Harakatuna.com – Pilkada 2024 telah usai, tetapi gaungnya masih terasa, terutama di wilayah-wilayah dengan dinamika politik yang kompleks seperti Madura. Peristiwa kekerasan yang terjadi di Desa Ketapang Laok, Kabupaten Sampang, menyorot tajam ke arah pola-pola interaksi kekuasaan yang berkelindan dengan loyalitas, budaya patronase, dan bahkan tindakan premanisme.
Ironisnya, alih-alih hanya mencerminkan dinamika lokal, peristiwa memalukan tersebut menjadi cerminan tantangan nasional: bagaimana demokrasi Indonesia terus terjebak dalam lingkaran patronase dan kekerasan simbolis.
Premanisme dalam Politik Lokal
Kasus pengeroyokan yang menewaskan seorang warga di Sampang bukanlah sekadar kekerasan antarindividu. Ia mengandung lapisan makna yang lebih dalam, yakni tentang bagaimana politik lokal mengendap menjadi ajang perebutan pengaruh antara dua kekuatan dominan: kelompok blater (preman lokal) dan kiai.
Blater, dengan kekuasaan informalnya yang sering bersandar pada jaringan kekerasan atau “ilmu hitam,” kerap menjadi alat politik yang efektif untuk mengamankan suara, terutama di daerah-daerah yang minim pengawasan ketat dari otoritas Pemilu.
Sebaliknya, kiai di Madura memegang otoritas moral yang kuat. Sebagai pemimpin spiritual, mereka tidak sekadar memengaruhi perilaku masyarakat dalam kehidupan keagamaan tetapi juga keputusan politik. Dalam banyak kasus, dukungan seorang kiai menjadi faktor penentu bagi keberhasilan seorang kandidat Pilkada.
Di situlah letak kompleksitasnya: blater dan kiai berada dalam spektrum yang saling berseberangan secara moral, tetapi dalam praktik politik, keduanya bisa saling bekerja sama, bahkan saling membutuhkan.
Refleksi Pasca-Pilkada
Pilkada mungkin telah selesai, tetapi luka-luka politiknya tetap terbuka. Kasus Sampang adalah pengingat pahit bahwa demokrasi lokal masih rentan terhadap manipulasi dan kekerasan. Dalam konteks Madura, politik bukan soal perebutan kekuasaan belaka, tetapi juga soal mempertahankan tradisi patronase yang telah lama mengakar.
Tradisi tersebut kemudian menciptakan ketergantungan masyarakat kepada figur-figur pemimpin lokal—baik kiai maupun blater—yang kerap menempatkan stabilitas sosial di bawah kepentingan politiknya sendiri. Sungguh, hal itu sangat memalukan dan memperburuk citra Madura.
Namun, kondisi itu juga menyimpan peluang. Pasca-Pilkada, ada ruang refleksi bagi para pemimpin lokal, khususnya kiai, untuk merekonstruksi peran mereka sebagai penjaga perdamaian. Kiai tidak boleh sebatas menjadi alat politik praktis; mereka harus mengembalikan fungsi utamanya sebagai mediator yang membawa nilai-nilai Islam ke dalam konteks sosial-politik.
Demikian pula, kelompok blater yang selama ini identik dengan premanisme perlu diarahkan untuk berkontribusi positif pada pembangunan lokal. Keberadaan mereka tidak dapat dihapus begitu saja, tetapi harus direformasi melalui dialog yang melibatkan semua elemen masyarakat.
Indonesia membutuhkan demokrasi yang mampu berdialog dengan budaya lokal, tanpa harus mengorbankan nilai-nilai universal seperti keadilan, perdamaian, dan hak asasi manusia. Dalam konteks Madura, itu berarti mengintegrasikan peran kiai dan blater ke dalam struktur politik yang lebih bertanggung jawab.
Pasca-Pilkada 2024, ini adalah kesempatan emas untuk memperkuat peran kiai sebagai penjaga moralitas publik sekaligus mengajak kelompok blater menjadi bagian dari solusi, bukan sekadar alat kekuasaan. Pemerintah daerah bersama tokoh masyarakat harus bekerja sama membangun ruang dialog yang inklusif, memperkuat pendidikan politik, dan mengembangkan mekanisme penyelesaian konflik yang lebih beradab.
Kekerasan dalam politik bukanlah cerminan ‘keterbelakangan’ budaya seperti yang sering distigmatisasi pada masyarakat Madura, tetapi gejala dari struktur politik yang belum dewasa. Kini saatnya semua pihak, dari elite lokal hingga pemerintah pusat, mengambil langkah nyata untuk merajut perdamaian yang berkelanjutan. Sebab, sebagaimana dicontohkan oleh banyak kiai besar, politik yang damai selalu lebih mulia daripada politik yang meneteskan darah.
Wallahu a’lam.