30.8 C
Jakarta

Polemik Jl. Kemal Ataturk: Tengkar Wacana Islamisme vs Sekularisme vs Khilafahisme

Artikel Trending

Milenial IslamPolemik Jl. Kemal Ataturk: Tengkar Wacana Islamisme vs Sekularisme vs Khilafahisme
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Polemik rencana penamaan Jl. Kemal Ataturk di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, masih bergulir. MUI paling keras mengkritik, sedulur dengan PKS. Politisi Fadli Zon bahkan mengusulkan Al-Fatih saja, sang pahlawan Islam penakluk Konstantinopel, bukan Ataturk. Rencana yang sejatinya berbasis prinsip resiprokal tersebut bahkan sampai ditanggapi oleh pihak Kedutaan Turki di Jakarta. Ataturk dipilih, katanya, karena dialah founding father Turki.

Ingat kata kuncinya di sini: “founding father”. Kemal Ataturk adalah pendiri Turki modern setelah Turki Utsmani runtuh. Jadi benar bahwa dialah bapak pendiri Turki, tidak masalah jika dia sekuler. Ini sama dengan mengatakan Soekarno sebagai founding father Indonesia, tidak masalah bahwa ternyata Bung Karno adalah kalangan nasionalis ketika itu. Masalahnya apa? Dalam perspektif resiprokal, Soekarno dan Ataturk adalah sepadan.

Tetapi kenapa jadi masalah (yang dibesar)besar(kan) di Indonesia? Menarik untuk dikatakan, sebagai jawaban atas pertanyaan tersebut, bahwa polemik Jl. Kemal Ataturk adalah wujud tengkar wacana antara islamisme vs sekularisme vs khilafahisme. MUI dan PKS yang kukuh memprotes dan meminta dibatalkan memandang Turki modern sebagai Turki Utsmani. Mereka lupa bahwa Utsmani telah runtuh, dan negara Turki hari ini adalah negara sekuler.

Di sisi lain, sebagian umat Islam Indonesia bermimpi mewujudkan khilafah, dan selama ini Turki dijadikan panutannya. Ada spirit islamisme dan khilafahisme di dalam hati mereka yang memberontak jika Indonesia malah tampak mendekati sekuler. Sampai-sampai mereka kalang kabut dan berkomentar yang sangat lucu, kira-kira seperti ini,

Di Turki, Erdogan justru bergerak ke arah Islam kok malah di Indonesia bergerak ke arah sekuler?

Selain aneh, pertanyaan ini sangat ahistoris dan blas tidak paham geopolitik Turki sama sekali. Seberapa burukkah sosok Ataturk dan mengapa sebagian kalangan sangat benci? Seberapa Islamkah gerakan politik Erdogan yang dielu-elukan sebagai ikon pemimpin dunia Islam? Dan terakhir, seberapa mengganggukah suatu jalan jika dikasih nama Jl. Kemal Ataturk? Apakah itu menjadi bukti bahwa Indonesia tengah bergerak ke arah sekularisme?

Ataturk dan Erdogan

Dalam pelajaran sejarah, kecuali pelajaran sejarah di kampus PTKIN, sejarah Turki dikaji menggunakan pendekatan normatif. Siswa tingkat Aliyah, sebagai contoh, jika ditanya tentang Turki, maka yang terlintas di pikirannya adalah Turki Utsmani. Sementara itu, Kemal Ataturk dikenal sebagai tokoh sekuler yang memusuhi Islam. Dia dianggap antagonis dalam sejarah Turki, dan para siswa diajarkan potret Turki modern sebagai “kegemilangan yang hilang”.

Mindset itulah yang tertancap dalam sebagian umat Islam di Indonesia. Mereka memandang Turki modern sebagai perusak Turki Utsmani, yang lantas menjebak mereka terhadap cita-cita utopis untuk meng-Utsmani-kan Turki kembali: tidak sekuler. Pendangan ini berdampak buruk pada imej Ataturk, sehingga di Indonesia dirumorkan dia mayatnya tidak diterima bumi, berbau busuk, sebagai bukti bahwa dirinya mendapat azab Allah karena meruntuhkan monarki Utsmani.

Jadi, Kemal Ataturk dibenci sebagian Muslim Indonesia karena perspektif kesejarahan yang normatif tadi. Ini ibarat melihat sejarah Indonesia dari kacamata NII Kartosoewirjo, yang memandang Soekarno sebagai pengkhianat dan anti-Islam karena menjadikan Indonesia bukan negara Islam. Membenci Ataturk dengan prinsip sekulerismenya sama dengan membenci Soekarno dengan konsep nasionalismenya. Latar belakangnya adalah ketimpangan melihat sejarah itu sendiri.

BACA JUGA  Menunggu Tindakan Strategis Pemerintah terhadap Propaganda Khilafah

Pada saat yang sama, Erdogan, yang saat ini memimpin Turki, dipandang sebagai “pembangkit gairah Utsmani”. Banyak umat Islam di Indonesia beranggapan, Erdogan adalah sosok pemimpin umat Islam dunia dengan melihat ketegasannya melawan Barat dan Eropa. Namun yang disayangkan adalah, mereka para pengagum Erdogan lupa bahwa Turki adalah anggota Uni Eropa, dan bahwa narasi Erdogan tidak lebih dari taktik politik populis belaka.

Turki adalah satu dari tiga negara yang paling sekuler di dunia, bersama Amerika Serikat dan Prancis. Ahmet Turu membahas ini dalam bukunya, Secularism and State Policies toward Religion: The United States, France, and Turkey. Sementara Erdogan dengan partainya, AKP, sengaja memainkan narasi populisme karena melihat kecenderungan umat Islam di sana—sebagaimana Indonesia—yang merindukan Turki Utsmani. Populisme itulah yang mengantarkan Erdogan ke kursi presiden.

Tetapi apakah dengan itu Turki berpotensi menjadi negara Islam dan menanggalkan gelar sekulernya? Mustahil. Geopolitik Turki tidak akan membiarkan itu terjadi. Akhirnya, Erdogan menjadi presiden yang tidak konsisten antara kepentingan internasional dan kepentingan domestiknya. Di hadapan rakyat Muslim Turki, ia berwajah sebagai pemimpin tegas seperti Al-Fatih, tetapi di meja rapat pemerintahan dia menjadi sosok Kemal Ataturk. Begitulah Erdogan yang Anda banggakan!

Arus Islamisme Indonesia

Apakah benar bahwa nama Jl. Kemal Ataturk mengganggu dan menyakiti umat Islam di Indonesia? Sama sekali tidak. Penamaan tersebut hanya mengganggu kaum islamis, karena usaha mereka selama ini untuk menebarkan islamisme dan khilafahisme akan menjadi gagal. Jadi seolah-olah mereka memerangi sekulerisme, padahal sejatinya tengah mengajarkan islamisme. Mereka tidak akan terima dengan penamaan tersebut justru karena mengganggu kepentingan mereka sendiri.

PKS adalah kalangan islamis. Ini tidak bisa disangkal, dan semua orang harus memahaminya. Mereka sama dengan Hizbut Tahrir dan Salafi, yang melihat sejarah Islam sebagai peradaban yang dirampas sekuler Barat. Karena itu, khilafahisme yang mereka ingin tegakkan di Indonesia adalah upaya melawan sekularisme. Polemik Jl. Kemal Ataturk pun tidak dilihat sebagai prinsip resiprokal antara Indonesia dengan Turki, melainkan antara Islam dengan sekuler.

Jadi terhadap komentar lucu yang disinggung di awal, jawabannya adalah: Erdogan tidak tengah bergerak ke arah Islam, sekadar memainkan politik populisme belaka. Turki yang utama adalah negara sekuler, sebagaimana Indonesia yang utama adalah negara hukum. Ataturk sama dengan Soekarno, yaitu sama-sama pahlawan yang diakui bangsa. Turki sekarang bukan Utsmani, tapi Turki sekuler. Ini tidak boleh dilupakan, agar tidak melulu mengidolakan Erdogan.

Gerakan politik Erdogan di Turki satu napas dengan gerakan politik PKS di Indonesia. Anggap saja partai AKP adalah partai PKS yang berkuasa di pemerintahan. Umat Islam akan disuguhkan narasi-narasi islamis yang diterima kalangan khilafahers. Erdogan dari AKP yang ingin mengislamisasi Turki secara totalitas sama posisinya dengann Hidayat Nur Wahid dari PKS. Polemik Jl. Kemal Ataturk faktanya tidak lebih dari tengkar wacana islamisme vs sekularisme vs khilafahisme.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru