33 C
Jakarta
Array

Politisasi Simbol Agama Bisa Berujung Perpecahan

Artikel Trending

Politisasi Simbol Agama Bisa Berujung Perpecahan
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com. Jakarta- Propaganda yang mencampuradukan antara politik dan agama hingga kini masih berlangsung di Indonesia. Propaganda tersebut disinyalir akan semakin kuat menjelang perhelatan Pemilihan Umum (Pemilu) 17 April 2019 mendatang.

Staf Khusus Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Romo Benny Susetyo, mengingatkan, propaganda yang mempolitisasi simbol-simbol agama sangat berbahaya bagi persatuan dan kesatuan bangsa. Biasanya propaganda semacam itu muncul sebagai akibat dari ketidakseimbangan kompetisi.

“Propaganda terjadi ketika kompetisi tidak seimbang, calon merasa dirinya tidak mampu, tidak punya program, atau rencana kerja. Yang paling mudah mengaduk emosi adalah agama,” kata Romo Benny, dalam diskusi “Pilpres dan Politisasi Simbol Agama” di Jakarta, Kamis (4/4/2019).

Menurut Romo Benny, saat ini politisasi simbol-simbol agama tidak hanya terjadi di Indonesia. Namun juga terjadi di negara-negara lain, termasuk negara-negara yang akhirnya luluh lantah akibat perang saudara.

“Sekarang terjadi politik pembelahan, sehingga secara ideologis terjadi pemecahan. Sekarang antar pertemanan jadi konflik gara-gara agama digunakan sebagai alat politik. Ini sangat berbahaya,” ungkap Romo Benny.

Saat ini, Romo Benny mengingatkan, penting bagi media arus utama untuk mengajak masyarakat memiliki budaya kritis. Yakni bagaimana media mendidik masyarakat dengan tidak lagi menggunakan politisasi agama.

“Kemudian menurut saya KPU dan Bawaslu harus keras. Tindak pihak-pihak yang menggunakan rumah ibadah sebagai alat politik. Ketegasan penting, karena selama KPU dan Bawaslu tidak tegas, maka kita akan menghancurkan masa depan kita yaitu sila ketiga persatuan,” ujar Romo Benny.

Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) PBNU, Rumadi Ahmad, menilai, politisasi agama sering dipakai sebagai instrumen untuk mendapat kekuasaan politik. Akibatnya, akan berimplikasi pada agamanisasi politik.

“Yang akan dimunculkan dari proses itu adalah menjadikan pilihan politik seperti pilihan keagamaan. Politik seperti surga dan neraka, pahala dan dosa, jalan terang dan gelap. Politisasi agama dan agamanisasi politik dua hal yang sama buruknya,” kata Rumadi.

Rumadi menambahkan, ketika agama menjadi persoalan simbolik dan emosi, kondisi inilah yang kemudian akan membawa orang pada pertikaian. “Seseorang menjadi lupa akan substansi agama itu sendiri,” tandas Rumadi.

Saat ini, kata Rumadi, tidak mungkin orang Indonesia atau orang Islam melepaskan agama dari politik atau sebaliknya, karena perkembangan Islam di nusantara tidak pernah lepas dari politik.

“Di Indonesia sendiri, politisasi agama sudah bisa dilihat. Bahkan, sekarang sudah cenderung agamanisasi politik. Kalau orang terjatuh pada agamanisasi politik, maka pilihan orang pada capres A atau B bukan lagi urusan politik duniawi, tapi sudah jadi urusan surga dan neraka, jalan sesat atau terang,” pungkas Rumadi.

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru