Harakatuna.com – Musik, film, dan game — tiga medium yang telah menjadi bagian integral dari budaya pop global — memiliki daya tarik yang tidak dapat disangsikan. Mereka mengisi kekosongan dalam kehidupan kita, menghidupkan imajinasi, menawarkan pelarian, dan kadang-kadang membentuk realitas. Namun, di balik kilau dan hiburan yang mereka sajikan, terdapat sisi gelap yang tidak boleh diabaikan: representasi kekerasan dan ekstremisme yang disampaikan secara terus-menerus.
Tanpa disadari, budaya pop telah menjadi lahan subur bagi ideologi-ideologi kekerasan yang meresap ke dalam kehidupan kita. Pertanyaan yang muncul adalah, apakah yang kita nikmati dalam bentuk lagu, film, atau permainan ini sekadar hiburan, atau sebenarnya merupakan cermin dari kekerasan yang mulai mengakar dalam masyarakat?
Ekstremisme dalam budaya pop, atau yang laik disebut pop-ekstremisme, tidak muncul secara tiba-tiba; ia hadir sebagai refleksi dari ketidakpuasan, ketakutan, atau bahkan keinginan untuk mendapatkan pengakuan dalam dunia yang serba tidak menentu ini. Dalam banyak kasus, kekerasan yang diperlihatkan dalam musik, film, dan game bukan hanya sekadar hiburan, tetapi lebih dari itu, ia berfungsi sebagai alat untuk memperkuat pesan tertentu, sering kali yang berkaitan dengan kekuasaan, perlawanan, atau dominasi.
Musik: Dari Lirik Menantang hingga Teror dalam Nada
Mari kita awali dengan musik. Musik, dengan kekuatan emosionalnya, sering digunakan untuk menyampaikan pesan-pesan yang kuat. Dari punk rock yang penuh pemberontakan hingga rap yang sarat protes, musik menjadi bahasa global untuk mengungkapkan ketidakadilan sosial dan ketidakpuasan terhadap keadaan. Namun, belakangan ini, kita menyaksikan bagaimana genre musik tertentu mulai menyampaikan pesan-pesan yang lebih ekstrem, terutama dalam lirik yang mengandung kekerasan.
Musik rap, misalnya, dalam beberapa tahun terakhir menampilkan narasi yang mengagungkan kekerasan. Lirik-lirik yang menggambarkan perkelahian, perampokan, atau bahkan pembunuhan jadi tema yang tidak hanya diterima, tetapi diidolakan oleh penggemarnya. Ini bukan sekadar cerita fiksi, tetapi dalam banyak kasus, lirik ini mencerminkan realitas keras yang dialami oleh segmen masyarakat tertentu yang merasa terpinggirkan dan tidak memiliki saluran lain selain melalui kekerasan.
Apa yang menarik dari fenomena tersebut adalah bagaimana musik tersebut menjadi alat legitimasi bagi kekerasan dalam masyarakat. Perhatikan saja lirik dari lagu-lagu yang populer di kalangan generasi muda; banyak di antaranya mendorong ideologi ekstremis, baik yang bersifat politik, sosial, maupun religius.
Hal ini, seperti yang dijelaskan oleh Emha Ainun Najib dalam banyak tulisannya, merupakan cerminan dari kedangkalan dan kekosongan budaya dalam masyarakat modern, yang semakin terasing dari nilai-nilai luhur dan kecerdasan emosional yang mendalam. Dalam musik, kita menjumpai refleksi dari dunia yang sedang mengalami disorientasi moral dan kebingungan identitas.
Film: Kekerasan yang Dinormalisasi
Kita beralih ke film, medium yang mungkin lebih universal dan memiliki pengaruh besar terhadap cara pandang kita terhadap dunia. Dari Hollywood hingga industri film Asia, representasi kekerasan telah menjadi bagian tak terpisahkan dari narasi. Bahkan, kadang-kadang, kekerasan disajikan sebagai bagian dari pahlawan yang “benar,” yang mengalahkan musuh dengan cara yang brutal dan tanpa ampun. Film-film itu memberikan gambaran bahwa dalam menghadapi ketidakadilan atau kejahatan, satu-satunya cara untuk mengatasinya adalah dengan menggunakan kekerasan yang lebih besar.
Kekerasan yang dipropagandakan dalam sinema tidak hanya terbatas pada perjuangan fisik. Pop-ekstremisme juga dapat mencakup bentuk-bentuk kekerasan emosional atau psikologis yang lebih halus, seperti manipulasi, penindasan, dan pemaksaan kehendak. Dalam konteks perfilman, kekerasan menjadi sarana yang sah untuk mencapai tujuan tertentu, dan hal ini sering kali menyampaikan pesan yang sangat menyesatkan.
Misalnya, film seperti John Wick, meskipun populer di kalangan banyak penonton berkat alur ceritanya yang sarat aksi, pada akhirnya menyuguhkan ideologi bahwa pembalasan dendam melalui kekerasan merupakan cara yang dapat diterima untuk memperoleh keadilan. Tidak jarang, film-film semacam itu disembah oleh kelompok-kelompok Terte Game: kekerasan yang dijalankan dalam dunia maya.
Saat ini, marilah kita membahas mengenai dunia permainan, suatu dunia maya yang sarat dengan interaksi dan simulasi. Permainan, yang telah mengalami kemajuan teknologi dan grafis, telah merevolusi cara kita berinteraksi dengan konsep kekerasan. Dalam banyak permainan, terutama yang bertemakan perang atau konflik, kekerasan tidak hanya menjadi aspek dari narasi, melainkan juga menjadi elemen utama dalam gameplay. Pemain diundang untuk melakukan tindakan pembunuhan, penghancuran, dan perebutan kekuasaan, tanpa mempertimbangkan dampak moral atau etis.
Permainan seperti Call of Duty atau Grand Theft Auto memberikan kesempatan kepada pemain untuk melakukan aksi kekerasan secara langsung, mulai dari menembaki musuh hingga menghancurkan kendaraan. Di sini, kekerasan tidak semata-mata berkaitan dengan gameplay, tetapi berkaitan dengan bagaimana pemain membangun identitas mereka dalam dunia permainan. Dalam banyak situasi, pemain merasa dihargai dan mendapatkan apresiasi atas keberhasilan mereka dalam menyelesaikan misi melalui cara-cara yang sangat brutal.
Namun, lebih dari sekadar sebuah permainan, games ini juga memberikan pelajaran mengenai cara pandang terhadap dunia dengan cara yang ekstrem. Pemain sering kali diberikan narasi yang menggambarkan dunia yang terpecah, di mana satu-satunya cara untuk bertahan hidup adalah dengan menghancurkan lawan.
Ini merupakan pelajaran yang berbahaya, khususnya bagi para remaja yang rentan dipengaruhi oleh cara dunia maya dalam membentuk pola pikir mereka. Dalam dunia yang semakin terhubung, dunia maya sering kali menjadi tempat pelarian bagi individu yang tidak ingin menghadapi kekerasan dalam kehidupan nyata, tetapi malah terperangkap dalam ekstremisme digital.
Kekerasan dalam Budaya Pop dan Refleksi Masyarakat
Musik, film, dan permainan—ketiga medium ini telah berkontribusi dalam membentuk kultur populer kita. Mereka bukan hanya sekadar hiburan, namun juga merupakan cerminan dari kondisi sosial, politik, dan ekonomi yang berlangsung. Ekstremisme dalam budaya populer, yang kadang dipresentasikan dalam bentuk kekerasan, menjadi simbol dari keresahan global yang semakin meningkat.
Ketika kita menikmati film aksi yang penuh darah, mendengarkan lagu dengan lirik kebencian, atau bermain permainan yang mempromosikan kekerasan, kita harus menyadari bahwa kita sedang memperkuat pola pikir ekstrem yang dapat merusak struktur sosial.
Sebagaimana yang sering disampaikan oleh Emha Ainun Najib, budaya kita, termasuk yang hadir dalam bentuk hiburan, sangat memengaruhi arah peradaban kita. Jika kita terus membiarkan kekerasan menjadi norma dalam budaya populer, maka kita akan terjebak dalam spiral kekerasan yang tiada akhir. Tugas kita, sebagai pencinta budaya, adalah untuk merenungkan setiap pesan yang disampaikan, tidak hanya untuk diri kita sendiri, tetapi juga untuk masa depan yang lebih manusiawi.
Dalam masyarakat yang merasa bahwa dunia ini tidak adil, mereka biasanya mencari pembenaran terhadap ekstremisme. Namun, keberadaan kekerasan sebagai bentuk normalisasi tidak hanya terjadi dalam film aksi atau thriller; dalam genre lain pun, kekerasan yang lebih halus ditampilkan—seperti dalam film drama sosial atau politik—yang memperlihatkan bagaimana ketidakadilan dapat dibenarkan dengan cara yang sangat manipulatif.
Sebagai contoh, dalam film yang mengangkat isu politik atau ideologi ekstremis, penonton disuguhkan pandangan yang mendukung tindakan kekerasan terhadap pihak yang dianggap sebagai musuh ideologi. Tanpa disadari, film-film ini memberikan jalan terhadap pemahaman bahwa ekstremisme merupakan suatu bentuk perlawanan yang sah terhadap ketidakadilan.