27.8 C
Jakarta

Politik Identitas Mengacaukan Umat Islam, Masa Depan Pluralisme di Ujung Tanduk

Artikel Trending

KhazanahTelaahPolitik Identitas Mengacaukan Umat Islam, Masa Depan Pluralisme di Ujung Tanduk
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com- 2024 sebentar lagi akan tiba. Pemilu, yang menjadi salah satu pesta rakyat yang begitu besar, menentukan kehidupan Indonesia selama beberapa tahun ke depan. Melihat kondisi ini, Ma’ruf Amin, wakil presiden RI, periode 2019-2024 menyerukan bahwa, semua parpol tidak menggunakan identitas pada kampanye, agar tidak menimbulkan konflik akibat perbedaan pilihan.

“Sebenarnya rakyat kita sekarang itu sudah pandai, sudah cerdas. Menurut saya, ketika semua pihak sudah menyampaikan seruannya dan juga pimpinan-pimpinan partai tidak menggunakan apakah itu misalnya dalam arti identitas agama, kesukaan, juga ya kelompok yang apa ya yang eksklusif, saya kira kalau saya lihat dari berbagai kampanye yang sudah dikembangkan, sebenarnya masyarakat sudah paham itu,” Ucap Ma’ruf dilansir melalui Okezone.com.

Kalimat di atas, dalam ranah yang lebih luas, bisa dijadikan warning kepada bangsa Indonesia, untuk persiapan diri menghadapi pemilu yang akan datang. Hari ini, semua sudah berlomba-lomba untuk mengenalkan figur untuk dijadikan calon pemimpin. Tentunya, salah satu upaya penting untuk dilakukan adalah, bagaimana mencari massa dan memperkuat loyalitas massa terhadap calon yang diusung.

Sebenarnya, politik identitas adalah suatu keniscayaan yang tercipta dari banyaknya kelompok yang terhimpun dalam sebuah negara, bernama Indonesia. Hal yang paling bisa untuk dijadikan alasan bahwa, iklim demokrasi memberikan ruang yang sangat luas untuk perkembangan apapun, termasuk kebebasan berekspresi dan bersuara bagi semua pihak. Sehingga menguatnya politik identitas, ditengah maraknya arus informasi dan komunikasi yang sangat cepat, keinginan tiap-tiap kelompok untuk bisa dikenal oleh khalayak, menjadi tantangan besar bagi bangsa Indonesia yang sangat plural.

Apalagi, sebagai bangsa yang mayoritas agamanya Islam, politik identitas yang erat kaitannya dengan umat Islam, sangat rentan untuk dijadikan alat mengambil kekuasaan, dan menimbulkan gesekan perpecahan antara yang satu dengan yang lain. Mengambil suara umat Islam dengan narasi agama, sangat mudah untuk dilakukan dan mudah untuk mempersatukan suara itu. Hal itu karena, jumlah umat Islam di Indonesia sangat banyak dan penggiringan narasi agama memiliki daya tarik sangat kuat bagi bangsa Indonesia yang tampil sebagai masyarakat beragama.

Salah satu gerakan yang dilakukan oleh umat Islam beberapa tahun lalu yakni aksi 212. Gerakan itu kemudian menciderai nilai-nilai Islam sebagai agama yang damai dan ramah. Dampak dari aksi 212 itu adalah, penolakan yang besar oleh umat Islam terhadap non-muslim. Hal itu bisa dilihat dari temuan LSI, yang menunjukkan adanya kenaikan rata-rata penolakan terhadap non-muslim dalam mengisi jabatan politik pada tahun 2016 menjadi 49.6% pada 2017. Penolakan tersebut akan berbanding lurus dengan cara pandang umat Islam terhadap pemimpin non-muslim yang memiliki kredibilitas cukup baik dalam ranah pemerintahan. Atas dasar argumen itu, pandangan negatif terhadap non-muslim semakin kuat, disertai keyakinan yang dilandaskan pandangan dari gerakan 212 tersebut.  Melalui tantangan ini, bisakah umat Islam sebagai bangsa mayoritas tampil menjadi kapten tolerasi dan memperkuat persatuan di tengah musim pemilu akan datang?

BACA JUGA  Benarkah Pernikahan Menjadi Gerbong Utama dalam Penyebaran Terorisme pada Perempuan?

Politik identitas menyebabkan kekerasan

Musdah Mulia, menjelaskan bahwa Arus politik identitas umat Islam banyak digawangi oleh kelompok fundamentalis. Hal ini kemudian melahirkan tiga bentuk kekerasan, diantaranya: pertama, kekerasan fisik seperti pengrusakan, penutupan tempat ibadah, seperti gereja dan masjid maupun tindakan kekerasan fisik yang menyebabkan terjadinya luka, trauma atau terbunuh. Kedua, kekerasan simbolik seperti kekerasan verbal yang berbentuk tulisan, ceramah yang melecehkan suatu agama. Ketiga, kekerasan struktural yang berbentuk kekerasan, seperti dilakukan oleh negara, baik melalui perangkat hukum dan kebijakannya ataupun dari aparatnya sendiri.

Melihat kelahiran kekerasan itu, saat ini, aktifis khilafah juga menggiring narasi politik identitas dengan menyimpulkan bahwa, identitas muslim sebagai kelompok masyarakat yang mayoritas, harus tampil sebagai pemegang kekuasaan. Identitas Islam harus hadir dalam negara yang plural ini. Opini tersebut sejalan dengan tujuan akhir para aktifis khilafah, supaya di pemilu akan datang, Islam tampil sebagai sistem pemerintahan yang tegak di Indonesia, dengan jabatan khalifah dipegang oleh pemerintah Indonesia

Penggiringan narasi semacam ini juga mengancam kedaulatan NKRI, karena upaya yang dilakukan untuk memperkuat basis umat Islam, pasti terlihat melalui narasi yang timpang dan menyudutkan suatu kelompok.  Melihat fenomena tersebut, upaya apa yang bisa dilakukan? tampilnya Islam sebagai agama yang mayoritas di Indonesia, harus memiliki ghirah dan semangat nasionalisme yang tinggi bagi setiap pemeluknya. Dengan demikian, maka perlu penguatan kapasitas bagi setiap bangsa Indonesia dalam melihat agama sebagai pandangan hidup pribadi, dan konteks kebangsaan, agama harus tampil sebagai landasan untuk memperkuat kemanusiaan dan menjadi sarana semua umat untuk mempererat persaudaraan. Jawaban itu ada pada setiap individu, bangsa Indonesia yang secara sadar mengetahui bahwa, pluralisme di Indonesia harus dijaga oleh semua bangsa Indonesia. Hal itu bisa dimulai dari diri sendiri. Wallahu a’lam

 

Muallifah
Muallifah
Aktivis perempuan. Bisa disapa melalui Instagram @muallifah_ifa

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru