Politisasi Sunnah
Oleh: Ustadz Abdi Kurnia Djohan*
Orang-orang awam yang baru pertama kali mengikuti kajian Sunnah, tidak pernah tahu apa itu mazhab Wahabi. Mereka hanya tahu bahwa kajian yang diikutinya itu merujuk kepada pemahaman yang diterima para sahabat dari Rasulullah. Istilah “Wahabi” diperkenalkan oleh orang-orang yang tidak sependapat dengan–bukan alergi– kajian sunnah yang disampaikan.
Lalu, apakah kajian sunnah itu salah sehingga memunculkan pandangan tidak sependapat? Pertanyaan ini hampir beda tipis, jika yang dimaksud adalah pandangan yang tidak sependapat(an).
Sebenarnya tidak ada masalah dengan istilah sunnah dan mengamalkan sunnah. Semua umat Islam harus sepakat dengan pengamalan sunnah, karena itulah ciri umat Nabi Muhammad.
Masalah muncul ketika istilah “sunnah” digunakan sebagai alat untuk membedakan atau mem-fragmentasi umat Islam dengan label ahlussunnah dan ahlul bid’ah. Pelabelan itu bukan tanpa konsekuensi. Dalam banyak kasus, pelabelan itu mendorong kalangan awam yang menerimanya untuk membangun distingsi dan jarak di antara sesama mereka.
Sampai di sini, kebenaran tidak lagi menjadi sesuatu yang bisa didiskusikan, tapi telah bergeser menjadi alat monopoli satu kelompok untuk “menghabisi” kelompok lain.
Memang benar anggapan bahwa kebenaran itu ada bukan untuk didiskusikan, tapi bukankah untuk mencapainya dibutuhkan pematangan yang dilakukan melalui diskusi? Jika kebenaran tidak membutuhkan diskusi, lalu untuk apa Al-Qur’an menggunakan kosa kota:
يتدبرون (yatadabbarun) merenungi lebih dalam
يتفكرون (yatafakkaruun) mengoptimalkan potensi pikir, dan يعقلون (ya’qiluun) memaksimalkan fungsi akal, di banyak tempat?
Jika diskusi memang tidak lagi dibutuhkan, untuk apa Imam Syafi’i mengatakan’
قولي خطأ يحتمل الصواب وقولك صواب يحتمل الخطأ
Pendapatku boleh jadi salah tapi mengandung kemungkinan benar. Dan pendapat,anda benar tapi mengandung kemungkinan salah.
*Penulis adalah dosen MKU Agama di Universitas Indonesia