Harakatuna.com – Jakarta kembali menjadi lautan putih. Di jalanan ibu kota, tak henti-hentinya Front Pembela Islam (FPI) beserta Majelis Ormas Islam (MOI) lainnya melakukan aksi. Mulai dari meminta mengadili Jokowi, meminta Gibran mundur, dan terakhir mereka meminta Presiden Prabowo tegas mendukung Palestina.
Dalam aksi yang dinamai Aksi 1011 ini, kelompok FPI menyampaikan pesan kepada Presiden RI Prabowo Subianto. Hal ini terkait dengan ucapan selamat dan keinginan untuk kerja sama lebih lanjut kepada presiden terpilih Amerika Serikat, Donald Trump.
Mengaku di Barisan Prabowo
Kelompok FPI saat ini mengaku berada dalam barisan pendukung Prabowo. Namun ia mewanti-wanti agar Prabowo tidak salah langkah dalam menyikapi serangan Israel kepada Palestina. “Saya minta kepada Presiden Prabowo agar tegas, ya artinya harus konsisten. Jangan sampai kerja sama ini justru melukai hati saudara-saudara kita yang ada di Palestina,” kata Buya Husein, Minggu (10/11).
Pernyataan FPI berada bersama Prabowo menjadi pernyataan politis. Jika memang iya, maka FPI tidak akan “mengacau” di Indonesia. Ideologi yang digerakkan FPI tidak akan dihidupkan kembali, seperti NKRI Bersyariah dan Negara Islam. Sebuah ideologi ekstrem yang diambil dari disertasi Rizieq Shihab.
Jika masih menyalakan dan menggerakkan tentang gagasan Islam dan kenegaraan Islam ekstrem di atas, maka sebenarnya ia tidak berada di barisan Prabowo. Sebab hari ini Prabowo menjadi Presiden Indonesia, secara otomatis dia menegakkan pilar kebangsaan yakni Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika.
Saya tak tahu mengapa FPI terlalu percaya diri. Tapi yang jelas mereka tahu bobot yang ada di belakangnya. Bobot ini adalah bobot politik dan bekingan beserta tokoh yang menjadi pelindungnya, seperti Rizieq Shihab.
Rebranding FPI
Pengakuan berada di barisan Prabowo adalah cara FPI me-rebranding dirinya sebagai pejuang Islam sekaligus pejuang kemanusiaan. Semua ini ia lakukan dalam aksi-aksi dalam seminggu ini. Secara telak, FPI tampil bermain peran dari belakang panggung politik Indonesia (mengaku bersama Prabowo), tetapi secara bersamaan tampak kentara menjadi kegetiran keagamaan di Indonesia. Dalam hal ini kita masih ingat FPI pernah menggeruduk kantor pemerintahan, tempat-tempat “maksiat”, layaknya polisi moral.
Di aksi jalanan itu, FPI ini menarasikan dirinya menjadi dua tubuh sekaligus; sebagai kelompok penekan kebijakan politik Prabowo, dan menjadi polisi moral. Jalan ini konsisten dijalankan FPI sejak Orde Baru hingga Prabowo. Aksi 411 dan 1011 mengguncang gelanggang narasi keagamaan di Indonesia.
Memang hanya dengan cara rebranding maka FPI akan hidup pelan-pelan, setidaknya dipercaya kembali oleh pengikutnya yang mulai tidak percaya. Mengapa tidak percaya, sebab FPI selama ini hanya menjadi mesin politik pesanan kandidat. Pengikutnya seakan-akan hanya dimanfaatkan untuk kepentingan politik.
Mengemas ulang citra FPI adalah terobosan baik. Ia bisa memanfaatkan budaya populer seperti digital, masuk dalam kelompok keagamaan dan bergerilya di dalam politik. FPI sangat tahu celah dan ruang yang bisa dimasuki.
Hari ini FPI hanya menunggu jawaban dari pemerintah. Jika pemerintah menjalankan kerja sama dengan Amerika dan kemudian melupakan Palestina, maka jawabannya Prabowo tidak bersama FPI. Jika FPI terus melakukan aksi dan mencoba me-rebranding dirinya, tanpa respons tegas dari pemerintah, maka FPI saya kira akan terus bergerak dengan kekuatan lebih besar. Jika berhasil maka ia dapat menarik perhatian publik.
FPI hanya sedang mengecek ombak dan melakukan politik belah bambu. Siapa yang dibelah, tentu saja pemerintah dan fokus kita: masyarakat Indonesia.