman: generasi Muslim memiliki ghirah yang tinggi untuk belajar Islam namun buta untuk mencari guru yang baik dan tepat untuk keberislaman mereka. Ironisnya, hal semacam itu banyak terjadi kepada pemengaruh (influencer) dan selebritas, yang kelakuannya kerap jadi kiblat anak-anak bangsa.
Tren pop-Wahabi hari-hari ini semakin memperparah ironi tersebut. Pelan tapi pasti, generasi Muslim tanah air diseret menjadi pengikut Wahabi, dan berislam secara rigid dengan antipati pada lokalitas, anti-budaya, dan suka membid’ahkan bahkan mengkafirkan sesama. Artinya, generasi Muslim kita sedang dalam bahaya besar, karena indoktrinasi Wahabi akan menjerumuskan mereka pada intoleransi, bahkan radikal-terorisme.
Tren indoktrinasi Wahabisme dan bahayanya untuk generasi Muslim boleh jadi memang luput dari sorotan publik. Sebab, kamuflase-kamuflase yang pop-Wahabi lakukan benar-benar menyilaukan, menampakkan mereka seolah yang paling benar, padahal semua klaim Wahabi atas kebenaran, tauhid, dan kemurnian Islam tidak lebih dari kedok belaka. Namun tanpa kecerdasan dan penguasaan Islam yang baik, seseorang pasti teperdaya.
Sebagai jalan keluar, generasi Muslim mesti memiliki kesadaran ihwal bahaya Wahabi. Sekalipun tidak secara langsung mengajarkan radikalisme-terorisme, namun Wahabi membuka jalan seseorang terjerumus kelompok ekstrem akibat doktrinnya yang eksklusif dan keras. Pop-Wahabi memang boleh saja hanya membahas tentang kehidupan dan tauhid. Padahal, sebenarnya, mereka sedang mengindoktrinasi Wahabisme.
Wallahu A’lam bi ash-Shawab…