Harakatuna.com – Sebuah editorial yang ditulis para aktivis HTI berjudul “Indonesia Menuju Politik Populis Otoritarian” sedikit membuat saya mengernyitkan dahi. Bukan apa, saya heran, betapa aktivis HTI memiliki pikiran yang jauh ke depan, yang mereka proyeksikan untuk mempropagandakan khilafah ala HTI kepada masyarakat. Pada saat kita, orang-orang nasionalis atau sok nasionalis boleh jadi sibuk soal huru-hara politik, aktivis HTI justru tengah meradikalisasi masyarakat dengan gagasan yang “wow!”.
Saya katakan “wow”, karena memang narasinya keren. Sesiapa pun membaca editorial tersebut, dengan data dan analisis yang bernas, pasti akan tertarik lalu terbawa ke dalam narasi propagandisnya. Istilah “politik populis otoritarian” yang mereka berusaha lawan seolah tampak membela rakyat, memperjuangkan kemaslahatan umat, dan menjaga negara dari otoritarianisme di masa depan. Harus diakui, HTI, dalam konteks itu, tampil bak kelompok revolusioner.
Editorial tersebut menyoroti deklarasi organisasi Gerakan Solidaritas Nasional (GSN) di Indonesia Arena, Kompleks GBK, Senayan, Jakarta Pusat, Sabtu (2/11) lalu. Gerakan yang dianggap transformasi dari Tim Koalisi Nasional (TKN) Prabowo-Gibran tersebut dalam sorotan HTI dicap mirip Projo, organisasi relawan Jokowi yang ketuanya hari ini menjadi Menteri Koperasi. Dalam editorial tersebut, GSN dan Projo dilabeli sama: taktik politik populis yang otoriter. Berikut kutipannya:
“Pembentukan organisasi ini bukan sekadar akan memunculkan konflik kepentingan. Ini merupakan salah satu upaya pemerintah untuk menciptakan benteng, sekaligus membangun situasi politik yang menutup pintu kritik dan oposan. Di balik GSN, pemerintah sedang menjalankan politics distraction (gangguan politik) demi mencapai legitimasi politik di dalam negeri dengan kebijakan yang populis. Hal ini diperkuat dengan gaya kepemimpinan Presiden Prabowo yang berusaha merangkul semua pihak hingga menutup pintu perbedaan atau oposisi. Pembentukan ‘kabinet gemoy’ yang jelas-jelas merupakan politik akomodasi, sekilas tampak ‘wajar dan adil’ karena merepresentasi semua kepentingan parpol pendukung, sedangkan parpol diklaim sebagai representasi rakyat. Namun sejatinya, manuver ini akan memunculkan gaya politik otoritarianisme karena meniadakan aspek check and balances. Alhasil nantinya, setiap kebijakan yang dikeluarkan pemerintah seakan benar-benar merepresentasi kehendak rakyat, sedangkan mereka yang tidak sepakat akan dipandang bertentangan dengan kehendak rakyat.”
Penting dicatat, statement tersebut sebagai sebuah opini adalah sah-sah saja. Tidak ada yang melarang, dan segala intrik menuju otoritarianisme di negara ini memang harus dilawan. Demokrasi adalah manifesto sistem yang mesti diterima bersama; tak ada tawaran sistem lain apalagi itu otoriter. Namun, masalahnya, arah narasi aktivis HTI tersebut bukan berniat mengkritik, tetapi bermaksud melemahkan sistem demokrasi dan bercita-cita merobohkan NKRI.
Buktinya, pada sub-judul “Antidemokrasi atau Konsekuensi Demokrasi?”, editorial tersebut mengatakan bahwa demokrasi tegak di atas asas sekularisme yang tak mengenal prinsip halal-haram; bahwa populisme dan otoritarianisme muncul justru karena penerapan demokrasi itu sendiri; dan bahwa demokrasilah yang melahirkan politisi rakus dan nir-adab yang mengeksploitasi negara atas nama kepentingan rakyat. Mereka pun menawarkan satu sistem baru, yakni “sistem khilafah”.
Khilafah Itu Simbol Otoritarianisme
Menariknya, dalam editorial tersebut, aktivis HTI tidak sekadar mempropagandakan kebobrokan demokrasi dan keniscayaan penegakan sistem khilafah ala HTI, melainkan juga berusaha menyangkal kemungkinan narasi tandingan—seperti yang saya lakukan ini—bahwa khilafahlah biang kerok otoritarianisme. Brilian, bukan? Sub-judul “Menjawab Tudingan Otoritarianisme Islam” membuat saya kagum sekaligus merasa ngeri karena propaganda mereka se-wow itu.
Poinnya, mereka berusaha menyangkal bahwa khilafah bukan sistem otoriter sebagaimana yang terjadi dalam demokrasi RI hari ini. Aktivis HTI dalam editorial tersebut mengatakan:
“Sistem kepemimpinan Islam (khilafah) justru jauh dari apa yang mereka tudingkan. Akidah Islam yang menjadi landasannya, serta hukum-hukum Islam yang bersumber dari wahyu yang menjadi tolok ukur perbuatannya, justru akan menjadi pagar pembatas bagi munculnya penyimpangan sebagai sumber kerusakan, kezaliman, dan ketakadilan. Kekuasaan mereka diperoleh melalui baiat dari rakyat yang akadnya menjadi sah ketika khalifah siap menegakkan kedaulatan Allah sebagai Sang Pembuat Hukum dengan hanya menerapkan hukum-hukum-Nya secara kaffah.”
Fokus pada tulisan yang saya cetak tebal. Mereka menyebut khilafah sebagai ‘sistem’ Islam, yang padahal Islam tidak memberi patokan sistem tertentu—apalagi dianggap bagian dari syariat. Itu adalah dusta yang nyata. Islam, lewat Al-Qur’an atau melalui sunah Nabi, hanya mengajarkan soal prinsip kepemimpinan yang mencakup keadilan, bukan menuntut sistem spesifik tertentu. Definisi khilafah ala aktivis HTI benar-benar ahistoris dan memanipulasi Al-Qur’an dan hadis.
Selain itu, jika dianggap sebagai pagar dari penyimpangan, kezaliman, dan ketidakadilan, mana bukti historis atas klaim tersebut? Jika yang aktivis HTI sebut “khilafah” itu merujuk pada Kerajaan Abbasiyah, Umayyah, hingga Utsmani, apakah benar monarki-monarki tersebut tidak melakukan kezaliman dan ketidakadilan? Sekali lagi, itu dusta. Silakan baca sejarah dan temukan sendiri bahwa di masa monarki Arab, saling bunuh antarsaudara dan penjarahan itu sangat marak.
Intrik perebutan jabatan “raja”, sebagai contoh, bisa membuat seorang anak membunuh bapaknya, membunuh saudaranya, bahkan membantai rakyat. Jadi, kezaliman mana yang dimaksud? Selain itu, di masa monarki Arab juga, kesewenang-wenangan alias otoritarianisme terekam jelas dan seabrek, tetapi aktivis HTI menutupinya dan mengabaikannya, lalu menipu umat Islam bahwa khilafah Umayyah-Utsmani sangat bersih dan adil. Tidak. Itu dusta dan manipulatif.
Lalu apa sumbangsih khilafah atas kemajuan Islam yang sebenarnya? Tidak ada. Khilafah itu bukan sistem sebagaimana klaim HTI, melainkan pemerintahan secara umum yang waktu itu kebetulan sistemnya memakai “monarki”. Jelas, bukan? Dan jika khilafah yang HTI maksud itu adalah monarki Arab, maka mereka tidak bisa menyangkal bahwa itulah simbol otoritarianisme yang sebenarnya. Harusnya para propagandis HTI bertobat dari menipu umat dan memanipulasi sejarah.
HTI dan Proyek Rombak NKRI
HTI ingin merombak NKRI jadi negara yang mereka sebut khilafah, atau mereka kamuflasekan sebagai ‘kepemimpinan Islam’. Itulah mengapa saya mengatakan, pada judul tulisan ini, bahwa narasi politik populis otoritarian itu adalah propaganda HTI yang anti-NKRI semata. Mereka tidak benar-benar ingin menyejahterakan umat, atau menyelamatkan negara ini. Keinginan mereka satu, yaitu tegaknya khilafah ala HTI dan hancurnya NKRI. Berikut statement mereka:
“Tawaran mengganti sistem demokrasi dengan sistem kepemimpinan Islam merupakan tawaran logis dan semestinya dipertimbangkan. Terlebih bagi mereka yang mengaku beragama Islam dan meyakini kebenarannya, tentu sudah selayaknya membuktikan keimanannya tersebut dengan menerima syariat Islam secara keseluruhan, termasuk syariat tentang kepemimpinan. Sungguh, membiarkan sistem demokrasi tetap tegak, sejatinya sama dengan membiarkan kerusakan tetap berjalan. Yang lebih mengerikan, umat Islam akan hidup dalam dosa berkepanjangan karena dengan sadar telah mencampakkan hukum-hukum Allah.”
Jadi, intinya, tentang proyek merombak NKRI, bukan? Jelas. Karena itu, tidak perlu banyak uraian lagi, penulis editorial tersebut mesti ditangkap karena mendorong pemberontakan atas pemerintahan yang sah dan sistem yang berlaku. Negara ini sudah final, sekalipun implementasi dari sistem demokrasi masih banyak yang perlu dibenahi. Yang diperbaiki adalah penyimpangannya, bukan sistemnya diganti. Hati-hati dengan narasi propagandis HTI yang benci NKRI!
Wallahu A’lam bi ash-Shawab…