25.4 C
Jakarta

Politisasi Agama, Budaya Buruk yang Harus Dihindari

Artikel Trending

KhazanahOpiniPolitisasi Agama, Budaya Buruk yang Harus Dihindari
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Bangsa Indonesia memang bangsa yang sudah kenyang berpolitik. Bagaimana tidak, jika kita membaca sejarah peradaban bangsa ini, ada banyak kisah yang sarat akan intrik politik. Salah satu warta yang pernah mengisi album politik Nusantara adalah peristiwa kudeta politik oleh Ken Arok kepada Tunggul Ametung.

Cerita Arok Dedes, versi Pramoedya Ananta Toer memilih jalan berbeda dalam memahami usaha Arok menjadi penguasa tunggal negeri Tumampel. Penggambaran sosok Arok yang diceritakan di versi lain sebagai seorang penghianat karena telah membunuh sang raja, dikonversi Pram, menjadi seorang pejuang rakyat yang melakukan gerakan politik akibat praktik kekuasaan yang menindas.

Arok adalah seorang sudra rendahan yang lambat laun hijrah menjadi seorang Brahmana dan Ksatria sekaligus. Langkah awal Arok dimulai dengan mendekati kaum Brahmana, agar memperoleh legitimasi bahwa kudeta yang dilakukanya legal. Arok yang sedari awal seorang murid kesayangan pimpinan Brahmana Syiwa, Dan Hyang Lohgawe mendapatkan tempat istimewa di kalangan Brahmana walaupun ia seorang Sudra. Kemarahan kaum Brahmana memuncak ketika Dedes, Brahmani muda yang juga anak Mpu Parwa, diculik dan diperistri Tunggul Ametung.

Brahmana – brahmana Syiwa yang memang tidak suka dengan model kepemimpinan raja Wisynu mulai merancangkan strategi menggulingkan Akuwu Tumampel, Tunggul Ametung. Mulanya mereka mengangkat Arok menjadi seorang Brahmana setelah sebelumnya dari Sudra rendahan, lalu merancang pemberontakan dan kemudian memfigurkan Arok di kalangan istana sebagai seorang tokoh yang bisa meredam pemberontakan yang diagendakan mereka sendiri.

Lewat bantuan Lohgawe, pemuka agama yang sudah tentu mendapat kepercayaan masyarakat, Arok mendapat kepercayaan dari Tunggul Ametung untuk menghentikan pemberontakan, bahkan Arok diperbolehkan membawa pasukan nya kedalam Istana.

Di momen inilah, Arok memaksimalkan kesempatan yang diberi dengan menyusun strategi politik nya. Mula-mula ia mengajak Dedes, Permaisyuri Tumampel memberontak terhadap sang Akuwu. Dedes yang diajak langsung mengiyakan lantaran Arok yang berdalih demi kepentingan kaum Brahmana Syiwa. Singkat cerita, kemenangan jatuh kepada kaum Brahmana dan Arok setelah terbunuhnya Tunggul Ametung , pertanda sang Akuwu sudah jatuh dari kekuasaannya.

Arok yang terkenal cerdas dan licik mengkambinghitamkan Kebo Ijo sebagai pelaku pembunuhan  Tunggul Ametung. Fitnah ini bukan tak berdalih, lantaran Kebo Ijo termasuk orang yang paling berambisi menggantikan Tunggul Ametung bahkan ia sudah mendapat izin dari Belangkaka, wakil Kediri untuk Tumampel. Setelah berkuasa di Tumampel, Arok tidak behenti disitu, ia juga merancangkan pemberontakan kepada Kediri.

Sungguh sebuah kisah kudeta politik yang atraktif. Bahkan, Pram sendiri menganggap, kisah Arok Dedes adalah kisah kudeta politik pertama di Nusantara. Kudeta yang licik dan cerdik dengan melibatkan banyak tangan namun aktor sesungguhnya seakan tidak terlibat.

Bagi penulis, Arok bukanlah aktor tunggal dibalik kejatuhan Tunggul Ametung, namun di belakangnya ada kelompok Brahmana Syiwa yang secara politik kurang diuntungkan ketika penguasanya seorang Raja Wisynu khususnya keturunan Erlangga. Lohgawe, adalah actor intelektual dan Arok adalah mesin yang difigurkan. Bahkan diujung kisah, Lohgawe jugalah yang mengangkat Arok menjadi Akuwu dihadapan rakyat Tumampel.

Meminjam sabda dari bapak pendiri Republik Rakyat China, Mao Zedong bahwa politik adalah perang tampa pertumpahan darah, sedangkan perang adalah politik dengan pertumpahan darah. Begitulah penggambaran strategi yang dijankan Brahmana Syiwa dengan beralatkan Arok, mereka tidak harus terang-terangan memperlihatkan diri ikut serta menjatuhkan Tunggul Ametung. bahkan semua tuduhan yang sampai ke mereka, bisa dibantah karena tidak ada bukti konkret jika mereka terlibat.

Kisah Arok Dedes versi Pramoedya ini, di satu sisi merupakan roman politik yang menambah cara pandang kita dalam melihat bagian dari sejarah bangsa, di sisi lain juga mengilustrasikan bahayanya jika kaum rohaniawan berpolitik. Strategi menuju kekuasaan berkedok agama atau memperalat agama untuk kekuasaan seperti kisah Arok Dedes, jika kita kontekstualisasi dengan situasi sekarang, sudah ditiru politisi-politisi saat ini.

BACA JUGA  Radikalisme di Kalangan Mahasiswa, Seberapa Bahaya?

Watak politisi yang sangat membuat mereka sangat fleksibel dan mudah mendapatkan atensi dari masyarakat. Layaknya bunglon, di sawah mereka bisa jadi petani, di laut mereka bisa jadi nelayan, di masjid mereka bisa jadi ustad”.

Sedikit bernostalgia, ada dua peristiwa politik yang bagi penulis ada dugaan politisasi agama yakni peristiwa Pilkada DKI Jakarta 2017 dan Pilpres 2019.

Berbuntut pernyataan di kepulauan seribu yang menyinggung Q.S Al-Maidah ayat 51, calon gubernur petahana DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama atau yang kerap disapa Ahok, diduga telah melanggar konstitusi dengan tuduhan penistaan agama. Bahkan, akibat tuduhan tersebut, sang gubernur secara politik harus kalah di putaran kedua Pilgub DKI, dan secara hukum, Ahok divonis hukuman penjara selama 2 tahun. Beberapa kalangan menduga bahwa secara tersirat, ada usaha untuk menyingkirkan Ahok untuk naik kembali menjadi gubernur DKI Jakarta melalui strategi politik identitas.

Politik identitas sendiri adalah sebuah gerakan politik yang dalam usahanya berbasis kesamaan identitas, baik itu suku, profesi, gender, atau agama. Kasus Ahok sendiri, termasuk gerakan politik identitas menggunakan sentimen agama. Dugaan itu bisa dilihat dari peran beberapa ormas dan kelompok islam yang memobilisasi massa besa untuk terlibat dalam tujuh aksi yang mewarnai kasus Ahok. Upaya mobilisasi massa memang lebih mudah jika menyinggung masalah agama.

Bukan hanya berhenti di 2017, pola yang sama juga dilakukan ketika menyambut Pilpres 2019. Gerakan politik serupa dilakukan untuk mendukung pasangan calon presiden yang didukung. Dengan alasan reuni, person dan kelompok tertentu memanfaatkan situasi, mendeklarasikan bahwa umat Islam mendukung salah satu Paslon. Kejadian ini mengingatkan kita akan pesan presiden RI ke 4, KH Abdurrahman Wahid, yang mengungkapkan, “Semua perjuangan atas nama agama adalah perjuangan politik untuk merebut kekuasaan”.

Akibat keriuhan Pilpres 2019, ketegangan antarumat beragama tak bisa terhindarkan. Bahkan bukan hanya antar umat beragama, di dalam tubuh umat Islam sendiri, terjadi perpecahan. Sentimen cebong, kampret di antara kedua kubu menjamur di internal ummat untuk melabeli kelompok yang pilihan politiknya berbeda. Intrik semacam ini, menguatkan indikasi bahwa masyarakat kita memang belum dewasa untuk berpolitik dalam iklim demokrasi.

Politik identitas termasuk cara politik paling buruk dalam demokrasi. Tidaklah heran jika guru besar ilmu politik Universitas Padjajaran, Murandi, menyatakan bahwa “Politik identitas itu politik yang purba, yang licik, seharusnya tidak dilakukan oleh banyak pihak.”

Menuju tahun pemilu 2024, jangan sampai hal serupa terjadi lagi mengingat dampak sosial seperti pembelahan di masyarakat akibat pilpres 2019 berpotensi berpengaruh pada pilpres 2024. Apalagi, idealnya kontestasi pemilu harusnya jadi ajang pertarungan gagasan, isinya debat argument bukan sentiment. Politisi harusnya merefleksi jika budaya berpolitik yang cenderung purba dan feodal harusnya ditinggal.

Untuk tokoh-tokoh agama juga, harus bijak bersikap menjelang tahun politik. Jangan sampai hanya dijadikan alat untuk kepentingan politik tertentu. Terakhir, penulis ingin mengutip salah satu syair dalam pewayangan yang pernah disampaikan Sudjiwo Tejo di ILC “Goro-goro atau Chaos (kehancuran) akan terjadi jika Pandhito (rohaniwan) sudah bergabung ke istana, Boleh bergabung asalkan kekuasaan yang mencari ulama, bukan ulama yang seperti gayung, datang ke kekuasaan”.

Syaiful Bato
Syaiful Bato
Mahasiswa Jurusan Studi Islam Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru